Menjadi Kritis dan Analitis di Era Digital

Penulis: Syifa Helsiana*

KULIAHALISLAM.COM - Kemajuan teknologi di abad 21 ini tentu tidak lepas dari pengaruh perkembangan peradaban manusia. Dengan berkembangnya pemikiran manusia, terciptalah inovasi-inovasi baru seperti pencetusan pesawat sederhana dalam kehidupan kita. 

Dewasa ini, kita banyak menemukan terobosan-terobosan baru nan canggih yang semakin mempermudah kehidupan manusia sehari-harinya. Dan tentu, hal ini memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap kehidupan manusia. 

Seperti yang pernah kita ketahui, dahulunya manusia tidak bisa lepas dari yang namanya berfikir, apalagi disaat itu manusia tidak sepenuhnya tahu tentang alam semesta. Mereka mulai memikirkan asal muasal alam ini ada. Mereka berusaha menjelaskan semua hal dengan kejadian ilmiah yang mereka temui. 

Mereka ini adalah orang-orang yang tidak percaya dengan mitos atau cerita khayal dewa-dewi yang tersebar di masyarakat saat itu. Cara berpikir mereka ini kemudian dinamai dengan berfilsafat, yang dalam catatan sejarah dimulai semenjak masa Yunani Kuno kisaran abad ke-7 SM.  

Filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan (kepandaian dalam menggunakan akal). Secara sederhana, filsafat dapat kita maknai dengan cara berpikir manusia yang mengandalkan kebijaksanaan atau berpikir dengan menggunakan kemampuan akal secara maksimal. 

Memang manusia tidak akan pernah berhenti berpikir, tapi manusia bisa saja berhenti berfilsafat. Perbedaan mendasar antara berpikir biasa dan berfilsafat terletak pada tingkat kedalamannya. 

Dalam filsafat, kita menemukan adanya ciri-ciri seseorang itu dikatakan berfilsafat, di antaranya pemikiran itu haruslah bersifat umum atau universal, radikal atau mengakar, sistematis, spekulatif, rasional atau logis, kritis, dan analitis.

Berada di zaman digital dengan kecanggihan teknologi dan kemudahan informasi ini, menjadikan kita cepat mendapati update terbaru kejadian-kejadian di tempat lain di muka bumi. Kita tidak perlu menunggu pergi ke suatu tempat untuk mengetahui budaya dan wisata yang ada di sana. 

Kita tidak perlu menunggu selama seharian terbitnya surat kabar untuk tahu berita terbaru yang terjadi di mana-mana. Namun, semudah-mudahnya penyebaran berita, tidak sedikit berita yang tersebar di internet ini mengandung hoaks atau mengada-ada. Dalam hal ini, tentu kita harus pandai memilah informasi dan meneliti kebenarannya. 

Kita bisa mengambil contoh dari suatu kasus hukum yang terkenal, seorang siswi SMP. Peristiwa ini sempat menggemparkan Indonesia pada 2019 lalu. Dalam kasus tersebut dikatakan bahwa sang korban mendapat keroyokan dari 12 orang siswi SMA dan mendapat perlakuan yang aniaya. 

Masyarakat yang mendengar hal ini merasa geram dan mencaci para pelaku. Namun, setelah visum dilakukan dan hasil didapati, diketahui bahwa ternyata pengeroyokan dan luka serta memar di tubuhnya tidak terbukti. Mengetahui hal ini, masyarakat menjadi berbalik menghujat korban di media sosial. Padahal, tidak semua jenis penganiayaan yang disebutkan dusta tersebut berasal dari keterangan korban.

Dapat diketahui disini, warganet mulai melontarkan kebencian kepada para pelaku karena perlakuan mereka kepada korban. Saking geramnya, mereka mulai mengomentari postingan, meneruskannya, meminta tuntutan, sampai terbitnya suatu petisi. Tapi berbalik mencaci pihak korban saat semua dugaan perlakuan aniaya ini tidak terbukti. Hal ini tentu menimbulkan trauma dalam baik bagi pelaku maupun korban saat itu.

Melalui tanggapan terhadap kasus ini, kita dapat memahami pentingnya menjadi kritis dan analitis. Poin kritis dan analitis memang sudah berkurang di diri generasi dan masyarakat zaman sekarang. Dimana berpikir kritis sendiri memiliki makna bertanya sampai paham dan bertanya sampai puas, sehingga tidak menimbulkan keraguan dalam diri. 

Dan berpikir analitis pastilah berkaitan dengan analisa atau pengamatan dan penyelidikan terhadap suatu kasus dimana kita harus mengulik suatu peristiwa sampai ke sebab terjadinya peristiwa tersebut. Tentunya kita tidak bisa hanya berpegang kepada kabar burung maupun cerita yang beredar.  

Ada suatu perkataan yang pernah penulis dengar dari seorang guru, “apabila otak manusia tidak digunakan untuk berpikir dalam waktu yang lama, maka mereka akan kehilangan kemampuan menggunakan otaknya.” Hal ini tentu berhubungan dengan bahasan sebelumnya, berkaitan dengan generasi yang tidak lagi berpikir kritis. 

Mereka menjadi terbiasa bersifat pasif dalam menelaah suatu kejadian atau fenomena maupun kasus di bidang kriminal yang terjadi, seperti pada kasus yang disebutkan di atas. Akibat yang ditimbulkan dari sikap ini cukup berbahaya. Bukan tidak mungkin seseorang bahkan bangsa kita ini bisa di adu domba oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Hal inilah yang menjadi tugas bagi generasi sekarang, untuk bisa kembali berpikir ilmiah dan kritis. Kebiasaan menerima saja tanpa menyelidik bisa saja berakibat fatal. 

Di kasus lainnya mungkin bisa saja ada yang sampai memakan korban. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas generasi muda untuk menjadi lebih kritis dan bertindak analitis dalam menerima dan memahami sesuatu agar terhindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan.  

Daftar Pustaka

Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Yunani Klasik Relevansi untuk Abad XXI. Yogyakarta: Jalasutra, 2013.

Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu : Mencari Makna tanpa Kata dan Mentasbihkan Tuhan dalam Nalar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2020.

Tribun Kaltim, Fakta Sebenarnya Kasus Audrey Pontianak, Cerita Bohong Soal Bullying/Perundungan dan Heboh di 2019, dikutip dari https://kaltim.tribunnews.com/2023/06/09/fakta-sebenarnya-kasus-audrey-pontianak-cerita-bohong-soal-bullyingperundungan-dan-heboh-di-2019.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال