KRITIK MADILOG TAN MALAKA TERHADAP TAREKAT DI MASA PERJUANGAN

 

Meskipun penulis bukanlah seseorang pemuja filsafat materialisme, namun filsafat materialisme tidaklah sepenuhnya salah. Dalam beberapa konteks kehidupan, paham ini justru sangat bermanfaat. Banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari paham materialis ini jika saja kita mampu menempatkannya sesuai dengan keadaan. Karena bagaimanapun, materialisme sebagai sebuah hasil pemikiran filsafat tetap memiliki jalan kebijaksanaannya sendiri.

Sejalan dengan kebijaksanaan itulah, kali ini penulis ingin berbagi pemikiran seorang Ibrahim Datuk Tan Malaka. Seorang penganut materialisme yang tertulis dalam karya fenomenalnya, madilog. Madilog sendiri memiliki kepanjangan materialisme, dialektika dan logika. Dalam konteks perjuangan kemerdekaan, filsafat materialisme ini tentu saja sangat menggugah rakyat Indonesia pada masa itu. Moh. Yamin dan Soekarno termasuk pengagum beliau. Nah, pemikiran seperti apa yang membuat madilog terkenal di masa perjuangan melawan penjajahan?  

Tulisan ini berfokus pada kritik beliau terhadap pengaruh buruk tarekat terhadap perjuangan. Namun, sebelum masuk kepada kritik terhadap tarekat, kelompok-kelompok mistik Islam sebenarnya memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan, seperti pemersatu masyarakat untuk melawan penjajah, pusat pendidikan, tempat orang-orang belajar tidak hanya tentang ajaran agama, tetapi juga tentang perjuangan melawan penindasan. Bahkan selama periode perjuangan, tarekat menjadi tempat utama membantu finansial, logistik, atau bahkan menyediakan tempat perlindungan bagi mereka yang terlibat dalam perlawanan. Tidak mengherankan, pengaruh ajaran spiritual dan moral dari pemimpin-pemimpin tarekat menjadi pengobar semangat juang para tokoh nasionalis. Tetapi, selain pengaruh positif dari ajaran tarekat Islam tersebut, ada sederet ajaran tarekat yang justru mempersulit perjuangan. Salah satunya adalah pembodohan. Menurut Tan Malaka, pembodohan inilah yang dijadikan alat penjajah  untuk memperbudak rakyat.

Bentuk pembodohan ini dapat kita lihat dari masyarakat yang hanya bisa melihat penjajahan secara fisik. Rakyat hanya bisa melihat kebengisan, penyiksaaan, kerja paksa yang diberlakukan oleh penjajah. Sayangnya, kebanyakan pribumi hanya melihat kejahatan langsung dan hanya sedikit pribumi yang menyadari adanya kejahatan struktural di tengah-tengah kehidupan mereka.

Di bukunya Bab pertama, logika mistika, Tan Malaka seolah secara tajam menyadari akan adanya peran kelompok mistik ini, dalam banyak kasus, tidak hanya menjadi sarana spiritual tetapi tarekat justru juga alat dari penjajah kolonial untuk mempertahankan dominasi mereka. Di era kolonial, penjajah justru sering mendanai beberapa pengajian tarekat agar tetap eksis. Pendanaan ini bertujuan agar institusi  tarekat menjadi instrumen dalam memperkuat hegemoni penjajah.  Sementara, sembari bekerja sama dengan struktur sosial dan ekonomi yang dipakai raja, bangsawan kaum feodal untuk memperbudak rakyat kecil  yang lugu. Dalam hal ini, bagaimana bisa tarekat berperan dalam mengaburkan pemahaman rakyat terhadap struktur kekuasaan yang sebenarnya? sehingga rakyat lebih terfokus pada aspek spiritual  saja, ibadah, akhirat dan melupakan aspek duniawi dan terhindar dari pemahaman tentang penindasan struktural yang diterapkan oleh kolonial.

Keadaan yang diciptakan penjajah, yang membuat rakyat terfokus pada aspek agama semata. Memandang tinggi aspek spiritual namun memandang jauh dunia material. Lebih jauh dari itu dalam pemikiran Tan Malaka, tarekat justru menjadi sebab turunnya kemampuan  berpikir kritis dan persepsi masyarakat terhadap kondisi sosial-politik di sekitar mereka. Masyarakat cenderung terjebak dalam angan-angan surgawi, sikap sabaran dan kejuhudan yang tak logis, membuat mereka jauh dari perjuangan politik. Malaka akhirnya menekankan perlunya masyarakat membebaskan diri dari penindasan struktural yang terjadi dalam berbagai lapisan kehidupan, termasuk pengaruh tarekat yang dapat membatasi pemikiran kritis dan kesadaran akan situasi yang sebenarnya.

Setidaknya ada 4 alasan besar mengapa Tan Malaka mengkritisi tarekat:

1.      Reduksi Fokus: Beberapa kelompok tarekat cenderung lebih memusatkan perhatian pada aspek spiritual dan mistisisme saja daripada pada perjuangan politik atau perlawanan terhadap penjajahan. Hal ini dapat mengurangi fokus rakyat terhadap upaya perjuangan kemerdekaan.

2.      Pemecah Belah: Adanya perbedaan pandangan antara berbagai kelompok tarekat dan aliran keagamaan bisa menjadi faktor pemecah belah di dalam gerakan kemerdekaan. Perselisihan antar-tarekat terkadang menghambat upaya bersama dalam melawan penjajah. Bahkan perselisihan-perselisihan ini sering dibumbui oleh penjajah divide et impera bekerja sama dengan bangsawan.

3.      Keterkungkungan pada Tradisi: Beberapa kelompok tarekat bisa memiliki kecenderungan untuk mempertahankan tradisi tertentu yang sering tidak sejalan dengan semangat modernisasi atau perubahan sosial yang diperlukan dalam perjuangan kemerdekaan.

4.      Pembatasan Pemikiran: Pengaruh mistisisme yang kuat dari tarekat tertentu juga dapat membatasi pemikiran rasional atau kritis yang diperlukan dalam menghadapi penjajah dan mencari solusi progresif untuk masalah-masalah sosial.

Karena 4 alasan dan kejumudan rakyat  itulah beliau kemudian menulis madilog (Materialisme-Dialektika-Logika). Baginya madilog adalah perjuangan epistemologis. Mengajak rakyat kembali berpikir kritis tentang bentuk penjajahan yang sebenarnya, yakni pembodohan pikiran. Menyadarkan masyarakat tentang adanya struktur kejahatan yang tak terlihat. Yang diam-diam merongrong dalam kehidupan polos mereka.  

Secara singkat ajaran madilog bermuara pada materialisme. Mengajak rakyat untuk menyadari bahwa material sama pentingnya dengan dunia spiritual. Sebab, akal budi tanpa adanya materi yang dapat diindra hanyalah organ tidak berfungsi. Materialisme, menekankan pada keterarahan perhatian manusia pada  kenyataan, bukan kepada khayalan dan takhayul. Daripada kita sibuk mencari penyebab tentang segala kejadian di alam gaib, lebih baik kita mencari kenyataan bendawi sendiri. Dalam mengkaji realitas, maka diperlukan ilmu pengetahuan yang berbasis pendekatan ilmiah. Dengan  begitu, para proletar Indonesia akan berpikiran maju dan dapat keluar dari  keterpurukan. Namun, materialisme akan dapat optimal apabila disertai oleh dialektika.

Berbeda dengan pandangan materialistis yang menganggap bahwa materi adalah segalanya, maka dengan Dialektika, Tan Malaka menjelaskan bahwa realitas tidak dilihat sebagai sejumlah unsur  terisolasi yang sekali jadi lalu tak pernah berubah. Dialektika mengatakan  bahwa segala sesuatu materi di dunia ini bergerak maju melalui langkah-langkah yang saling  bertentangan.  Tan malaka mengajarkan bahwa Penjajahan bagaimana pun bukanlah sesuatu yang tetap. Penjajahan sebagai sesuatu menindas tentu akan mendapatkan perlawanan. Penjajahan dengan sendirinya akan berdialektika dengan kemerdekaan. Dan usaha kemerdakaan mestilah diusahakan dan bukan hanya dengan doa dan angan.

Terakhir, Paham materialisme dialektis yang diajarkan tan Malaka tidak boleh berhenti hanya pada benturan-benturan dialektika saja. usaha dialektika (misal antara penjajahan dan kemerdekaan) harus lah dikomandoi logika. Logika adalah cara paling aman dan paling mungkin ditempuh oleh manusia dalam mencapai moralitas dan kebenaran. Sehingga usaha perjuangan bukanlah hanya sekedar perebutan dan perlawan terhadap penjajah lalu melahirkan dendam. Tetapi berkat logika, Usaha kemerdekaan dekat kepada ahklak manusia bermoral. Demikianlah, berkat ajaran-ajarannya  yang menginspirasi usaha perjuangan pejuang kemerdekaan Indonesia. Semua diawali dari penyadaran berpikir kritis dan membuang segala bentuk khurafat dan takhayul yang sempat menggerogoti pribumi kala itu.

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa S3 Ilmu Qur’an-Tafsir Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal & Universitas PTIQ Jakarta)

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال