Faktor Munculnya Radikalisme Penafsiran dalam Alqur’an (2)

Salah satu semboyan Khawarij yang ekstrem sehingga menjadi justifikasi bagi kelompok radikal untuk menghalalkan aksinya adalah “tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Karenanya, orang atau kelompok orang yang mereka anggap tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kafir.


Dari sinilah, maka lahir sebagai refleksi dari ideologi tersebut yakni, ada penggolongan atau kelompok orang yang dianggap berhukum dengan hukum Allah yang mereka golongkan ke dalam Dar al-Islam. Sementara orang atau kelompok keagamaan yang dianggap tidak berhukum dengan hukum Allah adalah Dar Harb.

Bagi golongan kedua, apabila mereka tidak mau dihijrahkan ke dalam Dar al-Islam mereka boleh dibunuh dan diperangi. Lebih lanjut Azyumardi Azra mengaskan kelompok-kelompok takfiri seperti al-Qaeda, ISIS, Boko Haram merupakan jelmaan dari Khawarij model baru yang sering disebut dengan New Khawarij.

Rupanya, pemahaman yang ditanamkan oleh Khawarij dan dilanjutkan oleh organisasi-organisasi Islam di atas yang disebut dengan New Khawarij, menegaskan bahwa salah satu faktor utama radikalisme adalah tekstual dalam memahami ajaran agama. 

Pemahaman tekstual tersebut adalah sebuah pendekatan dalam memahami agama yang beriorientasi pada teks semata, literal dan skriptual. Bahkan, penafsiran mereka sangat sektarian dan kontroversial. Ini dapat dilihat pada penafsiran mereka dalam Alqur’an surat al-Isra’ [17]: 60, Allah SWT berfirman:

وَاِذْ قُلْنَا لَـكَ اِنَّ رَبَّكَ اَحَاطَ بِالنَّاسِ ۗ وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْۤ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُوْنَةَ فِى الْقُرْاٰنِ ۗ وَنُخَوِّفُهُمْ ۙ فَمَا يَزِيْدُهُمْ اِلَّا طُغْيَانًا كَبِيْرًا
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami wahyukan kepadamu, “Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi seluruh manusia.” Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk (zaqqum) dalam Alqur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (QS. Al-Isra’ [17]: 60).

Kalimat-kalimat dalam ayat ini disampaikan dengan nada ancaman dan teror; dan tidak diragukan lagi, ayat ini juga memberikan pemahaman yang benar tentang tema-tema siksaan bagi orang-orang kafir di neraka, dengan jalan membawa pemahaman dari ruang lingkup ketakwaan dan kewara’an sejak masa awal ke arah makna-makna pejoratif terhadap Bani Umayyah, sehingga terakhir dijuluki dengan “pohon yang dilaknati dalam Alqur’an” (al-Shajarah al-Mal’unah fi Alqur’an). Sedangkan fitnah yang menimpa para manusia dan petaka besar yakni (al-Tugyan al-Kabir), keduanya harus dikembalikan kepada Bani Umayyah yang terlaknat.

Berkembangnya radikalisme di Indonesia


Jika dihubungkan dengan konteks keIndonesiaan, berkembang sejumlah teori tentang latarbelakang muncul dan berkembangnya paham radikal di Indonesia. Di antara cendekiawan yang mengomentari perkembangan tersebut adalah Azyumardi Azra.

Menurutnya, berkembangnya radikalisme di Indonesia disebabkan oleh: pertama, faktor internal umat Islam yaitu adanya penyimpangan norma-norma agama, yang akibat dari penyimpangan tersebut disebabkan oleh adanya kehidupan sekuler yang telah merasuki umat Islam, sehingga melakukan gerakan kembali kepada autentitas Islam.

Sikap ini ditopang oleh pamahaman agama yang totalitas dan formalistik, bersikap kaku dalam memahami teks agama, sehingga harus merujuk pada perilaku Nabi SAW di Mekah dan Madinah secara literal.

Kedua, faktor eksternal umat Islam. Adalah adanya sikap refresif penguasa terhadap kelompok Islam seperti yang dilakukan oleh Orde Baru yang telah membangkitkan radikalisme Islam. Di samping itu, adanya krisis kepemimpinan yang terjadi pasca Orde Baru yang ditunjukkan dengan lemahnya penegakan hukum, dan mendorong gerakan Islam untuk merapkan syariat Islam sebagai solusi krisis tersebut.

Inilah yang menunjukkan kemunculan radikalisme Islam dijadikan jawaban atas lemahnya aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus yang terkait dengan umat Islam. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadi tindakan radikal atas nama agama di antaranya, pertama, persoalan pemahaman keagamaan, karena adanya keyakinan akan teks suci yang mengajarkan tentang terorisme dari kata jihad.

Kedua, hubungan antara radikalisme terorisme dan ketidakadilan dalam bidang politik, ekonomi, dan hukum. Ketiga, buruknya dalam penegakan hukum, sehingga meninggalkan istilah yang disebut dengan ketidakadilan hukum. Keempat, persoalan kurikulum pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, termasuk pendidikan yang lebih menekankan pada indoktrinasi.

Pendapat para tokoh 


Selaras dengan pendapat salah seorang ulama kontemporer yaitu Yusuf al-Qardhawi, ia menjelaskan bahwa penyebab seseorang menjadi radikal menjadi tiga bagian yaitu, Pertama, kondisi pribadi seseorang dengan lingkungan sekitarnya. Kedua, karena hukum yang tidak ditegakkan secara adil. 

Ketiga, ketidakpahaman terhadap hakikat ajaran agama, sedikitnya ilmu untuk memahami dan mendalami pengetahuan tentang rahasia hukum tersebut, hingga mampu membawa kepada pemahaman maqasid yang jelas.

Pendapat lain yang diutarakan oleh para peneliti berkenaan tentang faktor yang dapat mendorong terjadinya tindak kekerasan dalam agama (radikalisme). Pertama, adanya truth claim (klaim kebenaran). Secara normatif, truth claim dalam agama sebenarnya bukan sesuatu yang salah, bahkan ia adalah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan.

Agama tanpa truth claim ibarat pohon tanpa buah. Tanpa adanya truth claim yang oleh Whitehead disebut dogma, dan oleh Rahman disebut transcendent aspect. Agama hanya akan menjadi bentuk kehidupan (form of life) yang tidak memiliki kekuatan simbolik yang menarik pengikutnya.

Akan tetapi, apabila truth claim diterapkan kepada pihak lain dan dipahami secara mentah serta emosional, ia justru akan menimbulkan banyak masalah. Truth claim dari suatu kelompok akan berbenturan dengan truth claim dari kelompok lain.

Kedua, adanya sikap yang berlebihan atau tepatnya pensakralan atas ide, gagasan dan pemikiran-pemikiran keagamaan yang oleh Arkoun diistilahkan dengan Taqdis al-Fikr al-Dini. Pada kebanyakan masyarakat Islam, teks-teks keagamaan yang diikuti dan dijadikan rujukan bukan sekedar Alqur’an dan hadis sahih, tetapi mencakup juga pemikiran-pemikiran ulama produk abad pertengahan seperti yang tertulis dalam kitab-kitab kuning.

Kitab-kitab kuning ini bahkan telah dianggap sebagai sesuatu yang sempurna, komprehensif dan menjawab segala persoalan umat, sehingga tidak ada lagi kritik, baik ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Yang diperlukan hanya penjabaran (syarah) atas kitab-kitab tersebut, bukan ijtihad dalam arti yang sesungguhnya.

Posisi umat Islam terhadap kitab kuning ini, menurut mereka, hanya sebatas mereproduksi wacana dan bukan memproduksi wacana baru. Sikap yang berlebihan dalam membela dan memegang pemikiran keagamaan inilah kemudian melahirkan kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda-beda (polarisasi) di masyarakat. Pada gilirannya adanya polarisasi keagamaan masyarakat ini dapat menimbulkan benturan-benturan sosial.

Ketiga, adanya doktrin untuk menyebarkan agama (dakwah). Setiap pemeluk agama pasti menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah benar. Bahkan, keyakinan benar dalam agama tersebut tidak untuk dirinya sendiri, melainkan harus juga disebarkan, karena salah satu misi penting agama adalah memberikan petunjuk dan keselamatan bagi manusia.

Alqur’an sendiri sering mengklaim sebagai pemberi petunjuk yang benar dan memerintahkan umatnya untuk menyebarkan ajaran-ajarannya kepada orang lain, terlepas mereka mau menerima atau tidak. Ini sebenarnya sesuatu yang lumrah dalam sebuah agama atau bahkan dogma dan ideologi. 

Namun, perilaku dakwah yang dilaksanakan secara kasar dan tidak beretika justru akan menimbulkan banyak masalah. Kenyataannya, ketegangan dan kekerasan antar umat beragama sering terjadi karena masalah ini. Wallahu a’lam bisshawaab.

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال