Rebo Wekasan dalam Perspektif Islam Adat dan Islam Modern

Rebo Wekasan dalam Perspektif Islam Adat dan Islam Modern

Muhammad Laukhim Mahfud

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Email: lmahfa75@gmail.com

Abstrak

Alqur'an, dan Hadis sebagai sumber hukum Islam. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, ulama Ahlussunnah Wa al-Jama'ah mengklasifikasikan sumber dalil menjadi empat, yaitu Alqur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas. Hal ini membuat landasan hukum atau dalil dalam pengambilan rujukan ibadah semakin luas. 

Kebudayaan, sebagai sesuatu yang dinamis, mengalami perubahan evolusioner. Kebudayaan Indis, sebagai contoh, merupakan percampuran kebudayaan Barat (Belanda) dan Timur (Jawa) akibat penjajahan Belanda di Jawa selama tiga setengah abad. Kebudayaan ini memengaruhi berbagai subsistem kebudayaan, seperti ekonomi, religi, sosial, pengetahuan, bahasa, kesenian, dan teknologi. 

Artikel ini membahas tentang tradisi Rebo Wekasan yang diadakan pada bulan Safar. Tradisi ini merupakan contoh dari Islam lokal di Indonesia, di mana praktik keagamaan menjadi dinamis dan beragam. Namun, dalam praktiknya, terkadang sulit membedakan antara syariat dan tradisi, dan sering terjadi pembauran di antara keduanya. 

Selain keagamaan, pelaksanaan Rebo Wekasan juga melibatkan aktivitas sosial seperti pasar Rebo Wekasan, kunjungan ke rumah sanak saudara, dan silaturahmi ke rumah tetangga. Namun, globalisasi dan perkembangan teknologi, terutama media sosial, telah mempengaruhi tradisi ini dan mengubah kegiatan masyarakat dalam sektor ekonomi dan struktur sosial. 

Seiring dengan perubahan zaman, muncul kelompok yang mengkritik tradisi Rebo Wekasan, menganggapnya sebagai sesuatu yang melanggar syariat Islam. Mereka menekankan bahwa setiap ibadah harus sesuai dengan Alqur'an dan Hadis, dan tidak boleh mencampur adukkan ajaran Islam dengan tradisi yang dianggap melebihi batas dan dapat merusak kesucian agama. 

Artikel ini akan melakukan analisis terhadap Rebo Wekasan dari perspektif masyarakat Islam adat dan masyarakat modern, dengan menggunakan Teori Konflik sebagai kerangka analisis. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, melibatkan wawancara, observasi, dan studi literatur. Hasil dan pembahasan artikel ini melibatkan sejarah Rebo Wekasan, perspektif kaum adat, peran tokoh-tokoh lokal seperti kiai, dan dasar keagamaan dan budaya penyelenggaraan Rebo Wekasan. 

Selain itu, artikel ini juga mencakup pandangan kaum modern, terutama kritik dari ulama terkemuka terhadap amalan Rebo Wekasan yang dianggap sebagai bid'ah dan kesyirikan. Dengan demikian, artikel ini memberikan gambaran komprehensif tentang Rebo Wekasan sebagai tradisi keagamaan lokal yang kompleks, melibatkan elemen-elemen kebudayaan, keagamaan, dan konflik antara perspektif tradisional dan modern dalam masyarakat Islam di Indonesia.

Kata kunci: Rebo Wekasan, Shafar, Ritual, Bid’ah

Abstract

Alqur'an and Hadith as sources of Islamic law. However, along with developments over time, Ahlussunnah Wa al-Jama'ah scholars classified the sources of evidence into four, namely the Qur'an, Hadith, Ijma', and Qiyas. This makes the legal basis or arguments for making references to worship wider. Culture, as something dynamic, undergoes evolutionary changes. Indic culture, for example, is a mixture of Western (Dutch) and Eastern (Javanese) culture as a result of Dutch colonialism in Java for three and a half centuries. This culture influences various cultural subsystems, such as economic, religious, social, knowledge, language, arts, and technology. This article discusses the Rebo Wekasan tradition which is held in the month of Safar. This tradition is an example of local Islam in Indonesia, where religious practices are dynamic and diverse. However, in practice, it is sometimes difficult to differentiate between Shari'a and tradition, and there is often confusion between the two. Apart from religion, the implementation of Rebo Wekasan also involves social activities such as the Rebo Wekasan market, visits to relatives' houses, and visits to neighbors' houses. However, globalization and technological developments, especially social media, have influenced this tradition and changed people's activities in the economic sector and social structure. As times change, groups emerge that criticize the Rebo Wekasan tradition, considering it something that violates Islamic law. They emphasized that every worship must be by the Koran and Hadith, and must not mix Islamic teachings with traditions that are considered excessive and can damage the sanctity of religion. This article will analyze Rebo Wekasan from the perspective of traditional Islamic society and modern society, using Conflict Theory as an analytical framework. The research method used is qualitative, involving interviews, observation, and literature study. The results and discussion of this article involve the history of Rebo Wekasan, traditional perspectives, the role of local figures such as Kiai, and the religious and cultural basis for organizing Rebo Wekasan. Apart from that, the article also covers modern views, especially criticism from leading scholars regarding the practice of Rebo Wekasan which is considered heresy and shirk. Thus, this article provides a comprehensive picture of Rebo Wekasan as a complex local religious tradition, involving cultural, and religious elements, and conflicts between traditional and modern perspectives in Islamic society in Indonesia.

Keywords: Rebo Wekasan, Shafar, Ritual, Bid'ah

Pendahuluan 

Agama Islam adalah agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril dengan secara mutawatir atau berangsur-angsur. Didalam agama Islam terdapat sebuah landasan dalil atau pedoman yang digunakan sebagai rujukan dalam melakukan ibadah. 

Yang diantaranya pada saat zaman berupa Alqur’an dan Hadis, dua sumber itulah yang digunakan sebagai rujukan dalil kaum muslimin pada saat zaman salafus salih. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman maka ulama Ahlussunnah Wa al-Jama’ah mengklafisikan sumber dalil menjadi 4: Alqur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Dengan adanya itu maka landasan hukum atau dalil dalam pengambilan rujukan ibadah semakin luas.[1]

Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan bisa mengalami perubahan secara lambat tetapi pasti atau yang dikonsepsikan sebagai perubahan evolusioner. Kebudayaan Indis, misalnya, adalah percampuran antara kebudayaan Barat (Belanda) dan kebudayan Timur (Jawa) yang terjadi karena proses penjajahan yang dilakukan Belanda atas tanah Jawa selama tiga setengah abad. Percampuran budaya itu kemudian memengaruhi berbagai subsistem kebudayaan, baik yang menyangkut sistem ekonomi, religi, social, pengetahuan, bahasa, kesenian maupun sistem teknologinya.[1]

Kebudayaan di sini dianggap sebagai sesuatu yang standar untuk menentukan sesuatu, menentukan apa yang dapat diperbuat, apa pendapat tentang itu, dan apa yang diperbuat terhadapnya, termasuk terjadinya asimilasi budaya dan agama Islam yang dilaksanakan berdasarkan penanggalan Jawa dan Islam seperi tradisi Rebo Wekasan yang diadakan pada bulan Safar. Dalam kalender Hijriyah, bulan Safar merupakan bulan ke dua, yaitu Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa'dah, dan Zulhijjah. 

Sebagai akibat dari pembiaran tradisi menyatu dalam syariat Islam, maka muncul berbagai praktik keagamaan yang beragam namun tidak mengurangi substansi ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Alqur’an. 

Tafsir ke-agamaan oleh berbagai suku dan etnis kemudian melahirkan apa yang disebut oleh beberapa ilmuwan seperti Geertz (Geertz,1981: 53), Woodward (Woodward, 2006: 132), Mulder (Mulder, 1999: 56), sebagai Islam lokal, yakni Islam yang identik dengan identitas lokal di mana Islam itu menjadi keyakinan penduduk di masing-masing daerah, terutama di Jawa. Munculnya kluster Islam Jawa, Islam Melayu, Islam Banjar dan Islam Bugis yang merupakan ekspresi dari keberagamaan Islam nusantara.[2]

Praktik Islam lokal pada satu sisi mengantarkan Islam nusantara yang dinamis dan beragam, tetapi pada sisi lain juga mengantarkan pada sulitnya membedakan antara syariat dan tradisi. Sering kali ditemukan terjadi pembauran antar keduanya, dan tidak jarang pula ditemukan tradisi menjadi syariat dan syariat menjadi tradisi. 

Dalam praktiknya, ayat-ayat Alqur’an disamping sebagai bacaan yang mempunyai nilai ibadah, sekaligus sebagai referensi pokok kaum muslimin dalam menghadapi problematika sosial dan transendental. Alquran sejak masa Nabi juga digunakan sebagai sarana untuk mencegah atau memusnahkan sihir jahat dan menyembuhkan berbagai penyakit. 

Selain upacara keagamaan, pelaksanaan Rebo Wekasan juga ditandai oleh adanya aktivitas-aktivitas sosial di masyarakat seperti adanya pasar rebo wekasan yang diadakan selama 3 hari 3 malam mulai hari selasa hingga kamis, mengunjungi rumah sanak saudara atau bersilaturahmi ke rumah tetangga. 

Namun, globalisasi telah merubah segala bentuk kegiatan masyarakat pada sektor ekonomi yang justru mempermudah dalam menemukan hal baru, mendapatkan informasi, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat ini, banyak beredar platform media sosial yang menawarkan informasi baik sadang, pangan di media sosial. 

Sehingga seni dan budaya suatu wilayah akan mudah terdampak pada sektor ekonomi dan struktur sosial dalam masyarakat. salah satu dampaknya ialah perubahan tradisi rebo wekasan oleh masyarakat. Pada dasarnya suatu tradisi telah dilakukan secara turun-menurun oleh setiap generasi, namun pada era modern saat ini telah menemukan banyak inovasi penemuan-penemuan baru yang lebih efisien dan efektif dalam penggunaannya. [2]

Dengan penjabaran diatas tentang tradisi Rebo Wekasan, maka terdapat segerombol kelompok yang menganggap bahwa tradisi ini merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan melanggar syariat Islam. Kelompok ini beranggapan bahwa semua ibadah harus sesuai dengan Alqur’an dan hadist, karena dua itu adalah sumber hukum yang mutlak selain dari situ maka tidak ada anjuran dan haram dilakukan. 

Islam adalah agama yang murni yang tidak bisa dicampur dengan urusan atau ajaran yang meambah-nambahi bahkan menyimpang dari kesucian dan kemutlakan agama Islam. Kelompok ini menganggap bahwa akulturasi agama dibolehkan hanya dalam hal sosial dan peradaban, tidak dalam hal ubbudiyah yang dapat merusak eksistensi dari agama islam itu sendiri. 

Artikel ini akan mengkaji masalah Rebo Wekasan dalam perspektif Masyarakat Islam Adat dan Modern. Untuk membantu analisis, penulis akan menggunakan teori konflik. Pada bagian ini akan dikaji bagaimana masyarakat mengkonstruksi kehidupan individu ke dalam kehidupan masyarakat melalui pemaduan antara ajaran keagamaan dengan tradisi. Terjadi kontroversi antara kelompok islam adat dan Islam modern. 

Metode Penelitian

Artikel ini menggunakan pendekatan teori konflik sebagai kerangka analisis untuk memahami perbedaan dan konflik antara perspektif tradisional (masyarakat Islam adat) dan perspektif modern dalam masyarakat Islam di Indonesia terkait dengan tradisi Rebo Wekasan. Teori konflik mencoba menyoroti ketidaksetujuan, ketegangan, dan konflik antara dua kelompok atau perspektif yang berbeda. 

Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan berfokus pada pemahaman mendalam tentang fenomena sosial. Metode ini melibatkan wawancara, observasi, dan studi literatur. Pendekatan kualitatif dianggap sesuai untuk menjelajahi dan memahami kompleksitas tradisi keagamaan dan pandangan masyarakat terhadapnya.

Data dikumpulkan melalui beberapa sumber, termasuk wawancara dengan masyarakat lokal, observasi langsung terhadap pelaksanaan Rebo Wekasan, dan studi literatur yang melibatkan analisis terhadap sumber-sumber keagamaan seperti Alqur'an dan Hadis. Ini menciptakan keberagaman dalam data yang mendukung analisis komprehensif. 

Artikel ini membahas sejumlah elemen termasuk sejarah Rebo Wekasan, perspektif masyarakat adat, peran tokoh lokal seperti Kiai, dan dasar keagamaan dan budaya penyelenggaraan Rebo Wekasan. Hal ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang tradisi tersebut dari berbagai perspektif. 

Dengan mengidentifikasi konflik antara tradisi lokal dan pandangan modern, terutama dari ulama terkemuka yang mengkritik Rebo Wekasan sebagai bid'ah dan kesyirikan. Ini menunjukkan pergeseran nilai dan pandangan dalam masyarakat terkait dengan keberlanjutan tradisi tersebut.

Sebab dari dampak globalisasi dan perkembangan teknologi, terutama media sosial, terhadap tradisi Rebo Wekasan. Dapat menggambarkan bagaimana perubahan zaman dan pengaruh eksternal dapat memicu konflik dan perubahan dalam praktik keagamaan lokal. 

Dengan menggunakan pendekatan teori konflik, metode penelitian kualitatif, dan menganalisis berbagai aspek, artikel ini memberikan wawasan yang komprehensif tentang Rebo Wekasan sebagai tradisi keagamaan lokal yang kompleks dalam masyarakat Islam di Indonesia.

Hasil dan Bahasan
Sejarah Rebo Wekasan dan Perspektif Kaum Adat

Sejarah Rebo Wekasan memiliki latar belakang akar sejarah dengan berdirinya Desa Suci. Rebo Wekasan mulai ada bersamaan dengan berdirinya Desa Suci. Sejarah Desa Suci dimulai semenjak zaman Sunan Giri. Konon Sunan Giri pernah singgah di desa Polaman –sekarang Desa Suci. 

Namun tidak betah yang menurut dikarenakan kondisi dan situasimasyarakat Polaman yang suka berbuat tercela seperti minum-minuman danlain sebagainya, sehingga kemudian Sunan Giri pada akhirnya memilih untukbertapa di Pegunungan Giri. Kemudian Sunan Giri mengutus santri yang sekaligus masih familinya yang bernama Syekh Jamal al-Din Malik untuk menyebarkan agama Islam di desa Polaman. 

Setelah Syekh Jamal al-Din Malik berada di desa Polaman, ia mendirikan sebuah masjid sekaligus menjadi pesantren yang memiliki fungsi untuk tempat beribadah sekaligus belajar ilmu agama Islam. Masjid tersebut kemudian diberi nama Masjid Roudhotus Salam. Masjid saat ini berdiri kokoh dan menjadi simbol desa.[2]

Karena semua masyarakat Polaman mengetahui bahwa Syekh Jamal al-Din Malik merupakan santri sekaligus keluarga Sunan Giri, maka masyarakat tersebut kemudian berguru dan belajar ilmu agama Islam sekaligus belajar ibadah kepada beliau sehingga saat itu Syekh Jamal al-Din Malik memiliki santri yang cukup banyak. 

Karena banyaknya santri itulah, maka Syekh Jamal al-Din Malik membuat sebuah sumur yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Gede. Semakin tahun semakin banyak santri yang belajar ilmu agama kepada Syekh Jamal al-Din Malik. 

Karena semakin banyaknya santri maka kebutuhan air pun semakin banyak apalagi pada musim kemarau air dari Sumur Gede sering mengalami kekeringan karena tidak ada air lebih-lebih pada musim kemarau. Oleh karenanya Syekh Jamal al-Din Malik meminta saran kepada Sunan Giri.

Kemudian Sunan Giri menyarankan kepada Syekh Jamal al-Din Malik untuk menelusuri lereng bukit di sebelah utara Desa Polaman untuk mencari sumber air. Setelah itu Syekh Jamal al-Din Malik melihat rerimbunan pohon-pohon besar di tempat lereng tersebut yang terdiri dari pohon randu, pohon beringin, pohon abar, pohon kayu tangan, dan pohon kesono yang membentuk sebuah gerumbulan. 

Kemudian di bawah pohon-pohon tersebut Syekh Jamal al-Din Malik menemukan sumber air yang sangat jernih dan sangat besar hingga airnya meluap ke permukaan tanah dan sangat sesuai dengan kebutuhan bersuci menurut syariat agama Islam. Karena itulah kemudian sumber air tersebut dikenal dengan nama Blumbang atau Pemandian Sendang Sono, (Miftach, 2008: 2) sedangkan wilayah sekitar Sendang Sono disebut dengan Desa Suci.[3]

Kemudian Syekh Jamal al-Din Malik memindahkan masjid yang ada di desa Polaman ke Desa Suci yang berada di sebelah sumber air Sendang Sono. Karena situasi dan perkembangan zaman masjid tersebut berpindah-pindah, dari Polaman ke dekat sumber air Sendang Sono kemudian pada masa penjajahan Jepang dipindah ke Kampung Gombang sebelah barat desa, dan setelah masa Indonesia merdeka masjid tersebut dipindah lagi. 

Namun atas saran para tokoh masyarakat kemudian masjid tersebut ditempatkan di tengah-tengah desa. Sampai sekarang masjid itu tetap berdiri megah dengan nama Masjid Roudlotus Salam, sedangkan di tanah bekas masjid yang dipindah tersebut juga didirikan masjid yang lokasinya tepat di depan sumber air Sendang Sono yang kemudian diberi nama masjid Mamba’ut Tho’at (Miftach, 2008: 4). 

Setelah ditemukan sumber air, Sunan Giri memerintahkan kepada Syekh Jamal al-Din Malik untuk mengajak masyarakat pada hari Selasa malam Rabu terakhir pada bulan Safar untuk mandi dan berwudu di sumber air tersebut. Selanjutnya dilakukan salat sunah yang diakhiri dengan sujud syukur sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan kenikmatan berupa sumber air yang sangat melimpah dan jernih dan sekaligus memohon agar diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala penyakit.[4]

Kemudian masyarakat kembali pulang dengan membawa air dari Sendang Sono untuk diminum oleh keluarga di rumah agar memperoleh barokah yang kemudian kegiatan ini—membawa pulang air dari Sendang Sono—menurut masyarakat Desa Suci disebut dengan tabarrukan (mengharap barokah). 

Sejak dimulainya ritual tersebut, Syekh Jamaluddin Malik bersama masyarakat Suci pada tahun berikutnya menyelenggarakan kegiatan yang sama pada hari Rabu terakhir dalam bulan safar dengan ritual yang sama dan akhirnya kegiatan tersebut dilaksanakan secara terus-menerus dan berulang-ulang setiap tahun sehingga menjadi kebiasaan masyarakat Suci yang selanjutnya disebut dengan tradisi Rebo Wekasan oleh masyarakat desa Suci (Miftach, 2008: 10). 

Perayaan Tradisi Rebo Wekasan dilaksanakan di masjid Mamba’ut Tho’at, yaitu masjid yang berada di sebelah utara Desa Suci yang berada di depan sumber air Sendang Sono Wedoaan. Di masjid tersebutlah kegiatan dan ritual-ritual Rebo Wekasan dilaksanakan. 

Di masjid tersebut tradisi Rebo Wekasan dilaksanakan selama 2 (dua) hari, yaitu hari Senin malam Selasa hingga Selasa malam Rabu. Pada hari Senin malam Selasa kegiatannya adalah Khotmil Qur’an yang dimulai sejak pagi hingga sore. Kemudian dilanjutkan dengan pembagian air Rebo Wekasan kepada masyarakat dan pengunjung.[2]

Kemudian dilanjutkan dengan acara Asuban. Asuban adalah sebuah kegiatan hiburan yang berupa kesenian teater yang mengandung nilai-nilai Islam. Setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan Kirab Tumpeng yang pelaksanaan-nya dilaksanakan dengan cara arak-arakan keliling mulai Masjid Nurud Dholam Kampung Asemanis ke Masjid Mamba’ut Tho’at. 

Di Masjid Mamba’ut Tho’at itulah kemudian pengunjung makan bersama tumpeng tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan pengajian umum atau tausiyah yang disampaikan oleh para Kiai, tokoh agama atau pemerintah desa dan kabupaten. 

Kemudian pada hari Selasa malam Rabu pengunjung dan masyarakat mandi dan bersuci di pemandian atau sumber air Sendang Sono, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan istighosah berjamaah yang berisi yasin, tahlil dan salawat mulai maghrib hingga selesai. Kemudian kegiatan Rebo Wekasan diakhiri dengan kegiatan salat sunah mutlaq secara berjamaah yang diakhiri dengan sujud syukur.

Dalam proses pelaksanaan Rebo Wekasan, di luar Masjid Mamba’ut Tho’at, yakni di sepanjang jalan Desa Suci panitia kegiatan yang dipanitiai oleh pemerintah Desa Suci mengadakan hiburan-hiburan untuk menarik perhatian pengunjung dan sekaligus menghibur mereka. 

Bentuk hiburan tersebut dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Pada zaman dulu hiburan yang dominan adalah wayang kulit, panggung sandiwara Islami, pencak silat, layar tancap, komedi putar, dan juga hadrah yang kesemuanya tersebut kurang dapat dilestarikan. Saat ini hanya seni hadrah yang masih diadakan setiap tahun.[1]

Selain hiburan, di sepanjang jalan Desa Suci juga dipenuhi oleh berbagai jenis pedagang dan jasa yang menjajakan dan menawarkan barang dan jasanya. Pada zaman dulu terdapat banyak pedagang menjual makanan kecil dan minuman sederhana seperti serebeh atau serabi raksasa dan wingko dari Desa Ndoro Banjarsari Kecamatan Manyar, dawet dan rujak legi dari desa Rumo kecamatan Manyar, kupat ketek dari Desa Giri Kecamatan Kebomas, dan kacang dengan dipikul dari Desa Benjeng dan Balong Panggang. 

Itulah pedagang yang pertama kali berjualan di Desa Suci dalam kegiatan Rebo Wekasan. Berbeda dengan zaman dulu, zaman sekarang banyak yang berdagang dengan beberapa jenis yang bervariasi, tidak hanya makanan dan minuman saja tetapi juga pakaian, jasa hiburan seperti ombak banyu, dan semacamnya, pijat refleksi, mainan, dan lain sebagainya.

Dalam mensukseskan pelaksanaan perayaan Rebo Wekasan, keterlibatan beberapa figur lokal Desa Suci sangat dominan, terutama tokoh Kiai. Figur-figur tersebut ialah: Kiai, pesantren, tokoh agama dan pemerintah desa. Dalam pelaksanaan Rebo Wekasan, Kiai terlibat dalam beberapa bentuk keterlibatan yang bermacam-macam: 

Pertama, Kiai terlibat untuk memimpin ritual-ritual keagamaan dalam perayaan Rebo Wekasan seperti istigasah, tahlil, yasin, doa, dan ritual keagamaan dan khususnya memberikan doa pada segelas air yang kemudian dibagikan kepada santri dan masyarakat suci sebagai tabarrukan. 

Kedua, Kiai terlibat sebagai penceramah dalam perayaan tersebut, seperti pemberi atau pengisi tausiyah-tausiyah agama atau ceramah agama di mana dalam konteks Rebo Wekasan dilakukan secara bergiliran setiap tahun. 

Ketiga, Kiai juga terlibat sebagai penyelenggara dan pelaksana perayaan di mana Kiai terlibat di dalamnya dengan posisi sebagai dewan penasihat. 

Keempat, selain itu Kiai juga terlibat dalam Rebo Wekasan sebagai tamu undangan saat perayaan, sebab tidak semua Kiai merupakan figur lokal, tetapi ada pula Kiai yang merupakan figur outsider yang sesungguhnya tidak memiliki mata rantai kesejarahan dengan Rebo Wekasan.

Dalam menyelenggarakan dan melaksanakan perayaan Rebo Wekasan masyarakat menggunakan dasar-dasar tertentu di mana dasar-dasar tersebut merupakan pondasi yang dapat memberikan kekuatan terhadap perkembangan dinamika perayaan Rebo Wekasan agar selalu selaras dan sejalan dengan syariat Islam dan kebudayaan. 

Dalam hal ini penulis dapat mengkategorikan dasar-dasar penyelenggaraan perayaan Rebo Wekasan dalam dua dasar, yaitu dasar keagamaan dan dasar budaya. Berdasarkan pada dasar keagamaan, penulis dapat menggolongkannya menjadi dua perspektif, yaitu perspektif Alqur’an dan perpektif pendapat ulama’. 

Dalam perspektif Alqur’an, perayaan Rebo Wekasan yang diselenggarakan di Desa Suci merujuk pada firman Allah SWT dalam QS. Ibrahim: 7 yang berbunyi:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

“Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Bahwa Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami (Allah) akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).

Ayat di atas merupakan ayat yang memberikan interpretasi bahwa Allah telah memberitahukan janji-janjinya kepada manusia bahwa jika mereka dapat bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh-Nya, maka niscaya ia akan menambah nikmat kepada manusia. Namun sebaliknya jika manusia mengingkari nikmatnya maka ia akan memberikan azab atau musibah kepada manusia dengan cara mengambil kembali nikmat itu dari mereka dan menyiksa mereka atas pengingkaran terhadap nikmat tersebut (Katsir, 1999: 263).[2]

Firman Allah SWT di atas sesungguhnya sangat sesuai dengan latar belakang munculnya tradisi Rebo Wekasan, yaitu ditemukannya sumber air Sendang Sono yang jernih dan melimpah yang dapat digunakan untuk bersuci, serta pengairan sawah dan kebun. Sumber Sendang Sono tersebut merupakan kenikmatan yang dikaruniakan oleh Allah kepada masyarakat Suci. 

Oleh karena itu, kemudian Rebo Wekasan muncul sebagai media ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Allah atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada masyarakat Suci yang berupa sumber air Sendang Sono yang melimpah sehingga dapat digunakan untuk aktivitas kehidupan masyarakat. 

Agar Allah tidak memberikan azab dan musibah dengan cara mengambil kembali kenikmatan yang telah diberikan dalam bentuk sumber air Sendang Sono tersebut, maka masyarakat berusaha untuk bersyukur dan menghindari rasa kufur terhadap nikmat Allah. 

Sebab jika masyarakat tidak mau bersyukur atas karunia dan nikmat yang dianugerahkan oleh Allah maka Allah akan mengambil nikmat yang diberikannya dan menggantikannya dengan musibah dan azab dan menyiksa masyarakat Suci terhadap pengingkaran tersebut.[3]

Adapun dasar keagamaan dalam perspektif pendapat ulama tentang Rebo Wekasan antara lain; 

Pertama, menurut ulama terdahulu setiap bulan Safar Allah menurunkan beribu-ribu bala’. Karena itu para ulama’ terdahulu membuat slametan (berdoa dan memberi sadoqah makanan) dan berdoa pada hari Rabu terakhir bulan Safar agar terbebas dari bala’, musibah dan azab yang diturunkan oleh Allah. 

Kedua, menurut kiai NU dasar tradisi Rebo Wekasan adalah sebuah kaidah fiqhiyah yang berbunyi Al-‘adatu Muhakkamaat yang artinya sebuah tradisi, budaya atau kebiasaan dapat dijadikan sebagai dasar hukum. 

Adapun dasar budaya penyelenggaraan tradisi Rebo Wekasan adalah melestarikan budaya Rebo Wekasan yang sesungguhnya merupakan tradisi masyarakat Desa Suci sejak dulu. Selain itu tradisi Rebo Wekasan saat ini merupakan identitas masyarakat Desa Suci yang harus selalu dilestarikan sehingga masyarakat tidak sampai kehilangan identitas mereka sendiri.[4]

Rebo Wekasan Menurut Perspektif Kaum Modern

Ulama modern yang bernama  Ustaz Syafiq Basalamah angkat suara mengenai Rebo Wekasan. Dia mengatakan bahwa amalan Rebo Wekasan muncul karena keyakinan yang tidak benar atau sesat. Rebo Wekasan merupakan sebutan untuk hari Rabu akhir bulan Safar, yang menurut orang dahulu turun 320 bala atau musibah. 

Banyak yang meyakini ketika Rebo Wekasan tidak boleh membuat acara atau bepergian kemana-mana. Karena diyakini tidak akan berjalan lancar atau turun mala petaka, maka dibuatlah amalan Rebo Wekasan. Diketahui, amalam Rebo Wekasan antara lain melaksanakan salat khusus, membuat makanan, dan lain-lain.[5]

Ustaz Syafiq Basalamah menjelaskan ternyata ada kitab yang menyebutkan bahwa bulan Safar adalah sial yang dimana mereka membuat ibadah tertentu seperti: shalat 4 rakaat membaca Al-Kautsar 17 kali, kemudian membaca Al- Iklhas dan seterusnya, juga membaca doa khusus. 

Kemudian dia menegaskan bahwa ketika amalan tersebut dilakukan, maka tidak akan kena bala. Menurutnya, musibah yang diturunkan hanya Allah SWT yang tahu, sedangkan manusia tidak bisa. Bulan Safar sama dengan yang lainnya, Allah SWT tidak menentukan satu bulan itu bala.[6]

Salat Rebo Wekasan yang biasa dilakukan oleh sebagian umat Muslim di Tanah Jawa tujuannya untuk menolak musibah. Padahal Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah mengajarkan dan melakukan Salat Rebo Wekasan. 

Termasuk para ulama sunnah yang masih hidup hingga saat ini juga tak pernah melakukan amalan tersebut.[6] Ustaz Firanda Andirja menyebutkan ada sebuah sebuah ibadah, yang dinamakan Salat Rebo Wekasan. 

Salat tersebut dilakukan di akhir bulan Safar karena mereka meyakini bahwa hari itu akan banyak musibah. Maka untuk menghilangkan musibah tersebut dilakukan Salat tolak bala yang dinamai dengan salat Rebo Wekasan.[7]

Lalu dari mana salat tersebut bisa dilakukan jika nabi saja tidak pernah melakukanya. Kalau itu benar lakukan, tapi kalau tidak juga tidak apa-apa. Ini seorang muslim membuat syariat baru yang tidak ada dalilnya. Dia mengatakan ini bid'ah dibangun di atas kesyirikan dan menganggap hari Rabu itu sial merupakan tathayyur. 

Dan menurut Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam tathayyur itu adalah kesyirikan. "Apalagi Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam bilang tidak ada kesialan di bulan Safar namun mereka menganggap ada kesialan di bulan Safar yakni di minggu terakhir hari Rabu dan agar terhindar dari kesialan tersebut maka orang melakukan Shalat tolak bala.[8] 

Pertama kita tidak boleh meyakini ada hari tertentu hari sial. Dalam Islam tidak ada hari sial atau hari buruk. Meyakini ada satu hari tertentu dianggap hari buruk atau hari sial itu merupakan tathayyur, dan itu syirik.

Tathayyur itu meyakini hari tertentu, benda, angka membawa sial. Seperti dahulu orang-orang jahiliyah dahulu mereka menganggap bahwasanya menikah di bulan Syawal adalah sial, maka nabi SAW membantah mereka dengan menikahi Aisyah di bulan syawal. 

Ustaz Firanda Andirja mengatakan bahwa dia pernah mengunjungi suatu tempat di mana melakukan dzikir di hari Selasa karena mereka meyakini dulu nenek moyang mereka pernah terkena wabah pada hari Selasa, sehingga hari Selasa dianggap hari yang sial. 

Berkumpul bersama, membawa makanan sangat tidak dilarang, namun tidak perlu meyakini ada hari sial. Karena dalam Islam yang namanya sial itu datang kalau adanya maksiat.[6] Jika umat muslim meyakini akan terjadi kesialan atau musibah, seperti musibah pada hari Rabu pada akhir bulan Safar yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan musibah atau kesialan tersebut maka itu disebut tathayyur. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan makna tathayyur seperti dalam hadist dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :

الطِّيَرَةُ شِركٌ ، الطِّيَرَةُ شِركٌ ، الطِّيَرَةُ شِركٌ ، وما منا إلا ، ولكنَّ اللهَ يُذهِبُه بالتَّوَكُّلِ

“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan. Dan setiap kita pasti pernah mengalaminya. Namun Allah hilangkan itu dengan memberikan tawakkal (dalam hati)” (HR. Abu Daud no. 3910, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Menurut Ibnul Qayyin Ath Thiyarah juga disebut at tathayyur. Artinya merasa sial karena suatu pertanda yang dilihat atau didengar. Namun, sebagian ulama membedakan ath thiyarah dengan at tathayyur. Imam Al Qarafi mengatakan bahwa at tathayyur artinya sangkaan dalam hati bahwa akan terjadi kesialan. 

Sedangkan at thiyarah adalah perbuatan yang dihasilkan dari tathayyur, yaitu berupa lari atau perbuatan lainnya. Seperti perumpamaan jika seseorang ketika hendak pergi keluar rumah kemudian tiba-tiba ia kejatuhan cicak, lantas timbul dalam hatinya perasaan bahwa ia akan sial karena telah kejatuhan cicak sebagai penanda kesialan, maka dinamakan tathayyur. Jika ia mengurungkan niatnya untuk pergi, maka disebut thiyarah.[7] Ini semua adalah kesyirikan, sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam katakan dalam hadits di atas. 

Kesimpulan

Rebo Wekasan di Desa Suci muncul sebagai bentuk ungkapan syukur dan terima kasih kepada Allah atas karunia berupa sumber air Sendang Sono yang melimpah. Tradisi ini berkembang seiring keyakinan bahwa melalui ritual Rebo Wekasan, masyarakat dapat memperoleh keberkahan, keselamatan, dan terhindar dari bala atau musibah.

Penyelenggaraan Rebo Wekasan didasarkan pada dua aspek utama, yaitu dasar keagamaan dan dasar budaya. Dasar keagamaan mencakup perspektif Alqur'an dan pandangan ulama, yang menekankan pentingnya bersyukur atas nikmat Allah dan menjauhi perbuatan yang dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap kenikmatan yang diberikan. Sementara dasar budaya menyoroti upaya melestarikan identitas masyarakat dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Beberapa ulama dan pemikir modern, seperti Ustaz Syafiq Basalamah dan Ustaz Firanda Andirja, menyoroti keyakinan yang mendasari Rebo Wekasan. Mereka menilai bahwa amalan-amalan khusus yang dilakukan pada Rebo Wekasan berasal dari keyakinan yang tidak benar dan dapat dianggap sebagai bid'ah atau kesyirikan. 

Mereka menegaskan bahwa tidak ada dasar agama yang melegitimasi praktik seperti Shalat Rebo Wekasan, dan menekankan pada pemahaman yang lebih benar terkait keimanan dan praktik ibadah dalam Islam. Meskipun Rebo Wekasan memiliki nilai-nilai tradisional dan keagamaan, dinamika sosial dan ekonomi, termasuk globalisasi dan inovasi, turut memengaruhi pelaksanaan tradisi ini. 

Perubahan tersebut tercermin dalam pergeseran aktivitas sosial dan ekonomi di sekitar Rebo Wekasan, termasuk pengaruh media sosial, perubahan dalam praktik perdagangan, dan inovasi-inovasi baru dalam penyelenggaraan acara.

Artikel mencerminkan adanya kontroversi di kalangan masyarakat terkait Rebo Wekasan. Beberapa kelompok menganggapnya sebagai tradisi yang bersifat lokal, dinamis, dan beragam, sementara kelompok lain, terutama dari perspektif Islam puritan, mengkritiknya sebagai praktik yang bercampur aduk antara syariat dan tradisi lokal. 

Dengan demikian, jurnal ini mengajak untuk merenungkan hubungan antara tradisi lokal, nilai-nilai keagamaan, dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, sekaligus membuka ruang untuk diskusi dan refleksi mengenai makna dan relevansi tradisi seperti Rebo Wekasan dalam konteks zaman yang terus berubah.

Daftar Pustaka

[1] K. I. Zuraidah and A. Sudrajat, “FENOMENA PERUBAHAN TRADISI REBO WEKASAN (Studi Kasus Masyarakat Suci, Gresik),” J. Agama Sosisal dan Budaya, vol. 5, no. 2, pp. 2599–2473, 2022.

[2] A. Chalik, “Agama dan Politik dalam Tradisi Perayaan Rebo Wekasan,” IBDA`  J. Kaji. Islam dan Budaya, vol. 14, no. 1, pp. 13–30, 2016, doi: 10.24090/ibda.v14i1.521.

[3] W. Hesti and L. Makin, “Tradisi, Rebo Wakesan, Living Qur’an,” pp. 1–6.

[4] S. Nurjannah, “Living Hadis: Tradisi Rebo Wekasan Di Pondok Pesantren Mqhs Al-Kamaliyah Babakan Ciwaringin Cirebon,” Diya Al-Afkar J. Stud. al-Quran dan al-Hadis, vol. 5, no. 01, p. 219, 2017, doi: 10.24235/diyaafkar.v5i01.4340.

[5] B. R. Rambani, “Ustadz Syafiq Basalamah: Amalan Rebo Wekasan Muncul Karena Keyakinan yang Tidak Benar,” banten raya, 2022. https://www.bantenraya.com/nasional/pr-1274833662/ustadz-syafiq-basalamah-amalan-rebo-wekasan-muncul-karena-keyakinan-yang-tidak-benar

[6] Q. Nadha, “Bagaimana Hukum Amalan Rebo Wekasan? Begini Jawaban Ustadz Dr. Firanda Andirja Lc., M.A,” Jatim Network, 2022. https://www.jatimnetwork.com/khazanah/pr-434763479/bagaimana-hukum-amalan-rebo-wekasan-begini-jawaban-ustadz-dr-firanda-andirja-lc-ma?page=1

[7] Suroso, “Shalat Rebo Wekasan Tak Pernah Diajarkan Rasulullah, Ini Nasehat Ustadz Firanda Andirja,” magelang ekspres, 2023. https://magelangekspres.disway.id/read/654405/shalat-rebo-wekasan-tak-pernah-diajarkan-rasulullah-ini-nasehat-ustadz-firanda-andirja

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال