Refleksi Hari Santri dan Kepemudaan


Penulis: Hilmy Harits Putra Perdana*

KULIAHALISLAM.COM - Masih belum terlalu lama dan dingin, di bulan Oktober tahun 2023 ini, warga Indonesia khususnya, dipertemukan dengan dua event akbar. Dua momen akbar itu yang pertama adalah peringatan Hari Santri Nasional 2023 pada tanggal 22 Oktober dan peringatan Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 2023. 

Dua peringatan besar itu dijumpai satu tahun sekali setiap bulan Oktober. Secara administratif ketika saya menulis ini, saya telah bertemu dengan sekian banyak variasi peringatan itu setiap tahunnya. Ini seakan-akan telah menjadi konsumsi yang setiap tahun pasti kita alami. 

Peringatan-peringatan itu seakan tak bisa lepas dari kebiasaan penduduk Indonesia. Kalau dilihat secara visioner, dua hari tersebut memiliki karakteristik yang berbeda tapi sama. Secara historis, kelahiran Hari Santri dan Sumpah Pemuda memiliki perbedaan yang jelas, termasuk waktu dan tokoh-tokoh yang berperan. 

Suatu wilayah yang menjadi titik temu dan persamaan dari dua peringatan tersebut adalah sisi latar belakang dan tujuannya. Latar belakang dari lahirnya sumpah pemuda adalah kesadaran bersama dan perasaan senasib seperjuangan untuk membebaskan Indonesia dari jeratan kolonialisme dan penjajahan. 

Hal ini senada dengan gerakan Resolusi Jihad yang digaungkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama dengan latar belakang yang sama, yaitu membebaskan Indonesia dari jeratan penyiksaan dan penindasan oleh bangsa penjajah.

Lahirnya Hari Santri

Ketika membincang peristiwa peringatan Hari Santri Nasional, tidak bisa lepas dengan fakta sejarah yang dilukis oleh kalangan kyai dan santri di lingkungan pondok pesantren kala itu. Kelahiran fatwa Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober tahun 1945 menandakan semangat pergerakan anti penjajah, khususnya di kalangan santri dan pondok pesantren. 

Munculnya fatwa resolusi jihad itu dilatar belakangi oleh penyerangan kembali oleh pasukan sekutu yang dibonceng oleh Netherland Indies Civil Administration atau NICA dengan maksud mendirikan kembali pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. 

Padahal saat itu Indonesia masih berusia sangat muda setelah kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini yang mendasari munculnya Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari. Isi daripada Resolusi Jihad tersebut antara lain adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk membela tanah airnya dan barang siapa yang gugur dalam medan pertempuran maka hukumnya adalah mati syahid karena dia telah berjuang di jalan Allah SWT. 

Selain itu, Resolusi Jihad juga menjelaskan tentang orang yang berkhianat dan memecah belah persatuan Indonesia maka hukumnya wajib dibunuh. Fatwa ini yang nantinya dapat mengobarkan semangat perlawanan dan jihad fi sabilillah untuk kalangan santri dan rakyat Indonesia secara umumnya. Termasuk pidato Bung Tomo yang kala itu menjadi pemantik semangat perjuangan juga ikut merasakan atmosfer dukungan rohani akibat lahirnya Resolusi Jihad ini.

Lahirnya Sumpah Pemuda

Pada masa itu banyak sekali organisasi-organisasi pergerakan yang didominasi oleh para pemuda yang pada dasarnya memiliki tekad yang sama yaitu Indonesia merdeka. Para perwakilan organisasi pemuda itu memiliki gagasan yang beragam terkait pandangan Indonesia merdeka. 

Mereka juga berdiri di atas golongan masing-masing yang masih bersifat kedaerahan. Beberapa contoh organisasi-organisasi daerah pada masa itu adalah Jong Java, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond dan yang lainnya. 

Berangkat dari sifat kedaerahan yang beragam, mereka akhirnya sepakat untuk mendirikan sebuah kongres untuk menyamakan dan menyelaraskan pandangan mereka atas semangat perjuangan Indonesia merdeka. Akhirnya mereka mengadakan Kongres Pemuda I yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 30 April – 2 Mei tahun 1926. 

Saat mengadakan Kongres Pemuda I yang cukup sengit, mufakat dalam pertemuan itu belum tercapai sehingga masih memerlukan pertemuan-pertemuan tindak lanjut dari Kongres Pemuda I. Setelah berjalan dua tahun, para pemuda Indonesia yang dimotori oleh Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia atau PPPI mengadakan Kongres Pemuda II di Jakarta. 

Kongres Pemuda II berlangsung selama dua hari, yaitu tanggal 27 – 28 Oktober 1928. Pada pertemuan kali ini mereka berhasil mencapai mufakat yang diwujudkan dengan lahirnya sebuah ikrar yang biasa disebut sebagai Sumpah Pemuda. 

Sebelum pembacaan Sumpah Pemuda, mereka mendengarkan lagu yang diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman terlebih dahulu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Isi dari Sumpah Pemuda sebagai berikut:

Pertama 

Kami, putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. 

Kedua

Kami, putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. 

Ketiga

Kami, Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

Lahirnya putusan pada Kongres Pemuda II itu menjadi orientasi pergerakan para pemuda di masa yang akan datang. Poin pertama memiliki makna bahwa Indonesia memiliki karakteristik negara kepulauan yang terdiri dari gugusan-gugusan pulau yang dipisahkan oleh laut. 

Hal ini bukan lagi menjadi pemisah setiap warga negara tetapi menjadi pemersatu dalam tekad tujuan Indonesia merdeka. Pada poin kedua bermakna persatuan kebangsaan yang pada dasarnya bangsa Indonesia memiliki bangsa yang beragam, suku-suku yang majemuk dan budaya-budaya yang variatif. 

Ini menjadi landasan pemikiran bahwa walapun memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tetapi bangsa Indonesia tetap menjadi bangsa yang satu. Poin ketiga menjelaskan tentang kesatuan bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. 

Kekayaan bahasa didalam bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebagai pemisah dalam berkomunikasi, melainkan harus dipandang sebagai kekayaan kosakata yang dibangun dan diserap dari bahasa-bahasa daerah.

Korelasi Makna Hari Santri dan Sumpah Pemuda

Seperti yang sudah dijelaskan di atas mengenai persamaan latar belakang yang mana semua berasal dari perbedaan, berasal dari gagasan yang beragam dan kultur sosial yang majemuk menjadikan semangat kesatuan setelahnya. 

Dua peristiwa itu sama-sama merangkul semua kalangan, hari santri dengan beragam asal pondok pesantrennya, santrinya dan bahkan rakyat Indonesia secara umumnya dan Sumpah Pemuda dengan berbagai organisasi daerahnya, beragam etnis dan sosialnya dan kelompok pemuda yang berbeda-beda. 

Dalam semua perbedaan di atas, prinsip kesatuan dan persatuan menjadikan sebuah bungkus yang rapi, sebuah tujuan yang sama dan orientasi yang sama pula. Semua menginginkan Indonesia merdeka seutuhnya tanpa campur tangan pihak lain. Semua ingin Indonesia terbebas dari belenggu penjajah yang menjadi luka peradaban yang memiliki dampak buruk bagi perkembangan zaman.

Kalangan santri yang juga adalah pemuda diharuskan selalu memiliki pemahaman yang mendasar terkait persatuan dan kesatuan. Terlebih lagi dua peristiwa penting itu memiliki bangunan ontologis yang sama dan mendasar yaitu, pemuda yang bersatu untuk kemajuan Indonesia. Saya menyebutnya sebagai Oktober yang satu.

*) Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال