Ketika Masyarakat Berada Dalam Subordinasi Negara

KULIAHALISLAM.COM - Tak bisa dipungkiri bahwa Plato dan Aristoteles adalah dua pemikir besar yang pada masanya menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan ini diperlukan untuk mendidik warga dengan nilai-nilai moral yang rasional.



Itu sebabnya, bagi Plato, individu memiliki kecenderungan keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Negara harus mencegah ini. Ini memang mengurangi kebebasan individu, tetapi apa boleh buat, negara harus mengatur semuanya.

Baginya, negara ideal mengandung ketidakadilan terhadap manusia, tidak ada kebebasan bagi manusia individu. Sebab, Plato mengucilkan semua keindividuan yang pribadi dari konsep negaranya, demi mempertahankan moral yang baku.

Negara Harus di Pimpin oleh Filsuf


Syahdan. Untuk mendidik warganya, menurut Plato, negara harus dikuasai oleh para ahli pikir atau filsuf, karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya dalam kehidupan, yang dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Para Filsuf melihat nilai-nilai kefilsufan dapat membebaskan diri dari dunia lahir yang berubah dan yang abadi. Berganti-ganti dalam gejalanya. Ini juga yang kemudian memengaruhi pemikiran politik Al-Farabi.

Rupanya, hal ini diperkuat oleh argumentasi Thomas Hobbes. Ia menekankan pentingnya kekuasaan pada negara. Karena, kalau tidak, para warga akan saling berkelahi demi memperjuangkan kepentingan mereka. Pandangan Hobbes ini didasarkan pada dua alasan.

Pertama, negara harus kuat tanpa tanding, sehingga dapat memastikan, seperlunya memaksakan, ketaatan para anggota masyarakat terhadap peraturan-peraturannya. Kedua, negara harus menetapkan suatu tatanan hukum yang kuat. Setiap orang yang tidak menaatinya akan dihukum mati.

Dengan demikian, manusia akan tetap berada pada jalur yang benar dan tertib. Karena nafsu-nafsu yang kacau dan asosial diimbangi oleh ketakutan akan kematian apabila ia mengikutinya. Sedangkan orang yang hidup sesuai dengan undang-undang, maka ia dapat hidup secara tentram dan bebas dari rasa takut.

Dalam hal ini, supaya ancaman negara betul-betul dipercayai orang, setiap kemungkinan untuk naik banding melawan undang-undang negara harus disingkirkan. Dengan kata lain, kata Hobbes, negara harus absolut.

Tak hanya itu, lanjut Hobbes, negara harus bebas dari kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban ke mana pun. Bahkan, negara harus menerapkan undang-undang dengan hanya berpedoman pada efisiensi sosial. Warga negara tidak memiliki hak apa pun terhadap negara, melainkan semua hak yang dimilikinya, dimiliki melalui negara, melalui undang-undang.

Kenapa demikian? Karena dalam negara, hukum berkuasa secara mutlak. Apa yang adil dalam bidang kehidupan bernegara ditentukan oleh negara. Yang adil ialah sesuatu yang sesuai undang-undang, betapa pun buruknya.

Hanya dengan cara demikian, Hobbes merasa dapat menjamin bahwa negara betul-betul dapat menertibkan para warganya. Negara itu, menurut Hobbes, adalah negara hukum formal dalam paham positivistik.

Itu artinya, dengan menerapkan pola-pola demikian, dapat disimpulkan bahwa negara merupakan wakil dari kepentingan umum atau publik. Sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi atau kelompok secara terpisah.

Untuk itu, menurut Hobbes, perlu diangkat seorang raja dengan kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan ini harus bersifat mutlak, karena raja berdiri di atas kepentingan-kepentingan warganya, tetapi raja sendiri bukan merupakan bagian dari perjanjian itu. Raja tidak dapat melanggar hukum, karena raja merupakan hukum itu sendiri.

Membentuk Masyarakat dan Manusia Ideal


Pendapat yang mendukung penguatan kekuasaan yang besar kepada negara diajukan pula oleh Hegel ketika mengembangkan filsafatnya tentang dialektika dari yang ideal dan real. Bagi Hegel, sejarah umat manusia merupakan proses dari sebuah ide universal yang sedang merealisasikan atau mengaktualisasikan dirinya.

Dalam hal ini, ide besar yang universal tersebut, yang kira-kira dapat disamakan dengan ide Tuhan dalam menciptakan umat manusia, tidaklah menjelma secara tiba-tiba dalam waktu singkat.

Ide tersebut berproses melalui dinamika sejarah. Ujung dari proses sejarah ialah dijelmakannya ide universal tersebut menjadi sebuah kenyataan, yakni dengan terbentuknya sebuah masyarakat manusia yang ideal.

Bahwa negara harus memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, yakni merealisasikan ide besar menjadi tujuan dari gerak sejarah umat manusia. Negara yang akan menjadi agen sejarah untuk membantu manusia yang sekarang berproses menjadi manusia yang bisa menciptakan masyarakat yang sempurna di kemudian hari. Keinginan negara merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang. Karena itu negara harus dipatuhi.

Atas dasar inilah Hegel berpendapat bahwa negara modern memiliki hak untuk memaksakan keinginan kepada warganya. Negara mewakili keinginan umum, karena negara merupakan manifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal.

Dengan mematuhi negara, individu yang menjadi warga negara tersebut sedang dibebaskan dari kelicikannya yang hanya memperjuangkan kepentingan dirinya yang sempit. 

Negara merupakan penjelmaan dari kemerdekaan rasional yang menyatakan diri dalam bentuk yang objektif. Karena itu, negara berada di atas masyarakat, lebih utama dan lebih tinggi dari masyarakat yang dibawahinya. Semakin kuat negara, semakin baik bagi para warganya.

Jelasnya, setiap warga negara harus menyerahkan seluruh dedikasinya kepada negara. Dengan kata lain, dalam konsep Hegelian, negara menjadi aparat yang didewakan, yang berhak menuntut apa pun dari para warganya.

Tak keliru jika dikatakan bahwa negara merupakan lembaga inti dari kekuasaan politik. Kekuasaan itu dipergunakan untuk mengatur masyarakat. Pemahaman demikian muncul karena negara memiliki setidaknya dua tugas yang harus dilaksanakan.

Pertama, mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial atau bertentangan satu sama lain, agar tidak menjadi antagonisme yang membahayakan. Kedua, mengorganisir seluruh aktivitas manusia secara integral dalam rangka mencapai tujuan kehidupan bersama tersebut. Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال