Benarkah Hukum Hanya Produk dari Perubahan Politik

KULIAHALISLAM.COM - Sudah tidak asing, bahwa pengistimewaan terhadap salah satu urutan pelaksanaan pembangunan didasarkan pada adanya bias disiplin atau generalisasi, dan pengalaman-pengalaman nasional tertentu terhadap norma-norma universal.



Karenanya, hal ini terdapat di dalam teori politik di mana pandangan yang dominan tentang bagaimana transisi yang liberal terjadi terdiri dari suatu urutan. Di mana perubahan politik harus dilakukan terlebih dahulu.

Artinya, dalam pandangan ini, respon-respon transisional dari suatu negara dijelaskan secara luas dalam konteks desakan-desakan politik dan kelembagaan. Keadilan yang dicari dalam masa ini hanya dapat dijelaskan dengan cara yang terbaik dalam konteks penyeimbangan kekuasaan. Hukum hanyalah suatu produk dari perubahan politik.

Syahdan. Kalangan realis politik seringkali menyatukan pertanyaan tentang mengapa suatu tindakan negara diambil dengan permasalahan tanggung jawab apakah yang mungkin.

Tentu saja, penyusunan teori semacam ini memberikan klarifikasi bahwa, keadilan transisional mungkin merupakan suatu isu yang vital bagi sebagian negara. Namun, bagi beberapa negara yang lain, hal itu tidak demikian.

Penyeimbangan kekuasaan yang berlaku pada saat ini, adalah penyusunan “langkah-langkah” transisi, dianggap pada gilirannya dapat menjelaskan respon hukum.

Karena bagaimanapun, pernyataan bahwa suatu rezim akan “melakukan apa yang dapat mereka lakukan”, tidak menggambarkan secara baik keanekaragaman besar dari fenomena hukum.

Dalam konteks ini, cukup menarik pula untuk membahas mengenai hubungan antara keadilan politik dan demokrasi. Menurut De Brito, hubungan antara keadilan politik dan demokrasi merupakan sesuatu yang kompleks.

Ini sebagaimana pernah diobservasi di tempat lain, merupakan sesuatu yang ironis. Namun, mungkin benar jika rezim-rezim pengganti yang bersifat nondemokratis diperlengkapi dengan lebih.

Baik dalam konteks filosofis dan psikologis untuk kemudian mengimplementasikan suatu “kebijakan-kebijakan keadilan yang lebih komprehensif. Karena adanya pluralisme yang bersifat terbatas dan non-existent atau kekurangan perhatian terhadap proses hukum”.

Rezim-rezim pengganti yang demokratis, di sisi lain, harus menyeimbangkan tujuan dari hampir keseluruhan kebijakan kebenaran dan keadilan yang bersifat luas, dengan suatu respek terhadap pluralisme dan aturan hukum. Kemungkinan, sebagai contoh, bahwa dalam suatu konteks dari pluralisme demokrasi kebijakan-kebijakan semacam itu akan dibatasi.

Sebagai kontras dengan para elit non-demokratis, suatu elit yang demokratis harus mempertimbangkan pandangan dari seluruh bagian dari spektrum politis dan sosial. Beberapa mungkin menginginkan pengadilan dan kebenaran. Dan yang lain-lainnya mungkin menginginkan untuk “melupakan” (forgetting) atau “memberikan maaf” (forgiveness).

Pemerintah-pemerintah harus merumuskan suatu kebijakan yang biasanya cenderung untuk mengumpulkan berbagai preferensi, daripada untuk mengekpresikan suatu harapan yang penuh dari satu atau sektor yang lain.

Sejalan dengan due process, suatu fitur fundamental yang berlaku di suatu rezim demokratis, juga akan membatasi keadilan dan bahkan kebenaran. Pengadilan-pengadilan tidak akan dapat untuk menetapkan secara sah kesalahan masyarakat yang “setiap orang mengetahui” bahwa dia patut dihukum atau dipersalahkan.

Dalam suatu negara, demokrasi tidak boleh terdapat suatu pembersihan-pembersihan yang bersifat indiskriminasi (tidak pandang bulu), pengadilan-pengadilan massa yang mengasumsikan kesalahan kolektif. Hal ini mungkin “adil”, namun mere melemahkan aturan hukum.

Dalam dalam berbagai kasus, di mana ukuran-ukuran yang bersifat drastis diterima. Beberapa ketidakadilan baru dilakukan. Masa pasca perang di Belgia, Denmark, Perancis, Belanda, dan Norwegia menginstitusikan kebijakan-kebijakan untuk pembersihan-pembersihan yang bersifat keras dan luas, eksekusi-eksekusi yang bersifat ekstra yudisial, proses-proses pengadilan oleh pengadilan-pengadilan pidana, eksekusi-eksekusi pejabat, dan pemenjaraan massa.

Jelasnya, dalam segala keadaan, kekerasan dan kecepatan dihargai lebih daripada penghormatan kepada aturan hukum. Standar dari kesalahan kolektif diterima, dan terdapat suatu ketidakaturan prosedural ketika pengadilan-pengadilan berada di bawah tekanan besar untuk menghukum masyarakat. Keadilan retroaktif diterapkan sebagai sesuatu yang melanggar asas neola poena sine lege (no punishment without law).

Penting dicatat, bahwa dalam kaitannya, bisa dilihat di ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan sebagai berikut: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundangan-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال