Masyarakat Memilih Dalam Pemilu 2024

(Sumber Gambar: dok, Redaksi Kuliah Al-Islam) 

KULIAHALISLAM.COM - Tepat pada hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024 ini seluruh warga masyarakat (rakyat) Indonesia yang telah dewasa, usia 17 tahun atau sudah menikah, berbondong-bondong ke tempat-tempat pemungutan suara pemilu serentak untuk memilih para capres-cawapres, anggota legislatif nasional dan daerah (DPR RI, DPD RI, dan DPRD).

Apa maknanya? Mengapa kita harus memilih?, Turut menentukan pilihan dalam pemilu bukan sekadar hak politik setiap warga negara. Penggunaan hak pilih sesungguhnya adalah wujud kedaulatan politik yang sepenuhnya berada di tangan rakyat. Melalui pemilu yang langsung bebas, bebas, jujur adil, rahasia dan demokratis, rakyat tidak hanya memilih para capres-cawapres, calon anggota parlemen ataupun partai politik yang bisa dipercaya, melainkan juga memutuskan masa depan negeri kita, yakni apakah masih menempuh jalan demokrasi yang terjal dan berliku-liku, atau kembali ke masa lalu yang buruk di bawah bayang-bayang sistem otoriter Orde Baru yang serba cepat namun tanpa jaminan hak-hak politik dan kebebasan sipil bagi warga negara.

Tingkat partisipasi dalam pemilu bukanlah satu-satunya ukuran pencapaian demokrasi, termasuk demokrasi yang masih dalam tahap prosedural sekali pun. Namun untuk negara-negara yang relatif baru memulai kembali membangun demokrasi seperti negeri kita, tingkat partisipasi dalam pemilu adalah salah satu indikator tingkat kepercayaan terhadap sistem demokrasi. Partisipasi yang tinggi mencerminkan tingkat kepercayaan terhadap demokrasi relative tinggi pula. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang terlampau rendah bisa menjadi amunisi dan justifikasi bagi kekuatan-kekuatan antidemokrasi untuk menyeret bangsa ini kembali ke titik nol, yakni sistem otoriter yang sudah kita kuburkan bersamaan dengan jatuhnya Soeharto pada 1998.

Rakyat “Komoditas”

Pemilu sebenarnya merupakan momentum bagi suatu bangsa untuk merefleksikan kembali pencapaiannya selama lima tahun terakhir. Pemilu juga memberi kesempatan bagi rakyat untuk menilai kembali prestasi para pejabat publik hasil pemilu sebelumnya. Namun rakyat acapkali tak bisa merebut kesempatan itu karena hegemoni para elite politik atas ruang publik menjelang pemilu melalui berbagai ritual yang tak berkaitan langsung dengan nasib rakyat. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, nasib rakyat kita masih sebagai “komoditas” untuk memperbesar suara para caleg, parpol, ataupun capres.

Karena itu tidak mengherankan jika antusiasme rakyat terhadap pemilu kini cenderung menurun. Persoalannya, meningkatnya perkembangan demokrasi ternyata berbanding terbalik dengan tegaknya pemerintahan yang yang bersih. Deklarasi antikorupsi yang semakin intens, juga berbanding terbalik dengan maraknya kasus suap dan korupsi yang dilakukan anggota parlemen di pusat dan daerah, serta para pejabat publik lainnya. Di sisi lain, membengkaknya jumlah partai, caleg, dan capres justru berbanding lurus dengan semakin miskin dan dangkalnya ide-ide tentang perubahan. Akibatnya, janji-janji perubahan yang ditawarkan para elite pun cenderung artifisial, sehingga tak lebih dari gincu politik yang akhirnya luntur bersamaan dengan usainya pemilu.

Mengapa demikian? Secara kultural penjelasannya bisa mungkin dicari dalam tradisi berbagai masyarakat nusantara yang sarat dengan rangkaian ritual dan upacara. Akan tetapi upacara semestinya berhenti sebagai aktivitas privat dan komunal yang tak berhubungan dengan urusan publik. Ketika ritual komunal ditransformasikan sebagai standar perilaku dalam relasi politik yang bersifat publik, maka yang berlangsung adalah praktik demokrasi yang primitif. Artinya, praktik demokrasi memang marak, tetapi seringkali sekadar bingkai untuk mengemas sahwat politik liar yang absen dari komitmen etis terhadap kemaslahatan kolektif.(MERAJUT HARAPAN DARI PEMILU. Syamsuddin Haris, Peneliti senior Politik BRIN dan Anggota Dewan Pengawas KPK).

Demokrasi Tidak “Instan”

Sulit dipungkiri, hampir tidak satu pun parpol peserta pemilu yang menjanjikan. Begitu pula para caleg yang sebagian besar ternyata petahana (incumbent) yang berkinerja buruk. Sebagian caleg wajah baru bahkan ternyata adalah sejumlah artis dan selebritis yang tidak memiliki rekam jejak dalam soal politik, pemerintahan dan keparlemenan. Sebagian di antara artis itu bahkan dikenal sebagai “bintang panas” majalah dewasa yang lebih berpengalaman dalam membuka baju ketimbang membuka suara mereka untuk memperjuangkan kepentingan kolektif.

Oleh karena itu wajar saja jika masih muncul kegamangan ataupun kegalauan ketika kita menyadari realitas demikian pada saat memasuki tempat pemungutan suara (TPS). Apa dan siapa yang harus kita pilih jika ternyata para caleg dan parpol peserta pemilu hampir tidak satupun yang menjanjikan. Pada saat yang sama, memori kita memutar kembali berbagai skandal suap dan korupsi yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang ternyata melibatkan para politisi, pejabat, dan bahkan hakim yang sebagian besar berasal dari parpol. Lalu, haruskah kita datang ke TPS-TPS untuk menggunakan hak pilih?

Sebagai sistem pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sejauh ini dianggap terbaik, sistem demokrasi yang kita rebut dari rejim otoriter Orde Baru, pada dasarnya bukanlah sistem yang bersifat “sekali jadi”. Tidak ada demokrasi yang instant –ibarat membalik telapak tangan semuanya langsung berubah. Juga tidak ada perjuangan yang bersifat final menuju demokrasi yang benar-benar substansial dan terkonsolidasi. Amerika Serikat yang dikenal sebagian kampium demokrasi sekalipun dan sering dijadikan tolok ukur sistem demokrasi yang dianggap maju, masih berjuang terus agar sistem nilai dan prinsip-prinsip pokok demokrasi tetap hidup dan menjadi dasar kehidupan kolektif. Padahal negeri Paman Sam telah menjalaninya selama lebih dari 200 tahun.

Terlepas berbagai kekurangannya, menggunakan hak pilih dalam pemilu adalah satu-satunya cara bagi kita untuk mengawal sekaligus menyelamatkan sistem demokrasi yang telah kita rebut dengan nyawa, darah dan air mata. Di dalam bilik-bilik suara itulah suara kita turut memutuskan untuk melanjutkan perjuangan mewujudkan demokrasi yang sebenar-benarnya, yakni demokrasi yang berorientasi pada kemakmuran rakyat dan kejayaan Ibu Pertiwi. Karena itu penggunaan hak pilih bukanlah sekadar memenangkan parpol atau caleg tertentu, melainkan juga harus dilakukan dalam konteks memilih Indonesia masa depan agar tetap di dalam bingkai sistem demokrasi.

Kita Harus Terlibat

Kita memang patut kecewa berat dengan kinerja parpol dan politisi, termasuk perilaku suap dan korupsi yang dilakukan anggota parlemen dan pejabat publik. Suatu kekecewaan yang tentu saja sangat wajar. Namun demikian, agak berlebihan juga jika kita terlampau rewel dalam mengeluhkan praktik demokrasi mengingat demokrasi baru dimulai kembali di negeri ini dalam 15-16 tahun terakhir. Dalam periode yang relatif pendek itu hampir mustahil kita berharap praktik demokrasi langsung “normal” serta para politisinya bersih dan akuntabel.

Persoalannya, perilaku buruk politisi dan pejabat publik, selain berakar pada moralitas individual yang bersangkutan, juga harus dipandang sebagai produk atau warisan rejim otoriter, Demokrasi Terpimpin Soekarno (1959-1965) dan Orde Baru Soeharto (1966-1998). Seperti diketahui, Orde Baru misalnya, tidak hanya mewariskan perilaku serakah dan korup, melainkan juga kultur pragmatisme dalam berpolitik. Faktor penting lain di balik buruknya kinerja parpol dan politisi adalah skema pemilu yang tidak menjanjikan munculnya para wakil dan pemimpin yang bertanggung jawab.

Dalam situasi demikian tidak ada pilihan lain bagi segenap elemen masyarakat sipil kecuali turut serta mendorong dan mengawal perubahan menuju pemilu dan demokrasi yang lebih baik. Itu artinya, kita harus turut memberikan suara dan keputusan bagi masa depan Ibu Pertiwi sebelum hak politik kita disalahgunakan oleh orang lain. Memilih untuk tidak menggunakan hak pilih memang tidak dilarang, bukan dosa besar, dan bukan pula suatu kejahatan. Namun sangat mungkin surat-surat suara yang tidak terpakai tersebut disalahgunakan bukan saja oleh mereka yang korup untuk memenangkan atau mengalahkan parpol ataupun caleg tertentu, tetapi juga oleh para pembajak dan kekuatan antidemokrasi.

Demokrasi, apa boleh buat, bukanlah jalan yang lurus, mudah, dan instant. Perlu kesabaran dan perjuangan tak mengenal lelah untuk mewujudkannya. Turut serta memberi suara dan mengawal pemilu agar berlangsung bebas, jujur, dan bersih adalah cara terbaik kita dalam menyelamatkan demokrasi dalam rangka Indonesia yang lebih adil, makmur, berdaulat, dan berjaya di masa depan. Selamat menggunakan hak pilih sekaligus sebagai perayaan kolektif kita atas pilihan berdemokrasi bagi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال