Pemikiran Etika Plato dan Aristoteles dalam Perspektif Etika Islam


Penulis: Irsyadul Ichsan*

KULIAHALISLAM.COM - Etika ialah sesuatu yang mencoba memikirkan tentang konsep akhlak atau tingkah laku manusia, seperti bagaimana mengetahui dan menilai perbedaan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk, banyak filosof yang berbicara tentang tema ini, termasuk filosof ternama Plato dan Aristoteles.

Menurut pandangan Plato etika itu bersifat intelektual dan rasional, artinya bisa dijelaskan secara logis. Baginya tujuan hidup manusia adalah memperoleh kesenangan hidup, dan kesenangan hidupnya diperoleh dengan pengetahuan. Lebih lanjut, Plato mengatakan ada dua macam budi: budi filosofis dan budi biasa. Budi filosofis orang itu baik apabila ia dikuasai oleh akal budi, budi biasa apabila ia dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu.

Akan tetapi Aristoteles punya pandangan tersendiri menurutnya, kebaikan moral dapat dimengerti sebagai eudaimonia (kebahagiaan). Kebahagiaan sejati menurut Aristoteles adalah bila manusia mampu mewujudkan kemungkinan terbaik sebagai manusia. Artinya bahwa kebahagiaan dapat tercapai ketika manusia mewujudkan kebijaksanaan yang tertinggi berdasarkan rasio atau akal budi.

Perbedaan teori etika filosofi Yunani dan etika Islam adalah adanya sistem etika Islam yang mencangkup moralitas filosofis, teologis dan eskatologis (hal ini ajaran tauhid) yang tentu saja tidak dikenal dalam etika Yunani. Dalam etika Islam ada harmoni dimensi akal dan wahyu sebagai rujukan Ilahiyah (Tuhan) dalam menentukan baik dan buruk. Bila kita melihat etika Yunani maka sebuah kebaikan itu dilakukan karena mengandung nilai keutamaan sebagai kewajiban moral. 

Karena menariknya kedua pemikiran filosof terkemuka ini maka penulis akan mencoba menelusuri konsep keduanya tentang etika dan melihatnya dalam perspektif etika Islam, karena Islam juga memiliki konsep mandiri tentang etika.

Dalam tataran keilmuan Islam, etika dalam Islam menempati bagian penting dalam diskursus pemikiran Islam klasik yang berkaitan dengan filsafat, etika biasanya disebut dengan filsafat praktis. Filsafat praktis itu sendiri berbicara tentang segala sesuatu bagaimana seharusnya yang berdasarkan kepada filsafat teoritis, yakni pembahasan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya.

Idea dan Perspektif Etika Plato 

Karna pandangan etika Plato bersifat intelektual dan rasional maka lahirlah gagasan yang berupa idea dan idea menurut Plato merupakan suatu makna rasional yang tetap dan satu, serta bertentangan dengan hal-hal indrawi atau partikular yang banyak dan berubah. Indrawi tersebut berasosiasi, berasimilasi atau mendekati idea. (Fu’ad Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli, Filsafat “Barat dan Islam”, terj, Didin) itu maksud nya bentuk dari keadaan yang sebenarnya, bukan sekadar pikiran, melainkan realita. (Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, h. 102)

Idea menentukan tujuan dan nilai dari etik. Ide menjadi dasar moral, melalui idea manusia akan mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan yang dimotori oleh akal budinya. Penilaian itu muncul karena sudah tercanang di dalam dunia idea. 

Idea menjadi acuan atas dunia lahir (bertubuh), karena itu idea menjadi tujuan terhadap pengetahuan yang sebenarnya. Untuk mengetahui dunia, ide berada di dunia lain, bukan di dunia fisik. Segala pengetahuan itu tiruan dari yang sebenarnya, yang timbul dalam jiwa sebagai ingatan kepada dunia yang asal. 

Jiwa muncul sebagai penghubung antara dunia idea dan dunia lahir (bertubuh). Berasal dari penglihatan, teringat oleh jiwa gambaran yang asal, yang diketahuinya sebelum turun ke dunia. Penglihatan hanya alasan untuk ingat kepada idea. Pengetahuan dengan pengertian adalah ingatan, begitulah teori pengetahuan yang digagas oleh Plato.(Ibid, h. 104.)

Adapun tujuan hidup menurutnya yaitu mencapai kesenangan hidup. Kesenangan dengan artian bukan kesenangan yang hanya memuaskan hawa nafsu di dunia ini seperti halnya teori kebahagiaan aliran hedonisme, melainkan kesenagan hidup yang diperoleh dari pengetahuan tentang nilai yang dituju. 

Melalui ide kebaikan orang harus mencapai terlaksananya keadilan dalam pergaulan hidup. Apa yang baik bagi masyarakat maka baik pula bagi orang tersebut, antara kepentingan seseorang dan kepentingan masyarakat harus selaras. Ajaran Plato tentang etika berdasarkan pada ajaran idea. (Ibid, h. 106.)

Selanjutnya pemikiran Plato tentang etika, berdasarkan ajarannya dapat dikatakan etika bersendi kepada ajaran idea. Yang dimaksudkan idea dalam perspektif etika ialah budi. Adapun budi ialah tahu dalam artian menentukan tujuan dan nilai dari etika.

Plato membagi budi menjadi dua macam. Pertama, budi filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian. Kedua, budi biasa yang terbawa oleh kebiasaan orang. Sikap hidup yang tidak timbul dari keyakinan, melainkan disesuaikan kepada moral secara umum dalam hidup sehari-hari. (Ibid, h. 106.)

Etika Aristoteles

Pemikiran Aristoteles bersifat teologis dan merupakan suatu etika keutamaan. Aristoteles melihat kebaikan moral sebagai tujuan akhir perbuatan manusia. Artinya, “baik” menurut Aristoteles adalah bukan dalam bidang tertentu saja, melainkan semua aspek yang melingkupinya. 

Kebaikan moral dapat dimengerti sebagai eudaimonia (kebahagiaan) atau yang diterjamahkan dalam bahasa Inggris dengan wellbeing. Banyak sekali pandangan yang berbeda tentang kebahagiaan. Ada yang mengartikan kebahagiaan adalah kekayaan, kekuasaan, kesehatan. 

Namun, sebenarnya kebahagiaan sejati menurut Aristoteles adalah bila manusia mampu mewujudkan kemungkinan terbaik sebagai manusia. Artinya bahwa kebahagiaan dapat tercapai ketika manusia mewujudkan kebijaksanaan yang tertinggi berdasarkan rasio atau akal budi. (Aristoteles, Nicomachean Ethics, ter. Embun Kenyowati, vii)

Etika Aristoteles adalah etika keutamaan (virtue). Ia mengartikan keutamaan sebagai sikap moral yang tetap yang kemudian mengarahkan tingkah lakunya. Keutamaan menempatkan manusia pada posisi tengah antara dua sisi ekstrem. Seperti keutamaan orang yang memiliki kemurahan hati. Ia tidak berada pada posisi boros dan tidak pula pada posisi pelit. 

Keutamaan diperoleh melalui pembiasaan diri dan hasil latihan. Bukan sebuah bawaan dari lahir. Karena keutamaan terbentuk melalui sebuah proses yang panjang, sehingga dalam hal ini pendidikan memiliki peran yang cukup besar. 

Adakalanya keutamaan diperoleh dari tindakan korektif dari perbuatan sebelumnya. Keutamaan keberanian, diperoleh dari hasil melawan rasa takut. Keutamaan itu ada yang bersifat relevan untuk setiap zaman dan tempat, namun ada juga yang terkait pada historisitas tertentu. Sehingga dapat berubah oleh zaman. (K. Bertens, Etika, (Jakarta : Gramedia, 2007), 216-222.)


Etika dalam Perspektif Islam

Dalam filsafat kebebasan berpikir adalah sebuah ciri khas yang membedakan dengan ilmu lain. Karena itu megkaji filsafat artinya kita masuk ke ranah aktifitas radikal dan spekulatif. Berpikir radikal di sini adalah dimaksudkan berpikir secara mengakar dan mendalam untuk mencapai sebuah kebenaran, sehingga diharapkan dengan berpikir radikal akan memperoleh kejelasan realitas yang ingin dikajinya. Dengan berpikir berpikir secara rasional, yang artinya berpikir logis, sistematis, dan kritis. Berpikir inilah yang akan menjadi salah satu sifat dasar filsafat. (Jan Hendrik Raper, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996, h. 21-24)

Sedangkan dalam Islam, konsep-konsep etika atau lebih sering disebut akhlak, dan prilaku individu dan sosial sebenarnya telah terdapat pada teks-teks suci (Alqur’an) yang membentuk keseluruhan etika Islam. Bila ditelusuri lebih jauh tampak persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. 

Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat dengan ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran atau kriteria yang berlainan (Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, California: Undena Publications, 1985, h. xvii) akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk. (Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996, h. 11)

Terkait dengan hal tersebut kajian filsafat Islam tentang etika tentu tidak bisa lepas dari kajian yang bersifat rasional, karena rasionalitas merupakan karakter dari filsafat. Para filosof muslim awal dalam kajiannya mengenai etika apakah Neo-Platonis seperti Al Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. 

Pembahasan etika filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil Alqur’an seperti cara-cara penulis muslim umumnya, akan tetapi dikhususkan pada bukti yang memperkuat kesimpulan mereka. Jadi untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci merupakan dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof adalah akal. (Franz Magnis dan Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 18)

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال