Piagam Madinah dan Toleransi Untuk Kesatuan Umat

Penulis: Rayhan Ramadhan Ahmad*

Pendahuluan

KULIAHALISLAM.COM - Rasulullah SAW berhijrah bersama kaum muhajirin menuju kota Madinah setelah beliau mendapatkan cobaan yang sangat berat dari kaum kafir Quraisy. Namun hijrah tersebut bukan semata-mata guna melepaskan diri dari fitnah dan makar kaum kafir Quraisy, hijrah pun juga dimaksudkan sebagai sebuah batu loncatan untuk mendirikan komunitas masyarakat yang baru di sebuah negara yang damai dan aman.

Sebuah permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat kini ialah perbedaan suasana yang terjadi antara di Makkah dan di Madinah. Sekalipun kaum muslimin hidup dan terikat dalam satu kalimat syahadat yang sama, tetapi ketika mereka tinggal di kota Makkah mereka hidup dalam keadaan tertindas, terhina, dan terusir. Kaum muslimin tidak berdaya untuk mendirikan sebuah masyarakat Islam yang seutuhnya, karena kekuasaan berada pada musuh-musuh Allah. 

Pembahasan

Dan telah tiba waktunya, kekuasaan sepenuhnya berada di tangan kaum muslim dan tak ada yang berkuasa atas diri kaum muslimin untuk menempati sebuah kehidupan yang baru, dengan memajukan penghidupan ekonomi, politik, pemerintahan, perdamaian dan lain sebagainya. 

Tidak diragukan lagi, Rasulullah SAW adalah guru, pemimpin, serta komandan yang menjadi penunjuk bagi masyarakat Madinah ke arah kehidupan yang lebih baik. Sehingga semua keputusan berada padanya tanpa ada yang menentangnya. [1]

Begitu pula dengan kondisi sosial masyarakat Madinah yang terdiri dari beberapa suku dan kelompok di Madinah. Diantaranya yaitu kabilah Aus dan Khazraj yang merupakan penduduk kota Madinah yang sebenarnya diantara mereka terdapat permusuhan yang telah terjadi sejak dahulu dan merekalah kaum muslim Madinah yang disebut sebagai kaum Anshar. 

Begitu pula dengan adanya orang-orang musyrik yang tersebar di seluruh kabilah yang ada di Madinah. Mereka tidak memiliki kuasa atas orang-orang Islam dan tidak memiliki keinginan untuk memusuhi Islam. 

Adapun yang terakhir yaitu kaum Yahudi, yang pada sejarah awalnya, mereka berhijrah ke tanah Hijaz setelah terjadi penindasan pada zaman Asyuri dan Romawi. Mereka juga dikenal sebagai kelompok yang suka menimbulkan fitnah, kerusakan, perpecahan, dan membuat api permusuhan di antara kabilah-kabilah Arab tanpa mereka sadari sehingga terjadi peperangan diantara mereka. Tentu saja tidak ada yang dapat diharapkan oleh Rasulullah SAW dari kelompok yahudi ini, karena yang ada pada mereka hanyalah kebencian terhadap orang-orang Islam. [2]

Dengan keadaan seperti ini, kaum Muhajirin bersama Rasulullah SAW pun mengharuskan diri mereka bisa hidup berdampingan dengan berbagai golongan yang ada di kota Madinah tersbut. 

Meskipun terkadang terjadi konflik yang diakibatkan oleh kaum Yahudi yang suka mengadu domba, dan mengkhianati perjanjian yang telah disepakati, namun konflik yang terjadi di Madinah ternilai lebih kecil daripada konflik-konflik yang terjadi di kota Makkah.

Menurut para ahli sejarah, dalam jangka waktu kurang lebih dua tahun di awal hijrahnya, Rasulullah SAW mengemukakan sebuah piagam yang menjadi hukum konstitusi dalam mengatur hubungan komunitas-komunitas yang ada di Madinah. 

Piagam tersebut dikenal sebagai piagam Madinah dan menjadi sebuah dasar konstitusi yang dikatakan oleh para ahli politik sebagai konstitusi negara Islam pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, namun tanpa menyatakan sebagai agama negara. [3]

Piagam Madinah mengandung nilai-nilai toleransi yang sangat penting dalam persatuan umat pada saat itu. Berikut adalah beberapa nilai toleransi yang terdapat dalam Piagam Madinah :

1. Perlindungan Bersama: Piagam Madinah menegaskan perlindungan bersama antara suku-suku Arab dan kelompok-kelompok Yahudi di Madinah. Ini artinya, mereka setuju untuk melindungi satu sama lain dari ancaman atau serangan dari pihak luar.

2. Resolusi Konflik: Piagam Madinah menetapkan cara penyelesaian konflik antara berbagai kelompok. Ini menunjukkan pentingnya berbicara dan menyelesaikan masalah dengan cara damai dan adil, tanpa memilih jalan kekerasan.

3. Kesetaraan Hak: Piagam Madinah mengakui hak-hak setiap kelompok etnis dan agama di Madinah. Ini menciptakan suasana di mana semua orang memiliki hak yang sama dan dihormati, tanpa memandang latar belakang atau keyakinan agama.

4. Kerjasama: Piagam Madinah menekankan pentingnya kerjasama antar umat untuk membangun dan melindungi kota bersama. Ini mengajarkan nilai-nilai bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama demi kebaikan seluruh komunitas.

Menurut Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara, nilai-nilai dasar yang telah diletakkan oleh piagam Madinah ini menjadi pondasi dan pedoman bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat yang secara plural dan majemuk tinggal di kota Madinah adalah sebagai berikut :

1. Semua suku yang memeluk agama Islam merupakan satu komunitas.

2. Segala bentuk interaksi dan hubungan antara komunitas Islam dengan sesamanya dan dengan komunitas-komunitas lain didasarkan pada prinsip-prinsip: bertetangga dengan baik, saling membantu bersama dalam menghadapi musuh, membela mereka yang terzalimi, saling menasehati, dan menghormati kebebasan dalam beragama. [4]

Dengan nilai-nilai ini, Piagam Madinah memberikan landasan kuat untuk membangun masyarakat yang toleran dan harmonis di Madinah pada masa itu. Ini menunjukkan bahwa persatuan umat didasarkan pada saling penghargaan, kerjasama, dan penyelesaian damai atas perbedaan. 

Dan hal ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang menyerukan pada persatuan, toleransi, dan kedamaian bagi seluruh golongan umat manusia tanpa adanya diskriminasi atau perbedaan lainnya.

Daftar Pustaka

Al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman. Ar-Rahiq al-Makhrum: Sirah Nabawiyah. Jakarta: Sygma Publishing, 2010.

Fuad. Sejarah Peradaban Islam. Cetakan ke 1. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah, dan pemikiran. Cetakan ke-1. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990.

Penulis: Rayhan Ramadhan Ahmad*

*) Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Prodi Ilmu Hadis 

Editor: Adis Setiawan

[1] Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhrum: Sirah Nabawiyah (Jakarta: Sygma Publishing, 2010), 226–227.

[2] Ibid., 228–230.

[3] Fuad, Sejarah Peradaban Islam, Cetakan ke 1 (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), 28.

[4] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah, dan pemikiran, Cetakan ke-1 (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990), 15–16.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال