Filsafat Pendidikan Islam: Perspektif Ikhwan Shafa


Penulis: Izzatul Akma Albasyiroh*

KULIAHALISLAM.COM - Pendidikan merupakan proses dari pemberdayaan potensi dalam diri manusia serta pengembangan intelektualitas pemikiran. Dengan pendidikan diharapkan tumbuh generasi penerus yang berkarakter Islami. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi dalam pendidikan terhadap manusia, diantaranya faktor keluarga, ekonomi, lingkungan, teman dan politik.

Mengenai konsep pendidikan terhadap manusia, banyak sekali rumusan pemikiran para cendikiawan, baik cendikiawan muslim maupun non muslim. Rumusan konsep tersebut sangat beragam, namun tidak semuanya berbeda. 

Artikel ini menjelaskan tentang pemikiran pendidikan dari tokoh muslim terkemuka yaitu pemikiran Ikhwan Shafa. Selain tentang pemikiran pendidikan Ikhwan Shafa akan disinggung mengenai riwayat hidup yang melatar belakangi hasil pemikirannya.

Biografi Ikhwan Shafa

Ikhwan Shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim yang berdiri sekitar abad 10 M di Bashrah. (Muhammad ‘Athif Al-Iraqy, al Falsafah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al Ma’arif, 1978), hlm.29) Kelompok ini juga menamakan dirinya khulan al wafa’, ahl ‘adl dan abna’ al Hamd. Ikhwan Shafa merupakan kelompok masyarakat rahasia (terasing) yang dibentuk di Bashrah, Irak, sekitar tahun 340/951 oleh Zayd Ibn Rifa'ah. Mereka merupakan forum diskusi dan pengajaran. Yang tergolong sebagai anggota kelompok ini antara lain Abu Sulayman Muhammad al-Busthi (al-Muqaddasi), Abu Ahmad al-Mahrayani, Abu Hasan Ali al-Zanjani, al-Awfi dan Zaid Ibnu Rifa'ah. (Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa dan Relevansinya dengan Dunia Postmodern” 24 (Juni 2019): 152.)

Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya. Salah satu bentuk ajaran Ikhwan Shafa adalah paham Taqiyah (menyembunyikan keyakinan). Kerahasiaan kelompok ini disebabkan karena dukungan mereka terhadap pemikiran Mu’tazilah yang telah dihapuskan oleh khalifah al-Mutawakkil dari ajaran Sunni. Sehingga kaum rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan dan diusir dari baghdad.

Ikhwan Shafa adalah sekelompok tokoh pemikir yang hidup dalam lingkungan yang tidak bersahabat dengan fahamnya. Sehingga rasa tertekan itu membuatnya prihatin dan menjadi motifasi besar untuk berfikir mendapatkan solusi keluar dari jeratan tersebut dan berusaha menyadarkan masyarakat bisa berfikir sefaham dengannya.

Ilmu Pengetahuan Perspektif Ikhwan Shafa

Dalam filsafat pendidikannya, Ikhwan Shafa menjelaskan tentang jiwa manusia mulai dari sumbernya sampai pada perkembangannya. Manusia mempunyai kelebihan daripada makhluk lainnya. Semua jiwa dalam makhluk yang lain dimiliki juga oleh manusia, tidak sebaliknya. 

Ikhwan Shafa menjelaskan, dalam tubuh manusia, jiwa memiliki tiga fakultas;

  1. Jiwa tumbuhan. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya; makan, tumbuh dan reproduksi. Jiwa ini dimiliki semua makhluk hidup; tumbuhan, hewan dan manusia
  2. Jiwa hewan. Jiwa ini dimiliki oleh hewan dan manusia dan terbagi dalam dua daya, penggerak dan sensasi (persepsi dan emosi)
  3. Jiwa manusia. Jiwa yang hanya dimiliki oleh manusia, yaitu jiwa yang menyebabkan manusia berpikir dan berbicara.

Dari sinilah bisa diketahui bahwa manusia memiliki indra zahir dan batin. Sehingga apa yang ditangkap oleh indra zahir diolah oleh indra batin yang akhirnya melahirkan konsep-konsep. Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal yang fitrah. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang. (Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.152)

Dalam jiwa yang universal itu telah dibekali potensi yang cenderung mengikuti ajaran tuhan (fitrah), diantaranya adalah kepercayaan tentang ketuhanan. Dalam kenyataan perkembanganya jiwa manusia menjadi multi kultur itu karena dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Bermacam-macam kepercayaan tentang ketuhanan karena gesekan ajaran disekitarnya. 

Sehingga dalam dunia sufi, untuk menemukan hakekat kebenaran, uzlah adalah keharusan yang harus dijalani. Meskipun dalam pengertian uzlah sendiri tidak semuanya sepakat bahwa uzlah itu harus meninggalkan dan menghindar dari hiruk pikuk kehidupan, namun mayoritas sufi mengartikan demikian. Karena dengan menjauhkan pikiran dari materi yang mengitarinya maka jiwa fitrah akan terpanggil dalam membangun perkembangan daya fikir yang terdapat dalam jiwa seseorang. (Ibnu ‘Ajiybah, Iqadzul humam syarah matan al Hikam, (Maktabah Syamilah, Mauqi al Waraq), juz I hal. 21 )

Fitrah cenderung pada kesesuaian dengan ajaran tuhan. Seperti manusia memiliki gerakan reflek, manusia juga memiliki akal reflek. Sama juga seperti bakat kelincahan yang mudah dikembangkan menjadi ahli yang profesional, bakat terkait pemikiran juga akan menjadikan seseorang genius, bahkan pemikirannya tidak terpengaruh oleh lingkungan. 

Dalam hadits nabi juga disampaikan, “mintalah petunjuk pada hati nuranimu” Bakat bawaan tersebut akan lebih cepat berkembang ketika dirangsang dengan pengetahuan yang ditangkap oleh indra dzahir. Pengetahuan diperoleh melalui proses berfikir. Pengetahuan berbeda dengan persepsi dan emosi. Hewan memiliki persepsi dan emosi namun tidak memiliki pengetahuan. 

Demikian juga anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan dalam arti belum memiliki pengetahuan, namun sudah memiliki persepsi dan emosi (reflek) yang sesuai dengan ajaran tuhan (fitrah). (Abdullah Arif Mukhlas, “Filsafat Pendidikan Islam Perspektif Ibnu Khaldun Dan Ikhwan Shafa,” Fikroh: Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam 9, no. 1 (2016): 58–68, https://doi.org/10.37812/fikroh.v9i1.47.)

Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya tanggapan panca indra yang menyalurkannya ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari sini meningkat kedaya berfikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. 

Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan (al-quwwat al-hafizhat) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya berfikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkannya lewat tulisan kepada pembaca. (Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.152.)

Kesimpulan

Dari materi ini dapat disimpulkan bahwa, Ikhwan Shafa adalah sekelompok tokoh pemikir yang hidup dalam lingkungan yang tidak bersahabat dengan fahamnya. Dalam filsafat pendidikannya, Ikhwan Shafa menjelaskan tentang jiwa manusia mulai dari sumbernya sampai pada perkembangannya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.

Dalam jiwa yang universal itu telah dibekali potensi yang cenderung mengikuti ajaran tuhan (fitrah), diantaranya adalah kepercayaan tentang ketuhanan. Demikian juga anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan dalam arti belum memiliki pengetahuan, namun sudah memiliki persepsi dan emosi (reflek) yang sesuai dengan ajaran tuhan (fitrah).

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال