Risiko-risiko Merevolusi Paradigma Dunia

 


Aku sadar bahwa  mengubah paradigma bukanlah perjalanan yang mulus. Ini seperti mengarungi samudra tak dikenal tanpa peta; penuh dengan misteri, tantangan, dan ya, tentu saja, risiko besar.

  1. Siap Mati demi Kebenaran

Pertama aku membayangkan, jika aku berada di posisi; di mana Aku harus melawan seluruh dunia hanya karena Aku percaya pada kebenaran. Ini bukan tentang menjadi pahlawan, tetapi tentang keberanian ikhlas. Sebab, paradigma dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan filsafat, adalah kerangka pemikiran atau set postulat yang dianggap baku dan diterima secara luas oleh mayoritas komunitas akademis. Jika Aku ingin mengubah paradigma, Aku perlu keberanian untuk menantang norma yang telah mapan dan diterima luas. Mari kita mulai dengan cerita yang sudah kita kenal: Galileo Galilei. Bayangkan hidup di zaman ketika semua orang yakin dengan satu paradigma bahwa Bumi adalah pusat semesta. Galileo datang dengan teori heliosentris yang revolusioner, yang menempatkan Matahari, bukan Bumi, sebagai pusat. Walaupun teleskop yang dia kembangkan memberi bukti yang mendukung teorinya, ia tetap menghadapi penolakan keras, yang berujung pada penjara dan hukuman mati. Kisahnya menekankan bahwa mengubah paradigma bisa berarti menghadapi perlawanan keras, yang kadang-kadang bisa berakibat fatal.

  1. Menghadapi Error yang Lebih Besar

Perubahan paradigma dalam sains sering kali diiringi dengan peningkatan kesalahan atau 'error'. Ketika paradigma bergeser, seperti dari paradigma Copernicus ke Newton, dan kemudian dari Newton ke Einstein, skala dan kompleksitas hipotesis juga meningkat. Perpindahan dari fisika Newton ke fisika Einstein, misalnya, melibatkan revisi mendalam terhadap konsep ruang dan waktu yang sebelumnya dianggap absolut. Aku membayangkan tantangan dan keraguan yang harus dihadapi oleh Einstein ketika dia mengatakan bahwa waktu itu sebenarnya relatif! Ini adalah langkah besar, bukan hanya dalam fisika, tetapi juga dalam cara kita memahami realitas. Ini tidak hanya terbatas pada perubahan konsep, tetapi juga pada cara kita memahami dunia. Perubahan ini tidak hanya menantang untuk dipahami bagi banyak orang pada saat itu tetapi juga membuka kemungkinan kesalahan interpretasi yang lebih besar. Lebih jauh, transisi dari fisika Einstein ke teori-teori Stephen Hawking membawa tantangan tambahan. Hawking, dengan teori tentang lubang hitam dan kosmologi, memperkenalkan konsep-konsep seperti multiple universes dan quantum entanglement, yang bahkan lebih sulit untuk dikonseptualisasikan dan sering kali dianggap kontroversial atau spekulatif.

  1. Dianggap Melawan Etika

Ketika paradigma baru muncul dalam sains, seringkali kita mencapai titik di mana sains bertemu dengan etika, muncul di dalamnya pertanyaan-pertanyaan etis yang rumit. Salah satu contoh paling menonjol dalam hal ini adalah riset pada stem cells. Meskipun potensinya untuk penyembuhan dan pemahaman biologis manusia adalah eksponensial, pertanyaan etis yang dihadirkan oleh penelitian semacam ini tidak dapat diabaikan. Sehingga tidak heran, di Amerika, misalnya, telah ada upaya untuk mengatur penelitian stem cell dalam kerangka etika yang ketat. Namun, batasan etis ini seringkali dianggap sebagai penghalang oleh sebagian peneliti, yang kemudian memilih untuk melanjutkan penelitiannya di negara-negara dengan regulasi yang lebih longgar, seperti Singapura atau Tiongkok. Situasi ini menciptakan dilema etis global: bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara kemajuan ilmiah dan integritas moral? Lebih jauh, ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana metodologi ilmiah dapat mengakomodasi asumsi-asumsi etis untuk mencegah skenario buruk seperti yang diilustrasikan oleh konsep eugenika yang dikaitkan dengan Hitler. Pendekatan ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk kerangka etis yang kuat dan universal dalam ilmu pengetahuan untuk menghindari penyalahgunaan penelitian yang bisa membawa dampak buruk pada masyarakat.

  1. Ancaman Katastrofi

Terakhir, kita menghadapi risiko terbesar dari semuanya: yaitu potensi adanya bencana. Percepatan teknologi membawa potensi yang luar biasa untuk perubahan positif, tetapi juga membawa risiko kesalahan yang bisa berakibat fatal. Ketika teknologi berkembang dengan kecepatan yang luar biasa, kita berada di ambang kemungkinan yang membuat kita bersemangat dan ketakutan dalam waktu yang sama. Contoh yang paling gelap dari ini adalah percobaan dengan eugenika, yang menunjukkan bagaimana ide-ide ilmiah dapat disalahgunakan dengan konsekuensi yang mengerikan. Dalam menghadapi potensi ini, ada kecenderungan untuk menghindari dialog global dan konsensus intelektual. Beberapa orang percaya bahwa dengan kemajuan teknologi, mereka bisa bertindak secara independen tanpa perlu koordinasi atau persetujuan internasional. Pendekatan soliter ini, yang sering didorong oleh keinginan untuk memajukan penemuan atau keuntungan pribadi, meningkatkan risiko kesalahan yang dapat mengarah pada bencana. Paradoksnya, seiring dengan meningkatnya jarak antara masyarakat umum dan dunia ilmiah, terjadi peningkatan ketidakpuasan dan ketakutan. Daripada menghadapi tantangan ini dengan metodologi ilmiah yang lebih ketat atau keterlibatan publik yang lebih luas, ada kecenderungan untuk beralih ke keyakinan agama atau solusi supernatural. Ini menunjukkan ketidakmampuan atau keengganan untuk menghadapi tantangan ilmiah secara rasional, yang pada gilirannya dapat memperburuk pemisahan antara sains dan masyarakat.

Tantangannya bukan hanya dalam membuktikan teori baru, tetapi juga dalam menghadapi skeptisisme dan ketidakpercayaan dari komunitas ilmiah dan masyarakat luas. Para ilmuwan yang berani menghadapi "error" ini sering kali dianggap sebagai pemikir yang radikal atau bahkan gila, karena mereka menantang pemahaman yang telah lama diterima.

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)


Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال