Sosok Kiai Nusantara “Sang Blawong”

Penulis: Asri Nabila Jauhar*

KULIAHALISLAM.COM - Beliau adalah Mas’ud yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Lalu di kemudian hari beliau lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, beliau lahir pada 16 Mei 1900 M. Beliau merupakan anak dari Raden Mas M. Utsman, seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). 

Mas’ud merupakan anak yang beruntung karena sebagai anak bangsawan Beliau bisa menempuh pendidikan hingga dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA di Batavia yang saat ini di kenal dengan (fakultas Kedokteran UI).


Nama Blawong merupakan julukan dari KH. Zainuddin yang mana di dalamnya memiliki makna yang tersirat, nama Blawong sendiri adalah nama seekor burung perkutut yang mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu, serta alunan suaranya yang mampu membuat semua orang terdiam tatkala ia mengeluarkan suaranya, seolah memiliki kharisma yang luar biasa. Si blawong merupakan burung yang di muliakan di istana kerajaan Brawijaya. 

Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, RM Utsman kedatangan tamu yaitu KH. Ma’ruf (kedunglo) yang di kenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura). Beliau dawuh “saene Mas’ud niku dipun aturi wangsul. Ingkang prayogi lare niku dipun lebetaken pondok (sebaiknya Mas’ud di panggil untuk pulang. Anak itu lebih baik di masukkan pondok pesantren).”

Mendapat perintah dari ulama yang sangat di hormati, pak naib (RM. Utsman) langsung bergegas mengirim surat ke Batavia dan meminta Mas’ud untuk segera pulang ke Kediri dan memulai belajar dari pondok pesantren satu ke pesantren lainnya yang ada di sekitar Karesidenan Kediri. Sebagai anak yang berbakti Mas’ud pun mematuhi apa yang di perintahkan orang tuanya.

Pertama Mas’ud memulai beajar di pesantren Gondanglegi yang di asuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Mas’ud mulai mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alqur’an, khususnya tajwid dan kitab jurumiyah yang berisi tata dasar bahasa Arab selama 6 bulan. 

Setelah menguasai ilmu nahwu, Mas’ud yang dikenal gemar menuntut ilmu sejak usia muda itu kemudian memper dalam ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu tashrifan (shorof ). Hingga akhirnya Mas’ud nyantri di pondok yang di dirikan oleh KH. Ali Imron, Mojosari (Nganjuk) yang mana pada waktu itu di asuh oleh KH. Zainuddin.

Selama Mas’ud hidup di pondok Mojosari, Mas’ud hidup dengan sangat sederhana. Bekal Rp 5,- sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri pada saat itu, yang mana rata-rata Rp 10,-. Disetiap harinya Mas’ud hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk seadanya seperti sayur ontong (jantung pisang) dan daun luntas yang di oleskan pada sambal kluwak. 

Di tengah-tengah kehidupan yang sangat sulit itu Utsman, sang ayah tercinta meninggal dunia. Dan untuk menopang hidupnya di pondok Mas’ud berjualan kitab kuning yang di beri makna sendiri dengan sangat jelas, Mas’ud menjualnya dengan harga Rp 2,5,- hasil yang lumayan itu bisa menopang hidupnya selama 15 hari di pondok. 

Setelah mondok di Mojosari, kemudian Mas’ud di jodohkan dengan Ning Badriyah putri Kiai Khozin, Widang, Tuban. Namun ini membuat Kiai Khozin dan Kiai Zainuddin saling berebut agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Hal ini sangat membuat Mas’ud bingung sehingga memutuskan untuk berangkat haji sekaligus menuntut ilmu di Mekkah. 

Yang mana setelah itu nama Mas’ud di ganti dengan panggilan H. Djazuli setelah Mas’ud menyempurnakan ibadah hajinya. Selama disana beliau berguru pada Syekh Al-’Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, beliau tidak lama di sana karna ada kudeta yang di lancarkan oleh Wahabi pada tahun 1922 yang di prakasai Pangeran Abdul Aziz As-su’ud. Di tengah keributan perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 temannya berziarah ke makam Rasulullah SAW hingga pada akhirnya beliau dan teman-temannya di tangkap oleh pihak konsulat Belanda.

Beliau kemudian pulang ke tanah kelahirannya yakni Ploso dengan hanya membawa sebuah kitab. Tidak hanya sampai disini beliau pun melanjutkan perjalanannya menuntut ilmu ke berbagai guru yang mutawatir sanadnya, diantaranya yakni Pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari, KH. Dimyati Temas Pacitan, dll. 

Pada akhirnya beliau membuka pengajian dengan menggunakan sistem sorogan pada tahun 1924, ketika pengajian baru di mulai hanya ada 12 orang santri yang ikut pengajian, namun tak lama kemudian jumlah santri tersebut bertambah hingga pada tahun 1940-an, jumlah santri menjadi sekitar 200-an dari berbagai daerah di Indonesia.

Pada zaman Jepang beliau menjabat sebagai wakil sacok (camat). dimana beliau harus mengenakan celana goni untuk mengadakan grebekan rumah warga dan rampasan padi beserta hasil bumi ke desa-desa. Ini semua bukan semata keinginan beliau namun paksaan Jepang yang sangat kejam sehingga pada setiap malam beliau gelisah memikirkan bagaimana cara agar bisa secepatnya lepas dari hal ini. 

Tidak hnya itu kekekjaman jepang juga membuat para santri tersiksa karna para santri selalu di awasi setiap gerak geriknya bahkan mereka mendapan giliran tugas demi kepentingan Jepang. Tapi ketika malam tiba para santri menyusun siasat untuk melawan jepang , dan setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan hisbullah untuk berjuang.

Setelah kemerdekaan pengajian yang memiliki ratusan santri yang di namakan Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri tersebut mencapai 400 santri , yang mana perluasan pondok persis meniru pada sistem Tebuireng pada tahun 1923, suatu sistem yang di kagumi dan di timba Kyai Djazuli pada saat mondok di sana. 

Hinngga pada akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil “sang Blawong” (KH. Achmad Djazuli Utsman) ke hadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H) beliau meninggalkan 5 orang putra dan satu putri dari sebuah perkawinan dengan Ibu Nyai Rodliyah yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim, KH. Fuad mun’im, KH. Munif, dan ibu Nyai Hj. Lailatul Badriyah. 

Hingga pada akhir hayat beliau dikenal istiqomah dalam mengajar santri-santrinya. Riyadloh yang beliau amalkan memang sangat sederhana namun memiliki makna yang dalam, beliau juga tidak mengamalkan wirid-wirid tertentu. Thariqoh KH. Djazuli hanyalah mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum” ini dawuh beliau kepada santrinya.

Konon katanya pada saat tmenjelang kepergian KH. Achmad Djazuli Utsman anak-anak kecil di Ploso, melihat bahwa di langit bertabur bunga, seolah langit pun ikut berduka atas kepergian beliau “SANG BLAWONG” yang mengajarkan banyak pelajaran mulai dari keluhuran hingga budi pekerti kepada santri-santrinya.  

*) Mahasiswa Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال