Interaksi Muslim dengan Non-Muslim (Kajian Nilai-nilai HAM dalam Hadis)

Penulis: Roma Wijaya*

KULIAHALISLAM.COM - Hadis sebagai respon budaya orang-orang Arab menjadikan beberapa cendekia mengatakan bahwa hadis tidak bisa diterapkan atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi Nabi dengan masyarakat sekitar sebagai dasar dan acuan bagi perkembangan pemahaman terhadap hadis.


Kedua sumber Islam telah dijaga sangat lama oleh para ahli Qur’an dan ahli hadis. Para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan semuanya yang bersinergi dengan penjagaan tersebut menjadi bukti bahwa keduanya sangat penting untuk dijaga. Mereka yakin bahwa hadis akan memiliki pengaruh terhadap perkembangan agama Islam. (Qaththan, 2014, p. 19). 

Hal ini didasarkan pada QS. Al-Ahzab : 21, yaitu:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Kawin diartikan sebagai pernikahan yang berasal dari bahasa Arab, sedangkan menurut filologi bahasa diartikkan bahwa kata kawin ini senada dengan kata kawan yang berarti teman, sahabat, pengikut dan sekutu. Maka begitu pula dengan arti kawin yang memiliki arti sama (Fachruddin, 1992, p. 1). Perkawinan dalam kamus bahasa Arab diartikan az-zawaj memiliki makna pasangan atau jodoh, hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam Q.S. ad-Dukhan (44) : 54, yaitu (Azzam & Hawwas, 2011, p. 35):

كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ

Demikianlah. Dan kami berikan kepada mereka bidadari.

Dalam kitab Taj al – ‘Arus, dikatakan bahwa :

زوَج الشئ بالشئ وزوَجه اليه قرنه

Menjodohkan sesuatu dengan sesuatu dan menjodohkannya dengan pasangannya.

Jadi, pengertian yang dapat kita simpulkan adalah bahwa kawin merupakan syari’at Islam yang menghubungkan antara satu insan dengan insan yang lainnya , tentu berbeda jenis kelamin. Kemudian kata “nikah” juga diucapkan dalam akad, memiliki arti adh-dhamm (berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtilath (bercampur), menurut istilah nikah adalah akad pernikahan dan hubungan intim antara suami-istri. (Azzam & Hawwas, 2011, pp. 37–38).

Adapun nikah mut’ah menurut Ibnu Hazm adalah “Nikah mut’ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu dan hal ini dilarang dalam Islam. Melihat data sejarah yang ditemukan penulis menyatakan bahwa nikah mut’ah awalnya dihalalkan/diperbolehkan oleh Nabi. Sejak zaman Nabi, zaman Abu Bakar dan permulaan kepemimpinan ‘Umar, ada juga yang menyatakan sampai akhir kepemimpinannya (Uwaidah, 2012, p. 404).

Syarah Hadis

 حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا مُجَاهِدٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عنه، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: " مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا "

“Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad (kafir yang memiliki ikatan/janji) ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari No 391 bab Kitab Jizyah wa Mawada’ah).

Adapun syarahnya adalah yang di maksud kafir mu’ahad disini adalah kafir dzimmi, yaitu kafir yang tinggal di negeri orang orang islam dan tidak memeranginya. Kemudian menurut pendapat lain mengatakan seseorang tersebut tidak akan sama sekali melihat baunya surga (pendapat mu’awiyah) kemudian ada juga yang berpendapat jarak nya sekitar tujuh puluh tahun lamanya bukan hanya empat puluh tahun (menurut Abu Hurairah dari Imam Tirmidzi). Lafad يَرَح itu berasal dari lafadz يَراح yang bermakna menemukan bau, berarti yang dimaksud adalah tidak akan menemukan atau mendapatkan bau surga (Aplikasi Jawamiul Kalim).      

Kontekstualisasi

Merujuk pada pandangan Nurcholis Madjid, beliau memberikan konsepsi HAM, yaitu; makna HAM dan lingkup permasalahannya, sumber, asal-usul, dan tonggak HAM , universalisme HAM, keterjalinan teosentrisme dan antroposentrisme, serta hak dan tanggung jawab (responbility).

Cak Nur juga mengutarakan juga bahwa HAM timbul dari hati nurani manusia tidak ada paksaan ataupun hal lainnya yang bersifat negatif terhadap munculnya HAM, karena ini ada untuk menegakkan keadilan pada manusia. HAM terbagi menjadi dua ada yang HAM perspektif Barat dan pemikir dari negara Islam. Apabila yang satu lebih obyektif serta tidak dibatasi oleh budaya, ras, etnis, dan sebagainya. Maka pemikir kedua mengatakan bahwa HAM bersifat partikular. (Bahrawi, 2011, pp. 80–81).

HAM didefinisikan oleh UUD yaitu merujuk UU Nomor 39 tahun 1999, bahwa “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (pasal 1).” (Maufur & Hasan, 2014, p. 5).

Kemudian, Islam memandang bahwa HAM sama dengan ajaran tauhid , karena adanya pembebasan diri (self-liberation). Dalam hal sosial pun Islam memiliki nilai HAM, adanya pembebasan sosial berimplikasi terdapat paham egalitarianisme, yaitu menyatakan bahwa semua manusia dipandang sama khususnya oleh Allah. Islam juga memiliki konsep HAM terutama dalam hal beragama, yaitu (Hakiem, 1993, pp. 15–16);

Pertama, tidak adanya paksaan untuk meninggalkan ajaran sebelumnya untuk masuk Islam ataupun masuk ke dalam agama tertentu. Kedua, membiarkan pemeluk non-Muslim dalam peribadatan mereka di sekitar masyarakat Islam dan dilarang untuk merusak simbol-simbol keagamaan dari agama non-Muslim. Ketiga, makan makanan sesuai ketentuan halal mereka masing-masing.

Keempat, memberi kebebasan dalam keputusan-keputusan hukum yang berkaitan dengan problem individu, pernikahan, perceraian, dan lainnya. Kelima, menjamin hak asasi, keamanan, serta kehormatan dalam lingkungan Muslim. Boleh juga mengeluarkan pendapat dan aspirasinya.

Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad pun sudah mendeklarasikan HAM kepada masyarakat Muslim. Hal ini bisa kita lihat dari hadis tersebut bahwa kafir mu’ahhad memiliki kebebasan penuh di lingkungan masyarakat Muslim.

Rasul mempraktikkan persoalan tersebut ketika menaklukan Madinah dan Mekkah, Rasul membiarkan bahkan membebaskan kepada non-Muslim untuk melakukan aktivitasnya seperti biasa dan tidak memaksakan untuk masuk Islam.

Rasul pernah menulis surat kepada keluarga Aiman yang diriwayatkan oleh Utsman bin Saleh dari ‘Abdullah bin Luhai’ah, dari Abi Aswad diriwayatkan oleh ‘Urwah bin Zubair bajwaanya Rasul menulis surat yang berisi bahwa “barang siapa yang berada di tengah-tengah keluarga Yahudi atau Nasrani, maka ia tidak boleh memfitnah dan wajib juga membayar pajak (jizyah).” (Hakiem, 1993, pp. 118–119).

Sebenarnya fenomena-fenomena yang berkembang dahulu dan sekarang ini sudah banyak menghiasi wawasan kita selama ini. Seperti dari zaman Rasul, sahabat, tabi’in hingga sekarang, walaupun untuk saat ini lebih kompleks.

Apabila mengkaji persoalan tersebut maka akan muncul term mayoritas dan minoritas. Mayoritas adalah identitas agama yang dipeluk oleh sebagian besar masyarakat dalam suatu tatanan sosial tertentu atau pun regional, sedangkan minoritas adalah agama yang cenderung dimarjinalkan oleh mayoritas. (Maufur & Hasan, 2014, p. 29).

Di Indonesia benturan mayoritas dan minoritas sudah terjadi di intern Islam dan ekstern. Ekstern Indonesia lebih 87 % penduduknya beragama Islam, 7 % Kristen, 2,91% Katolik, 1,69 Hindu, Budha 0,72%, dan Kongfucu 0,05%.

Islam menjadi pemeluknya paling besar tentunya mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yang cenderung menguntungkan Islam dibandingkan dengan yang lainnya. Kasus kemanusiaan terburuk dari Poso tahun 1999-2001.

Kasus kemanusiaan Poso merupakan peristiwa sadis sudah menumpahkan ribuan orang tak bersalah terekam oleh Indonesia yang beranekaragam agama dan lainnya. Menurut pembacaan dan pendengaran pemakalah, kasus Poso dilakukan terlebih dahulu oleh umat Kristen, hal ini diperkuat karena di sana Islam minoritas dibandingkan Kristen.

Islam tidak melakukan lebih dahulu, karena Rasul dalam hadisnya tidak boleh membunuh non-Muslim, kecuali mereka menentang atau selalu mengganggu ketertiban sosial. Apabila dikaitkan dengan HAM, maka seharusnya peristiwa tidak mungkin terjadi. Akan tetapi, semuanya percuma saja apabila tidak didasari dengan kesadaran yang timbul dari hati nurani sehingga mampu untuk menahan dan melawan masalah tersebut.

Pemerintah Indonesia diharapkan mampu untuk menjaga keharmonisan dan hak serta kewajiban setiap masyarakat. Karena mayoritas Muslim, maka pemerintah harus mengacu kepada hadis Rasul yang mendeklarasikan HAM demi keharmonisan seluruh masyarakat Indonesia. Semuanya dilakukan agar kedamaian dan kebersamaan selalau hadir ditengah-tengah kita.

Kesimpulan

Dari pemaparan tentang HAM yang terdapat dalam hadis Bukhari memberikan pemahaman kepada kita bahwa tujuan kehidupan ini untuk menumbuhkan serta menjaga keharmonisan bersama, sehingga tidak ada konflik yang berakibat pertumbahan darah hanya karena berbeda kepercayaan serta di kemudian hari kita mendapatkan imbalan setimpal atas perbuatan kita di dunia.

HAM dalam beragama dan muamalah harus kita aplikasi untuk kemaslahatan dan juga kelangsungan hidup bersama dalam menjalani berbagai problematika kehidupan. Adapun peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi, kita jadikan sebagai muhasabah untuk diri kita bagaimana itu bisa terjadi kemudaian bagaimana cara mengatasi dan menghindari dari peristiwa tersebut.

*) Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang. Minat Kajian: Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender

Referensi

Azzam, A. A. M., & Hawwas, A. W. S. (2011). Fiqih Munakahat (II; A. M. Khon, trans.). Jakarta: AMZAH.

Bahrawi, M. M. I. (2011). Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholish Madjid. Jakarta: Gramedia.

Fachruddin, F. M. (1992). Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Hakiem, M. L. (1993). Deklarasi Islam Tentang HAM. Surabaya: Risalah Gusti.

Maufur, & Hasan, N. (2014). Modul Pelatihan Fiqih dan HAM (S. Zuhri, ed.). Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Qaththan, M. (2014). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Uwaidah, S. K. M. (2012). Fiqih Wanita (A. Ghoffar, trans.). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال