Menjadi Manusia Seperti Thales

Penulis: Hilmy Harits Putra Perdana*

KULIAHALISLAM.COM - Pembahasan yang menarik ketika kita membincang seorang tokoh yang dijuluki sebagai Bapak Filsafat, karena di tangannya pemikiran filosofis secara rasional mulai dikenalkan. Menurut buku Alam Pikian Yunani karya Mohammad Hatta, Filsuf (sebutan orang yang menekuni filsafat) itu bernama Thales, yang hidup pada tahun 625 – 545 SM. 


Thales lahir di era bangsa Yunani Kuno tepatnya di kota Miletus (sekarang sebuah daerah di Turki). Sepak terjang Thales yang terkenal adalah ketika berani mendobrak mitos-mitos yang telah menjadi keyakinan masyarakat Yunani kala itu. Atau yang bisa kita sebut sebagai peralihan dari mitos ke logos. Dia berani menerobos bahwa gejala-gejala alam bukan hanya semata-mata kerja dewa-dewa, melainkan bisa dijelaskan secara ilmiah.

Karena pada masa itu kepercayaan terhadap dewa-dewa muncul ketika bangsa Yunani tidak tahu mengenai siapa yang membuat fenomena-fenomena alam itu. Maka mereka beranggapan bahwa penyebab turunnya hujan adalah dewa hujan yang sedang menangis, munculnya petir adalah ketika dewa Zeus marah misalnya. 

Jadi kepercayaan terhadap dewa-dewa saat itu masih sangat kuat. Lahirlah Thales sebagai filsuf yang berani menerangkan gejala-gejala alam tersebut secara ilmiah, walaupun pernyataan ilmiah masa itu masih bersifat spekulatif. Tetapi paling tidak penjelasan dari Thales sudah mewakili rasionalitas manusia. 

Tak dapat dipungkiri bahwa Thales masuk dalam kelompok Seven Wise Men Of Greece (Tujuh Manusia Bijak di Yunani) yang menjadi bukti bahwa memang Thales menggunakan akal budinya untuk menjadi seorang yang benar-benar bijaksana. Apa tolok ukur kebijaksanaan menurut Thales? Ada 5 sifat yang harus dimiliki oleh seorang yang bijaksana menurut Thales.

Pertama, memiliki sifat Rationality berarti menggunakan akal sebagai tuntunan dalam mencari ilmu pengetahuan. Akal memiliki sifat penting dalam perekembangan pemikiran dalam filsafat. Pada masa itu, Thales menggunakan akal sebagai dasar untuk membangun konstruksi pemikiran dan gagasan yang ditujukan untuk menerobos mitologi-mitologi Yunani yang menyebabkan kemunduran pemikiran. 

Dalam artian, seseorang tidak bisa lepas dari mitologi untuk menyikapi segala gejala alam yang terjadi dalam kehidupan. Semua orang Yunani menyandarkan pengetahuan dan keyakinannya kepada dewa-dewa sehingga membunuh daya kritis dan rasa ingin tahu itu sendiri karena semua kejadian orientasinya hanya kepada kuasa dewa. Maka dari itu, untuk mencari pengetahuan secara mendalam dibututhkan akal yang mumpuni, dalam artian dapat berpikir kritis dan mempertanyakan sesuatu.

Kedua, memiliki sifat Curiosity yaitu sifat keingintahuan yang tinggi. Menjadi seorang filsuf harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bukan hanya filsuf masa itu, tetapi ilmuwan, profesor dan akademisi masa kini juga pasti dibekali rasa ingin tahu. Mereka percaya bahwa penerimaan pengetahuan dari satu sudut pandang saja malah akan membunuh pengetahuan itu sendiri. 

Rasa penasaran dan penyelidikan tentang sesuatu harus ditingkatkan untuk memperdalam informasi-informasi mengenai pengetahuan tertentu hingga menemukan pengalam dan wawasan baru. Bukan hanya mempertanyakan tentang definisi umum sebuah kajian, melainkan harus ditelaah lebih lanjut tentang kausalitas, definisi khusus, interaksi antar ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. 

Kalau filsuf hanya berhenti pada satu pandangan saja dan tidak mau memperdalam dan meragukannya dapat dipastikan bahwa dia kurang akan pengetahuan. Yang perlu diingat adalah pengetahuan lahir dari sebuah pertanyaan.

Ketiga, memiliki anggapan bahwa segala ilmu pengetahuan itu bersifat Tentavity atau sementara dan bisa berkembang. Dalam artian seorang manusia bijak tidak boleh hanya berpaku pada satu referensi dalam satu waktu. Pengetahuan itu berkembang seiring berkembangnya ruang dan waktu. 

Dalam hal ini sering dikaitkan dengan yang namanya open minded atau memiliki pikiran yang terbuka. Segala pengetahuan berpotensi untuk berkembang dan muncul yang baru. Banyak sekali contoh teori-teori atau pengetahuan yang berkembang dan menggantikan teori sebelumnya. 

Sebagai contoh, dulu manusia beranggapan bahwa pusat tata surya adalah adalah bumi (geosentris) tetapi seiring berjalannya waktu dan perkembangan penelitian, maka dilahirkan pengetahuan baru yang mengantikan pengetahuan lama yaitu pusat tata surya adalah matahari (heliosentris). Jadi dapat disimpulkan bahwa teori geosentris sudah tidak berlaku karena muncul teori baru tentang heliosentris.

Keempat, sifat Objectivity harus ditanamkan dan diterapkan. Karena dalam memandangan suatu ilmu pengetahuan, orang bijak harus dituntut untuk objektif. Yang dimaksud dalam objektif kali ini adalah penilaian suatu fokus kajian harus dinilai secara faktual atau nyata. Tidak boleh dilebih-lebihkan dan dikurang-kurangi. 

Apalagi terpengaruh oleh faktor subjektifitas yang lain, emosional, dogma, kepercayaan, perasaan misalnya. Dalam cara pandang objektif secara tidak langsung kita melahirkan argumentasi yang tegas. Kalau melihat sesuatu itu salah ya harus dikatakan salah. Jika melihat sesuatu itu benar ya katakanlah benar sebagaimana kenyataan. Rumus ini tidak boleh dibalik, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar misalnya.

Kelima, menjadi seorang pemikir yang hebat dimasanya, Thales memiliki sifat Creativity atau kreatif. Seorang filsuf menggunakan akalnya untuk memikirkan hal yang di luar orang lain pikirkan. Filsuf juga harus bisa berinovasi dalam hal pemikiran, tidak hanya meniru pemikiran-pemikiran sebelumnya tetapi harus menemukan hal yang baru, yang tidak orang lain pikirkan. 

Paling tidak dapat mengembangkan pemikiran yang dahulu dengan berbagai alternatif pemikiran yang lain. Kreatifitas harus selalu dipacu untuk melahirkan gagasan-gagasan baru. Thales sangat kreatif karena saat semua orang menyandarkan diri pada hukum dewa, Thales mampu berpikiran diluar itu untuk menunjukan bagaimana rasionalitas juga berperan penting dalam peradaban. 

Kreatifitas juga diperlukan untuk mencari trobosan-trobosan baru dalam menjawab segala pertanyaan dan mempersoalkan segala kejadian. Jadi initinya kita dapat menggunakan akal dengan tidak terpenjara oleh mitos-mitos untuk mencapai kreatifitas yang bebas.

Disclaimer: Sumber yang saya gunakan Sebagian besar dari Channel Youtube Masjid Jenderal Sudirman dengan pematerinya adalah Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri SATU Tulungagung.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال