Tak Boleh Berbuat Kejahatan Pada Kemanusiaan

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)


KULIAHALISLAM.COM - Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada setiap manusia dimanapun, ia berada tanpa perbedaan ras, ideologi, serta agama atau kepercayaan yang dimilikinya. Oleh sebab itu, munculnya konsep HAM dianggap sebagai suatu isu penting dunia yang harus diperhatikan bersamaan dengan perkembangan kesadaran manusia akan pentingnya mengakui, menghormati, dan mewujudkan manusia yang berdaulat dan utuh.

Perkembangan besar HAM setidak-tidaknya dapat dilihat sebelum dan setelah Perang Dunia II. Sebelum Perang Dunia II, HAM berkembang berdasarkan konteks pengertian negara-negara tertentu. Pada masa itu, telah ada bentuk acuan HAM yakni ‘Magna Charta’ yang dilahirkan di Inggris (1215). Di Amerika, makna HAM juga dapat dilihat sejak Tahun 1776 pada The Declaration of Independence, khususnya the right to life, the right to liberty, dan the right to pursue happiness. Hal yang sama juga dapat dilihat di Perancis pada Declaration des droits de I'homme et du citoyen pada 1789. Perkembangan selanjutnya adalah ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Tanggal 10 Desember 1948, mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM/Universal Declaration of Human Right /UDHR) yang dianggap sebagai penanda babak baru wacana HAM internasional. Indonesia juga secara aktif melakukan perlindungan HAM sesuai prinsip hak asasi manusia internasional. Salah satu upaya prinsipil tersebut terlihat dengan ditempatkannya pasal-pasal tentang HAM pada Undang-undang Dasar 1945. Namun demikian, dalam pelaksanaannya untuk mempertahankan dan melindungi HAM tersebut, masih sering terlihat adanya pelaksanaan yang hanya melihat hukum sebagai aturan normatif semata tanpa upaya mengkaji aturan dan putusan peradilan yang ada dalam pespektif lainnya seperti sosiologis, philosophis, ekonomis, politik dan lainnya. Berbagai kasus yang memunculkan pergesekan antara aspek HAM dengan aspek lain dari sistem hukun masih sering terjadi. Salah satu ketidakselarasan dalam pengertian arti HAM terlihat ketika memaknai arti HAM yang tercantum dalam UUD 1945.

Pada Pasal 28J (1) disebutkan bahwa 'setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara’. Pasal ini berimplikasi penting dalam memahami definisi HAM, dan terkait secara langsung dengan kegiatan yang berhubungan dengan HAM masa lalu. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk penyamaan persepsi dalam pengertian HAM, khususnya pada prinsip pengaturan kejahatan masa lalu yang banyak berorientasi pada kejahatan kemanusiaan. Hal ini penting untuk dibahas, sebab salah satu penyebab ketidakselaran penerapan HAM karena tidak jelasnya pengertian kejahatan atau tindakan yang dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan.

Makalah ini mencoba menggambarkan bagaimana pengertian kejahatan kemanusiaan yang ada dalam hukum internasional, dan yang diselaraskan menjadi acuan dalam UUD 1945 dan sebagai pertimbangan dalam mengadili kasus HAM di tanah air. Untuk melihat secara detail, makalah ini akan memaparkan tiga contoh kasus yang berhubungan dengan tindakan masa lalu yang berhubungan dengan pengertian kejahatan kemanusiaan. Sebagai masukan dalam pembentukan Badan Pengkajian dan Pemasyarakatan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan bernegara, maka pembahasan ini menggunakan konsep penerapan filosofi restorative justice dalam pelaksanaan HAM di Indonesia.

Apa Kejahatan Kemanusiaan?

Mengapa pengertian kejahatan kemanusaiaan (crime against humanity) penting dalam membahas Hak Asasi manusia di Indonesia dan bagaimanakah sebenarnya pengertian ini sehingga ia dijadikan alasan pengecualian dalam prinsip non-retroaktif sesuai Pasal 28I (1) UUD 1945. Pengertian ini penting dibahas untuk melihat dan menguji apakah pengertian kejahatan kemanusiaan yang dipakai dalam hukum internasional sesuai dengan teori kejahatan kemanusiaan di Indonesia serta apakah kejahatan kemanusiaan ini sesuai dengan pengertian kejahatan kemanusiaan yang gambarkan dalam kasus-kasus retroaktif di Indonesia. Selain itu, bagaimana pengertian yang ada pada kejahatan kemanusiaan.

Mengenai mengapa ada istilah kejahatan kemanusiaan, Bassioni mengatakan: The term of "crimes against humanity" is existed prior to World War II. It is because the 1868 Saint Petersburg Declaration has mentioned the limitation of the use certain explosive or incendiary projectiles in times of war, since they were declared contrary to the laws of humanity. Meanwhile, the expression of crimes against humanity was used for the first time in the 1915 Declaration by the governments of France, Great Britain and Russia denouncing the massacre of Armenians taking place in Turkey. Bassiouni menambahkan bahwa jenis kejahatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau penganiayaan atas dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam kaitannya dengan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan, apakah atau tidak dalam pelanggaran hukum domestik dari negara di mana kejahatan tersebut dilakukan. Jenis kejahatan yang di sebutkan oleh Bassiouni ini sebenarnya diambil dari jenis kejahatan yang telah disebutkan dalam Pasal 6 (c) dari Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter). Oleh sebab itu, untuk membahas pengertian kejahatan kemanusiaan ini, maka pembahasan dapat dimulai dari bagaimana pengertian hukum yang berkembang dari pasal ini. Pasal 6 (c) mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai: murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial, or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of domestic law of the country where perpetrated.

David Luban 6 menyatakan bahwa pasal ini memberikan 5 unsur dalam pengertiannya sehingga ia dapat dimengerti dan dipakai dalam ketentuan hukum nasional tertentu.

1. Kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara sendiri atau orang asing (Crimes against humanity are typically committed against fellow nationals as well as foreigners). Sesuai dengan sejarah Pasal 6 (c) ini, pasal ini dibuat untuk mengisi kekosongan hukum kemanusiaan pada Tahun 1945, yang menyatakan bahwa kategori kejahatan perang terhadap penduduk sipil adalah pelanggaran hukum bilamana kejahatan itu dilakukan hanya terhadap orang asing. Sementara Nazi, dianggap melakukan kejahatan terhadap warga negara mereka yang beragama Yahudi serta orang asing di wilayah Austria. Oleh sebab itu, pemikiran bahwa suatu negara dianggap bisa melakukan kejahatan untuk membunuh rakyatnya sendiri dapat dilihat dari contoh tersebut diatas sehingga pengertian crime against humanity ini perlu mengatur hal itu. Ini disebabkan karena pengertian kejahatan sebelumnya yang dipakai mengenai kejahatan kemanusiaan ini adalah aturan hukum perang, yang berorientasi pada masyarakat negara sendiri di satu pihak, dan lawan sebagai pihak lain.
Dengan demikian, dengan pengertian ini, maka sebuah kejahatan kemanusiaan itu dapat saja terjadi baik bagi masyarakat sendiri maupun orang asing, serta yang terjadi didalam maupun diluar perang. Selain itu, pengertian ini juga berarti bahwa kejahatan kemanusiaan dapat saja dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri maupun oleh musuh kepada rakyat. Dari pengertian ini, dapat dimengerti mengapa seorang Gubernur seperti Abilio Soares dapat dianggap sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan, meski korbannya adalah masyarakat Timor Timur. Selain itu, aparat hukum yang melakukan tindakan represif pada masyarakat dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan apabila ada korban yang jatuh dalam tindakan tersebut. Da sesuai dengan pertimbangan lainnya.

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional (Crimes against humanity are international crimes). Pengertian dari Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg ini memberikan makna luas bahwa suatu kejahatan kemanusiaan dianggap sebagai kejahatan internasional meskipun tindakan ini bukan dalam ketegori tersebut pada ketentuan hukum suatu negara dimana kejahatan atau tindakan itu dilakukan. Dalam Pasal 7 dan 8 dari Piagam Nuremberg memperlihatkan bahwa seorang kepala negara tidak akan dapat berlindung dibalik kekebalan otoritasnya atau seseorang tidak boleh berlindung dibelakang alasan perintah atasan untuk bebas dari tuduhan kejahatn ini. Pasal 7 dan 8 menyatakan: Article 7, The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment. Article 8, The fact that the Defendant acted pursuant to order of his Government or of a superior shall not free him from responsibility, but may be considered in mitigation of punishment if the Tribunal determines that justice so requires.
Menurut Luban dari pengertian ini, kejahatan yang dilakukan sebelum dan selama masa perang juga dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, dan hal itu berarti bahwa tindakan kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi Jerman sebelum tahun 1939, meskipun pada saat itu dalam keadaan damai merupakan kejahatan kemanusiaan. Meski tindakan ini adalah retrospektif karena dikategorikan sebagai tindakan masa lalu yang belum diatur oleh hukum, berdasarkan pengertian ini, kejahatan Nazi tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.

3. Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh politik terorganisirkelompok bertindak dengan dasar kebijakan (Crimes against humanity are committed by politically organized groups acting under color of policy) Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwakejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 (c) mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan "kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan.

4. Kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang paling berat dan tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan (Crimes against humanity consist of the most severe and abominable acts of violence and persecution). Pasal 6 (c) Piagam Nurembergmembedakan antara dua jenis kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang pertama adalah kejahatan yang terdiri dari pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan ‘tidak manusiawi lainnya’. Kejahatan jenis pembunuhan adalah kejahatan yang mengandung nilai atau dimensi ‘kekejaman dan kebiadaban. Dalam Pasal 6 (c) ini, kejahatan ini juga biasa ditambahkan dengan kejahatan penjara yang mempunyai unsur ‘melanggar aturan dasar hukum internasional’ atau kejahatan lainnya yang yang dianggap ‘tindakan yang tidak manusiawi lainnya," sesuai Statuta Roma.

5. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter individu (Crimes against humanity are inflicted on victims based on their membership in a population rather than their individual characteristics). Menurut Luban, suatu ketentuan atau undang-undang mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan memasukkan populasi sebagai salah satu persyaratan persyaratan dari unsur kejahatan pembunuhan, serta persyaratan niat diskriminatif sebagai unsur kejahatan penganiayaan. Kedua persyaratan ini mentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk individualitas dari kelompok. Untuk menjawab pertanyaan tentang seberapa besar jumlah orang dalam kelompok sebagai korban yang dimaksud sehingga ia dapat dikatakan sebagai suatupenduduk. Luban menyatakan: “…how large a group must be to constitute a population. Does the population requirement mean that the crimes are committed on a large "population-size" scale-in other words, that to qualify as crimes against humanity, they must be not just atrocities but mass atrocities? To support this reading of the population requirement, it might be argued that nothing less than mass horror justifies internationalizing the crimes and making them matters of worldwide rather than domestic concern.

Kejahatan Kemanusiaan di Indonesia

Instrumen hukum nasional Indonesia telah menerangkan mengenai pengertian kejahatan kemanusiaan yang mana ketentuan dalam pengaturan ketentuan kejahatan ini diadopsi dari ketentuan ketentuan internasional yang mengatur mengenai delik atau kejahatan kemanusiaan, serta sering di konotasikan sebagai kejahatan HAM. Melalui pembentukan UU Hak Asasi Manusia serta UU pengadilan HAM, Indonesia menyatakan persetujuannya mengenai pengertian kejahatan kemanusiaan seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Anti Penyiksaan 1984 dalam tindakan peratifikasian ketentuan melalui UU No. 5 Tahun 1998. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1998, ada lima hal penting didalamnya yaitu: pertama, Indonesia mempunyai komitmen nyata untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri fenomena penyiksaan, kedua, Indonesia harus menyempurnakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ketiga, Indonesia memberikan legitimasi hukum yang lebih memadai untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan yang melibatkan aparat negara, langsung maupun tidak langsung, keempat, Indonesia menyadari bahwa upaya untuk mengatasi penyiksaan harus dilakukan secara multilateral, kelima, Indonesia mengakui kewenangan Komisi Menentang Penyiksaan PBB untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan. Selain itu, pada Pasal 7 dan 9 UU PHAM, penyiksaan merupakan salah satu bentuk atau jenis kejahatan terhadap kemanusiaan bilamana dikaitkan dengan karakterisitik tindakan tersebut, serta berdasarkan suatu kebiasaan yang di praktekkan oleh negara-negara. Berdasarkan ketentuan dan kebiasaan internasional ini pula, maka ketentuan nasional (UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM) menentukan bahwa tindakan kejahatan ini, yang biasa pula dikenal sebagai pelanggaran HAM berat, menentukan bahwa tindakan kejahatan kemanusiaan adalah salah satu kejahatan luar biasa, selain kejahatan genosida.

Kasus Indonesia dalam Kejahatan Kemanusiaan

a. Kasus Masykur Abdul Kadir dan UU Terorisme September 2002, Masykur, membantu Sutomo (Imam Samudra) menyewa mobil dan dipakai pada bom Bali. Masykur dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Masykur menggugat UU No 16 (2002) tentang bom Bali ke MK, bertentangan Pasal 28I (1) UUD 1945 (non-retrospeksi) dan Pasal 1 (1) KUHP (Asas Legalitas). Perdebatan pengertian retroaktif, kejahatan kemanusiaan, dan hak asasi manusia terjadi. MK memutuskan UU No.16/2003 inkonstitusional. Namun, Masykur tetap dihukum, karena Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Konstitusi (dalam waktu yang hampir bersamaan) mengumumkan, keputusan MK hanya berlaku untuk kasus yang akan datang.

b. Kasus Abilio Soares dan UU Pengadilan HAM 14 Agustus 2002, Abilio Jose Osario Soares dijatuhi 3 tahun penjara berdasarkan UU No. 26/2000 Pengadilan HAM. Abilio dituduh melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia pada 1999. Padahal Pasal 51 UU ini menyatakan: ‘UU ini berlaku pada tanggal ditetapkan’ yakni 23 November 2000. Soares bermohon retrospektif ke MK bahwa UU Pengadilan HAM bertentangan Pasal 28I (1) UUD 1945. Meski MK tahu UU Pengadilan HAM retrospektif, ia menolak permohonan Soares. Alasan penolakan karena hak asasi manusia dan penegakan hukum telah diakui oleh masyarakat internasional, jadi harus dihormati dan dilindungi. Juga, kepentingan umum jauh lebih penting daripada hak-hak pribadi c. Kasus Mantan Anggota Partai Politik terlarang dan UU Pemilu Pada tanggal 24 Feb 2004, 35 orang mantan anggota partai politik PKI bermohon ke MK mengenai Pasal 60 (g) UU No 12/2003 tentang larangan mantan anggota organisasi PKI dan ormasnya menjadi calon anggota DPR. Delapan dari sembilan hakim MA setuju untuk menerima proposal tersebut dengan alasan: diskriminasi terlarang oleh UUD 1945, masyarakat Indonesia memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih, Pasal 60 (g) UU No. 12/2003 adalah pembatasan hak-hak politik, dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan moralitas Indonesia, serta larangan bagi mantan anggota partai politik tersebut hanyalah sanksi politik yang tidak masuk akal apabila diubah menjadi sanksi hukum. Dari kasus-kasus diatas, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yakni:

- Pada kasus Masykur, terorisme dianggap sebagai kejahatan kemaunusiaan, namun demikian, UU no 16/ 2003 tentang Bom Bali sebagai salah satu UU terorisme dihapuskan oleh MK, dan tidak meganggap bahwa terorisme adalah kejahtan kemanusiaan. Hal ini memang menimbulkan perdebatan di MK sehingga terlihat inkonsistensi putusan sehubungan dengan hal yang sama pada kasus lainnya. Selain itu, UU Anti-Terorisme No. 15 (2003) dalam Pasal 64 menyatakan bahwa Undang-undang ini adalah UU retrospektif, tapi salah satu ketentuan penutup menentukan bahwa undang-undang ini hanya bisa berlaku surut untuk ‘kasus-kasus pidana tertentu yang akan ditentukan oleh hukum atau peraturan pemerintah. Pemerintah dan Legislator dapat menentukan kejahatan apa saja yang dapat dikatakan sebagai ‘pidana tertentu’ tersebut.

- Usulan Abilio Soares didasarkan pada dasar hukum yang berlaku surut, dan Pasal 43 UU No 26 (2000) dianggap bertentangan dengan Pasal 28 I (1) UUD 1945. Usulan Soares ditolak oleh MK mengungkapkan inkonsistensi. Pertama, dalam aspek hukum, hakim MK menyadari Undang-undang tersebut berlaku retrospektif tapi mereka mengabaikan. Kedua, dalam hal hak asasi manusia, khususnya non-derogable rights, penentuan hak individu tidak jelas dan bertentangan dengan UU No. 26 (2000). Dalam konsiderannya, UU ini menyebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang diberikan secara alami dimiliki oleh umat manusia yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Ketiga, meskipun hukum Indonesia telah berusaha untuk mengakomodasi nilainilai HAM internasional, Amnesty International menganggap masih ada ketidakpastian hukum didalam UU Pengadilan HAM dan mempunyai potensi tidak konsisten, misalnya Pasal 5 yang menyatakan kewenangan Pengadilan HAM untuk memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia oleh warga negara Indonesia di dalam atau di luar wilayah Indonesia, tidak memberikan kesempatan bagi universal jurisdiction hukum internasional untuk melakukan penuntutan. Keempat, ketidakpastian bagaimana menemukan solusi perbedaan dalam mencari definisi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Selama ini, definisi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dinyatakan dalam undang-undang ini diambil dari Statuta Roma, yang secara resmi belum diratifikasi oleh Indonesia. Ini berarti, akan sulit nantinya bila ingin menjadikan Statuta Roma sebagai sumber dalam mencari definisi otentik genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada kasus mantan Anggota PKI yang berhubungan dengan kejadian masa lalu, dimana keterlibatan para mantan anggota PKI dan ormasnya adalah kejahatan kemanusiaan seakan dianulir dibawah bayang-bayang konsep reformasi.

Penutup

Pasca rezim Orde Baru pada Tahun 1998 memperlihatkan bahwa pemerintah beserta masyarakat bersama-sama menyatukan ide pemerintahan yang lebih baik dengan lebih banyak membuka kesempatan dialog sesuai konsep demokratis. Ide ini dijalankan dibawah bendera reformasi total dalam upaya memperbaiki bangsa meski pada masa transisi ini, tantangan yang simultan pada faktor ekonomi, sosial, dan prubahan politik tidak terelakkan. Reformasi total yang menuntut control militer yang sedikit disamping kebangkitan organisasi masyarakat sipil, serta penghargaan pada aturan HAM menjadi issu utama. Oleh sebab itu, Undang-undang dan peraturan baru tentang hak asasi manusia mulai diterapkan dan perjanjian-perjanjian atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Hak dan Kovenan Internasional tentang Rights diadopsi ke dalam sistem hukum. Namun demikian, perkembangan positif pemerintah dalam upaya komitmen menegakkan HAM yang memberikan peluang hukum dan politik HAM terlaksana sesuai standar universal, tidak benar-benar dilaksanakan, sebab kenyataan sering memperlihatkan bahwa perlindungan dan citra HAM tidak banyak berpengaruh secara nyata dalam melindungi pemilik hak, bahkan cenderung tersembunyi dalam euforia umum pertemuan hak asasi manusia, komite,deklarasi, dan sebagainya.

Oleh karena itu, dalam upaya menuntaskan permasalahan dalam upaya perlindungan HAM, perlu senantiasa dilakukan analisisa terhadap akar permasalahan yang ada dari semua pihak. Ketika ada upaya masyarakat dan pemerintah untuk mencari akar permasalahan dan penyelesaian permasalahan dalam dinamika perkembangan HAM di Indonesia, maka wacana dalam konteks nasional memerlukan prosesproliferasi hak asasi manusia yang melibatkan semua bidang dalam masyarakat termasuk memperhatikan dan mempertimbangkan isu-isu sosial, budaya, dan politik.

Dalam konteks Indonesia, upaya untuk mendukung perkembangan HAM ini melibatkan pemahaman keseluruhan wacana, khususnya dalam kontekstual di mana semua bidang di masyarakat dipakai secara transparan dan tidak terisolasi. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapakan oleh Hadiprayitno bahwa telah banyak ahli yang menyatakan bahwa budaya, yang melibatkan fokus pada nilai-nilai keluarga, hubungan patron-klien, menghormati, dan harmoni sosial, mendominasi politik struktur di Indonesia, terutama sejak Orde Baru. Hal ini didukung dengan adanya nilai-nilai Pancasila yang terpelihara dan diterima sebagai ideologi efektif, sehingga mempertahankan status quo. Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan wacana hak asasi manusia di Indonesia adalah tekanan internasional. Hal ini dapat dilihat pada kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur dalam 1990an.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال