Penjagaan Tauhid dan Keimanan Perspektif M. Quraish Shihab

Penulis: Alviga Nur Laila*

KULIAHALISLAM.COM - Tiap agama memiliki kepercayaan mengenai Tuhan, karena esensinya. Agama merupakan aturan Ketuhanan yang diterapkan untuk mewujudkan kebahagiaan hidup, baik secara fisik maupun spiritual, di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap agama menempatkan ajaran atau pengetahuan tentang Ketuhanan sebagai fokus utama dalam ajaran agamanya.


Tauhid adalah keyakinan dalam ke-Esaan Allah dalam aspek Rububiyah (penguasaan Ketuhanan), Uluhiyah (ibadah), pemberian-Nya nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta menjauhkan-Nya dari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan (kesempurnaan mutlak), tanpa menyamakan-Nya dengan makhluk apapun.

Terdapat istilah iman yang memiliki kesamaan makna atau mirip dengan tauhid. Menurut aliran Al-Asyariyah, iman hanya perlu disahkan dalam hati dan tidak diwajibkan untuk diwujudkan dalam tindakan nyata. Dalam pandangan serupa, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa iman hanyalah keyakinan (itiqad), sementara perbuatan adalah bukti dari iman tetapi tidak disebut sebagai iman itu sendiri.

M. Quraish Shihab menafsirkan beberapa ayat tentang pemeliharaan terhadap ke-Esaan Tuhan dan keyakinan. Terdapat di dalam surah Al Kahf: 110, Ibrahim: 52, An Nahl: 51, dan Az-Zumar: 4. 

Surah Al-Kahf: 110

قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌۭ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

Artinya: 

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.

Dalam tafsir Al-Azhar ayat tersebut disebutkan bahwasannya Nabi adalah manusia seperti layaknya manusia pada umumnya. Allah memerintahkan agar hamba-Nya tidak merasa takut ketika bertemu dengan Nabi hingga ada yang gemetar ketika berhadapan dengan wajah Nabi karena kewibawaannya di masa itu. 

Kemudian Nabi berkata kepada kaumnya agar tidak perlu takut kepadanya karena Nabi ialah manusia seperti layaknya mereka. Akan tetapi, Nabi memiliki satu kelebihan yakni Nabi mendapatkan wahyu. Kemudian diwajibkan bagi Nabi untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada kaumnya. Inti dari wahyu itu hanyalah satu perkara,”Bahwa Tuhan hanyalah Tuhan Yang Esa”.

Surah Ibrahim: 52

هَـٰذَا بَلَـٰغٌۭ لِّلنَّاسِ وَلِيُنذَرُوا۟ بِهِۦ وَلِيَعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا هُوَ إِلَـٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ وَلِيَذَّكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ 

Artinya: 

Dan (Alqur’an) ini adalah penjelasan (yang sempurna) bagi manusia, agar mereka diberi peringatan dengannya, agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan agar orang yang berakal mengambil pelajaran.

Allah menegaskan bahwa ayat yang di atas yang mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapan menuju cahaya terang benderang merupakan penjelasan yang cukup dan sempurna bagi manusia untuk kebahagiaan dunia dan di akhirat mereka. Selain itu ia juga diturunkan supaya mereka diberi peringatan dengannya oleh siapa pun yang memahami dan mempercayai.

Seperti telah dikemukakan bahwasannya Tauhid adalah pusat yang beredar di sekelilingnya kesatuan-kesatuan. Ketika menanamkan nilai Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa), Alqur’an memulai dengan mengajak memperhatikan ciptaan-ciptaan-Nya, atau kenyataan empiris seperti bumi, langit, tumbuhan, angin dan sebagainya.

Surah An-Nahl: 51

وَقَالَ ٱللَّهُ لَا تَتَّخِذُوٓا۟ إِلَـٰهَيْنِ ٱثْنَيْنِ ۖ إِنَّمَا هُوَ إِلَـٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ ۖ فَإِيَّـٰىَ فَٱرْهَبُونِ 

Artinya: 

Dan Allah berfirman, “Janganlah kamu menyembah dua Tuhan; hanyalah Dia Tuhan Yang Maha Esa. Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut.”

Dalam penafsiran Quraish Shihab, kata ilahah adalah bentuk yang menunjukkan dua. Bentuk tunggalnya adalah ilah yang berasal dari kata al-ilahah, al-uluhah dan al-uluhiyah. Menurut para ulama kata tersebut memiliki makna ibadah atau penyembahan, sehingga secara harfiah kata ilah bermakna yang disembah.

Para ulama yang mengartikan kata ilah sebagai “yang disembah” menegaskan bahwa kata ilah adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan didalam akidah Islam seperti matahari, bintang, bulan, atau berhala. Maupun yang dibenarkan dalam Islam yakni kepada Allah.

Kata ilahain menunjuk kepada dua sehingga sepintas kata ithnain yang juga berarti dua dan sesudah kata ilahain tidak diperlukan lagi. Al-Biqai memahami kata ithnain itu untuk menlak timbulnya dugaan bahwa larangan ini berkaitan dengan larangan memperbanyak nama-nama Allah. Disisi lain dalam ayat ini hanya menyebutkan dua Tuhan, apabila mengakui dan menyembah dua Tuhan saja telah terlarang apalagi jika menyembah banyak Tuhan.

Thabathaba’i berpendapat serupa bahwa penyebutan dua disini dikaitkan dengan pandangan orang-orang yang memiliki prinsip mempercayai adanya dua tuhan. Pertama, tuhan pencipta, dan sekadar pencipta. Dan tuhan kedua adalah tuhan pengatur dan pengendali yang kepadanya orang-orang tersebut beribadah.

Thaba>thaba>’i menyatakan:”Janganlah mempercayai adanya dua tuhan, tuhan pencipta dan tuhan pengatur. Tuhan hanya satu lagi Maha Esa, Dia Pencipta dan Dia juga Pengatur dan Pengendali.”

Surah Az-Zumar: 4

لَّوْ أَرَادَ ٱللَّهُ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًۭا لَّٱصْطَفَىٰ مِمَّا يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۚ سُبْحَـٰنَهُۥ ۖ هُوَ ٱللَّهُ ٱلْوَٰحِدُ ٱلْقَهَّارُ 

Sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang Dia kehendaki dari apa yang telah diciptakan-Nya. Maha Suci Dia. Dialah Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa.

Di dalam ayat tersebut Allah menegaskan bahwasannya Allah tidak memiliki anak atau mengangkat anak karena semua yang ada merupakan hasil ciptaan-Nya. Kata anak dapat diartikan sebagai anak kandung dan juga anak angkat. Para ulama memahami ayat ini dengan arti anak angkat karena sejak awal Allah telah memustahilkan adanya anak kandung bagi Allah.

Jika demikian hanya terdapat kemungkinan bahwa ayat tersebut diartikan sebagai anak angkat. Akan tetapi pada akhirnya hal ini mustahil terjadinya karena pengangkatan anak mengandung makna persamaan dalam beberapa hal seperti kehormatan, kepemilikan, dan lain-lain. Sedangkan Allah Maha Esa dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya.

Terdapat perbedaan komentar ulama dalam mengemukakan ayat tersebut. Ada yang memahami bagaikan berkata, Seandainya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang Dia kehendaki dan tentunya yang dipilih-Nya adalah yang terbaik. Tidak mungkin Allah memilih berhala-berhala seperti al-Lata dan al-Uzza yang disembah kaum musyrikin.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال