Tafsir Surat Al Maidah Ayat 5: Spirit Toleransi dan Kritik Nikah Beda Agama

Penulis: Adi Swandana Erlangga Putra*

KULIAHALISLAM.COM - Pernikahan beda agama di Indonesia kini telah mengalami pergeseran paradigma di mata masyarakat dari yang awalnya berbau tabu dan polemis kini perlahan-lahan mulai dianggap hal yang wajar bahkan terkesan dinormalisasikan. 

Hal tersebut di sebagian daerah dan bagi beberapa kalangan masyarakat bukan lagi menjadi bahan gunjingan, sebab praktik nikah beda agama di Indonesia sendiri justru bukanlah suatu peristiwa yang jarang terjadi per hari ini. 

Banyak pula dari kalangan selebritas tanah air yang turut melegitimasi hal terkait dengan menjalin hubungan dan bahkan sampai naik ke jenjang pelaminan dengan pasangan yang berbeda keimanan. Alhasil, pro-kontra seputar pernikahan beda agama pun turut mewarnai isu-isu seputar keagamaan dan keberagaman yang ada di Indonesia.

Secara konstitusional, polemik tentang pernikahan beda agama di Indonesia sering dikaitkan dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, lebih tepatnya di dalam pasal 2-nya. Adanya dalil konstitusi tersebut nyatanya hanya terbatas pada taraf sah atau tidaknya suatu pernikahan yang didasarkan pada hukum keyakinan agama masing-masing, namun tidak secara gamblang menyatakan larangan atau kebolehan dari persoalan pelik ini. 

Dalil hukum lain yang secara tegas menyatakan larangan atas pernikahan beda agama terdapat pula dalam Kompilasi Hukum Islam di pasal 40 poin C yang berbunyi “Seorang wanita yang tidak beragama Islam” sebagai salah satu aspek yang dapat menyebabkan dilarangnya sebuah pernikahan, khususnya bagi seorang muslim. Jika melalui dalil hukum di atas dipahami sebagai larangan atas pernikahan beda agama, maka fakta di lapangan telah cukup membuktikan bahwa tidak sedikit dari warga negara Indonesia yang telah melanggarnya. 

Menyikapi problem di atas, penulis merasa tertarik untuk mengajak pembaca budiman sekalian untuk membahas pernikahan beda agama dalam kacamata tafsir Alqur’an. Penulis sendiri lebih memilih untuk beracuan pada beberapa mufasir kondang tanah air, seperti Buya Hamka dan M. Quraish Shihab melalui karya tafsirnya masing-masing. 

Kiranya, pemilihan mufasir tersebut dikarenakan keduanya tergolong ke dalam tokoh era modern-kontemporer di bidang tafsir, sehingga pendapatnya pun dirasa dapat relate dengan keadaan Indonesia saat ini. Penulis sendiri ingin menunjukkan argumen dari kedua mufasir di atas melalui panafsiran terhadap QS. Al-Ma’idah [5]: 5. 

Potret Toleransi dan Legalitas Pernikahan Beda Agama 

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْك ِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ ال ْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْ لِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِ حِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَد ْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ 

Artinya: 

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikah) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahnya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. 

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (Jilid 3, 1630-1632), membuka pembahasan terkait pernikahan beda agama pada ayat di atas dengan argumen yang begitu damai. Dalam pendapatnya, Hamka menuliskan bahwa seorang lelaki muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan dari kalangan Ahli Kitab jikalau memang nasib menakdirkan keduanya sebagai dua insan yang berjodoh. 

Menurut Hamka, dalam perkara ini pihak wanita tidaklah diharuskan untuk memeluk agama Islam terlebih dahulu, sebab sejatinya dalam hal agama bagi Hamka tiada paksaan sebagaimana yang dijelaskan pada QS. al-Baqarah [2]: 256. Hamka juga menganggap adanya nilai-nilai toleransi yang dapat tercapai selama pihak lelaki muslim dapat menjadi imam rumah tangga yang mampu memberikan suri tauladan, baik dalam hal kesalihan, ketaatan ibadah, dan senantiasa menjaga silaturahmi dengan pihak non-muslim dari keluarga istrinya. 

Sementara itu, pendapat M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, Tafsir al-Misbah (Juz 3, 29-32) tidaklah jauh berbeda dengan yang dijelaskan oleh Buya Hamka sebelumnya mengenai izin menikahi perempuan dari kalangan Ahli Kitab. Istilah Ahli Kitab sendiri pada awalnya dinisbatkan pada penganut ajaran Yahudi dan Nasrani, namun Shihab juga mencantumkan pendapat yang mengatakan bahwa term tersebut juga dapat meliputi agama lain yang juga memiliki kitab suci, seperti Hindu, Budha, dan sebagainya. 

Shihab berpendapat jika hukum pernikahan tersebut diperbolehkan hanya dalam kasus lelaki muslim yang menikahi perempuan Ahli Kitab, sedangkan untuk kasus yang sebaliknya tidak dibenarkan dalam syariat. Dilarangnya hubungan pernikahan antara perempuan muslim dengan lelaki Ahli Kitab didasarkan pada ketidakpercayaan mereka (kalangan Ahli Kitab) terhadap status kenabian Nabi Muhammad, serta ditakutkannya hal tersebut dapat mempengaruhi akidah istrinya baik secara langsung maupun dengan cara yang terselubung. 

Kendati lelaki muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan Ahli Kitab, namun ada hal yang perlu diperhatikan dalam tafsiran Shihab. Persamaan agama tetaplah menjadi sebuah prioritas pertama demi menjaga kelanggengan bahtera rumah tangga, sehingga hendaknya lelaki muslim menempatkan posisi perempuan mukmin sebagai pilihannya yang utama.

Kritik Pernikahan Beda Agama

Dalam Islam sendiri sebenarnya terdapat kebolehan tentang pernikahan beda agama walaupun hanya dalam kasus antara lelaki muslim dan perempuan Ahli Kitab. Namun, dalil QS. Al-Ma’idah [5]: 5 ini masih menjadi pro-kontra di kalangan umat Islam terlebih dengan adanya QS. Al-Baqarah [2]: 221 dan QS. Al-Mumtahanah [90]: 10 yang kerap dijadikan sebagai dalil diharamkannya pernikahan beda agama. 

Kebolehan pernikahan beda agama sendiri juga ditujukan untuk menghindari fitnah sekaligus demi menjaga kehormatan dari pihak perempuan agar tidak dijadikan sebagai gendak atau gundik melalui status hubungan yang sudah sah. Selain itu, kebolehan ini hanya ditujukan bagi lelaki muslim yang telah benar imannya dan mampu menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam dalam rumah tangga tanpa harus memaksakan istrinya untuk memiliki agama yang sama. 

Adanya redaksi وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ(dan barangsiapa kafir sesudahh beriman) merupakan sebuah peringatan agar hukum halalnya menikahi perempuan Ahli Kitab tidak membuat pihak lelaki muslim sampai lalai apalagi berani meninggalkan agamanya. Maksudnya, apabila hal demikian malah mengantarkan seorang muslim menuju jurang kekufuran, maka tiada lagi selain kerugian yang kelak ia dapatkan. 

Oleh sebab itu, antara Buya Hamka dan Quraish Shihab sama-sama berpendapat bahwa kebolehan pernikahan beda agama dalam ayat ini juga bisa tidak dibenarkan dalam Islam apabila dari pihak lelaki muslim sendiri belum memiliki iman yang kuat dan tidak mampu menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam.

Dengan demikian, menanggapi polemik pernikahan beda agama di Indonesia dengan adanya dalil-dalil konstitusi yang telah disebutkan sebelumnya sudah merupakan keputusan yang bijak dari negara. Peraturan-peraturan tersebut tampaknya turut membantu dalil-dalil Alqur’an untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan dengan cara melarang atau membatasi pernikahan beda agama yang hanya didasarkan pada cinta buta. 

Sementara itu, para ulama Indonesia sendiri yang notabenenya lebih kuat iman dan agamanya ketimbang para selebritas lainnya juga tidak ada yang melakukan pernikahan beda agama. Oleh karena itu, syarat dan ketentuan dari diizinkannya pernikahan beda agama pada QS. Al-Ma’idah [5]: 5 juga perlu diperhatikan dan jangan sampai disalahgunakan hanya untuk memenuhi nafsu pribadi yang berakibat pada tercemarnya spirit toleransi atas keberagaman dan rusaknya citra ajaran Islam.

*) Mahasiswa Ilmu Alqur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال