Menyelami Nilai Pendidikan Tabayun dalam Film Budi Pekerti


Penulis: Renci*

KULIAHALISLAM.COM - Berdurasi 1 jam 51 menit, film Budi Pekerti banyak menyuguhkan pembelajaran bagi yang menontonnya. Bertokoh ibu Prani seorang guru, suami ibu Prani yaitu pak Didit yang mengidap depresi lantaran kerap gagal menjalankan bisnis, dan dua anak mereka yaitu Muklas seorang Content Creator dan Tita yang merupakan aktivis sekaligus bergelut di dunia musik indie.

Keluarga ibu Prani sangat dekat, saling mendukung satu sama lain. Tita sosok seniman yang idealis, pada setiap lagu buatannya mengandung satire perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Sedang Muklas, seorang publik figure yang menjadikan animal sebagai dasar riset untuk memberikan sebuah pelajaran bagi penggemar dan pengikutnya di media sosial.

Mulanya, keluarga ini hidup dengan damai. Meski dengan keterbatasan finansial karena habis untuk pengobatan pak Didit yang harus sering ke Psikolog, tetapi ibu Prani tetap berdiri sebagai sosok perempuan yang siap menjadi tameng bagi keluarganya. 

Awal permasalahan pada film ini terjadi ketika ibu Prani hendak membelikan kue putu bagi suaminya di pasar. Saat sedang mengantri, ada seorang laki-laki yang sengaja menyerobot antrian. Melihat kejadian tersebut, ibu Prani marah dan menuntut hak bagi mereka yang lebih awal datang.

Sebenarnya ibu Prani tidak marah-marah, dirinya hanya sedikit meninggikan nada melihat ketidaktaatan salah satu pembeli. Kekesalannya berujung dengan kepergiannya sembari mengatakan ‘Ah sui’

Kemarahan ibu Prani tersebut terekam oleh banyak pengunjung dan diunggah di sosial media. Tidak memakan waktu bulanan, ibu Prani viral dan dianggap sebagai guru yang suka ‘misuh’. Anggapan bu Prani suka misuh lantaran lontaran yang disampaikan ibu Prani adalah Asu (Anjing). Simpang siur informasi di media tentang bu Prani menjadikan keluarganya juga terseret dan menjadikan mereka mendapat ujaran kebencian dari netizen. Berbagai konflik muncul, menjadikan suasana yang tadinya tenang berubah seketika berantakan tak karuan. Meski sudah klarifikasi dengan mengatakan bahwa ucapan bu Prani tersebut adalah Ah sui (Ah lama) bukan Asu, tetapi permasalahan justru semakin keruh tanpa ujung.

Diajak mengikuti problematika hidup Ibu Prani dan keluarganya yang hanya gara-gara putu justru ‘merembet’ pada hal yang lebih besar. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah tersebut.

Setidaknya ada 3 pelajaran yang bisa penulis ambil setelah menyaksikannya di bioskop. Pertama, ada banyak informasi yang membanjiri kita setiap hari, melalui media sosial maupun komunikasi yang sering kita lakukan di dunia nyata. Dari beragam informasi yang kita terima, tidak semuanya adalah suatu kebenaran. Hal itu mengajarkan kita untuk tidak mudah menelan suatu berita mentah-mentah, perlu dianalisis dengan objektif dan logis.

Dalam Alquran surah Al-Hujarat ayat 6 menjelaskan, “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Dalam artikel ilmiah berjudul Mendalami Informasi dengan Bertabayyun Menurut Alqur’an Ditinjau dari tafsir klasik dan kontemporer dijelaskan bahwa ayat ini memberikan pedoman kepada orang-orang mukmin supaya berhati-hati dalam menerima sebuah berita atau informasi, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik.

Maksud ayat ini adalah perlunya diadakan penelitian dahulu mengenai kebenaran suatu berita. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki dahulu kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta sia-sia, dan hanya menimbulkan penyesalan belaka. Sebagai masyarakat yang cerdas harus lebih kritis dan melakukan tabayyun terhadap informasi yang diperoleh. Layaknya pepatah Arab mengatakan “al-Khabar ka al-ghubar” yang artinya ialah informasi itu bagaikan debu yang belum jelas kebenarannya.

Informasi yang dilebih-lebihkan dan dibesarkan di media sosial tanpa disandarkan pada fakta, menjadikan keluarga ibu Prani mengalami banyak masalah. Bahkan itu juga berdampak pada karir ibu Prani, kepercayaan fans Muklas, dan pekerjaan Tita. Hal itu seharusnya menjadikan kita untuk mampu mengamalkan surah Al-Hujarat ayat 6 tersebut, kita perlu tabayyun dan meneliti apapun informasi yang kita terima.

Kedua, tidak selamanya guru selalu benar. Memang ada istilah guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Tetapi, guru juga adalah manusia biasa yang memungkinkan untuk berbuat salah. Sebenarnya, ibu Prani sedang memperjuangkan kebenaran tentang ketertiban antri, namun yang dianggap salah oleh beberapa pihak adalah kenapa ibu Prani bisa sampai semeledak itu. 

Sekali lagi, bahwa guru juga manusia yang memiliki beragam emosi. Sebenarnya bu Prani sudah cukup sabar menghadapi pengunjung yang mengantri, dirinya hanya tengah memberikan sebuah value untuk membudayakan antri. Hanya saja, dunia digital memang kerap menampilkan sesuatu yang dianggap akan viral dan mementingkan ketenaran tanpa memikirkan buntut dari jempol mereka. Apa-apa posting, demi konten. 

Penulis memahami bahwa keadaan keluarga ibu Prani memang tidak baik. Ibu Prani adalah perempuan yang tengah menghidupi hidupnya. Harus mengajar, mengurus suaminya yang bipolar, dan dengan aktivitas lainnya seperti mengikuti latihan lompat tali, penulis kira dengan segudang kegiatan yang melelahkan itu, ibu Prani adalah sosok perempuan tangguh yang patut diacungi jempol.

Bagi penulis, ibu Prani adalah ejawantah dari kehebatan perempuan, sudah dihadapkan dengan masalah internal, bu Prani juga harus menghadapi masalah di mana dirinya dihujani kebencian dari netizen. Ibu Prani tidak hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga bisa mengendalikan mental dan emosionalnya.

Ketiga, ada satu kalimat yang penulis suka dalam film tersebut. “Saat dunia berisik, tutup telinga dan dengar detak jantung sendiri.” Kalimat itu menyadarkan kita untuk menyisakan waktu mendengarkan diri sendiri dan menarik diri dari keriuhan dunia yang bising.

Begitupun juga dengan kalimat andalan Muklas, “Sejenak kembali ke rahim ibu.” Rahim ibu adalah tempat yang tenang, nyaman dan terjaga. Sebagaimana lagu Efek Rumah Kaca berjudul Seperti Rahim Ibu, terdapat lirik “Seandainya negeriku, serupa rahim ibu. Merawat kehidupan, menguatkan yang rapuh.”

Dari lagu dan kalimat Muklas tersebut, kita diajak untuk mencari keadaan tenang, diibaratkan kembali ke rahim ibu, agar kita tidak terlalu ramai mendengar informasi dari luar yang memenuhi kepala kita.

Meski di akhir film ini terkesan menggantung, tetapi tetap ada banyak pelajaran yang bisa diambil oleh penonton melalui film itu. Paling penting, jika menyinggung dunia pendidikan bahwa hari ini dinamisasi zaman menyebabkan pembelajaran sumbernya tidak hanya dari guru, melainkan content creator juga menjadi sumber yang dipercayai. Oleh sebab itu, perlu ketelitian dalam menerima segala informasi.

Pun juga pesan kepada para konten kreator, bahwa keberadaannya adalah sebagai publik figur yang bisa saja ucapan dan perbuatannya juga sama magisnya sebagaimana ucapan dan perbuatan seorang guru. Hal itu kemudian menjadikan penulis yang juga berlatar sebagai seorang guru, berharap agar seluruh content creator bisa menjadi mitra yang kemudian dalam setiap konten-kontennya mengandung nilai edukasi, budi pekerti, dan menjauhkan generasi dari hal-hal negatif.

Konten diunggah jangan hanya mengejar viral, melainkan juga harus memperhatikan nilai positif apa yang bisa diambil oleh mereka yang menikmati karya kita.

*) Penulis dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Metro

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال