Sejarah Samiri dan Samirah Dalam Islam dan Yahudi



KULIAHALISLAM.COM - Dalam QS. Thaha ayat 83-98, Allah menceritakan tentang apa yang dikerjakan oleh Bani Israil ketika Nabi Musa pergi meninggalkan mereka untuk melaksanakan perjanjian pada waktu yang ditentukan oleh Tuhannya. Nabi Musa menetap di bukit Thur untuk bermunajat kepada Tuhannya. Pada saat itu ada seorang laki-laki bernama Harun as-Samiri membuat anak sapi yang bertubuh, bersuara dan terbuat dari perhiasan emas.

Menurut Ibnu Katsir, samiri nama aslinya adalah Musa bin Dhafiri, awalnya ia memuja sapi namun ia menonjolkan keisalamannya di tengah-tengah Bani Israil. Samiri berkata : “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya”. Maksudnya, ia dapat melihat Malaikat Jibiril saat Malaikat Jibril datang untuk membinasakan Fir’aun, lalu ia ambil segenggam dari jejak kuda Malikat Jibril.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah bahwa Samiri melihat Malaikat Jibril, lalu timbul bisikan dalam hatinya untuk mengambil jejak kuda Malaikat Jibril dan hatinya berkata : “ Jika kamu mengambil segenggam tanah yang diinjak oleh Malaikat, kemudian kamu menyimpannya dan lalu kamu katakan sesuatu itu ‘jadilah’! niscaya sesuatu itu akan menjadi. Kemudian Samiri melemparkan perhaisan yang dilebur sambil mengatakan ‘jadilah’! maka perhiasan pun menjadi patung anak sapi yang berbentuk dan bersuara.

Samiri  meminta Bani Israil mengumpulkan perhiasan kaum Qitbhi Mesir. Setelah perhiasan tersebut terkumpul, maka Samiri mengumpulkan arsitek-arsitek ulung dan bersama mereka ia mencairkan emas dalam bejana dan mendinginkannya dengan air laut.Samiri melemparkan segenggam tanah yang diinjak Malaikat Jibril ke dalam perhiasan itu tanpa ada yang mengetahui bahwa tanah itu bekas telapak  Malaikat Jibril dan ia  meminta Nabi Harun mendoakan apa yang diminta Samiri saat itu tanpa mengetahui bahwa yang diminta Samiri dalam hatinya adalah seekor anak sapi yang besar.

Bani Israil Menyembah Seekor Sapi

Tiba-tiba seekor sapi yang sempurna bentuknya berada di depan mereka. Samiri berkata : “Aku meminta kepada Allah agar perhiasan itu menjadi seekor anak sapi dan lalu Dia menjadi anak sapi”.Seekor sapi yang berukuran besar dan sapi itu mengeluarkan suara. Samiri menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Rasul dan menyuruh Bani Israil untuk sujud menyembah sapi itu. Kaum Bani Israil sujud kepada sapi  itu kecuali Nabi Harun dan Yusa’ bin Nun yang masih kecil serta orang-orang yang bertaqwa.

فَأَخْرَجَ لَهُمْ عِجْلًا جَسَدًا لَّهُۥ خُوَارٌ فَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِلَٰهُكُمْ وَإِلَٰهُ مُوسَىٰ فَنَسِىَ

Arab-Latin: Fa akhraja lahum 'ijlan jasadal lahụ khuwārun fa qālụ hāżā ilāhukum wa ilāhu mụsā fa nasiy.Artinya: Kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata: "Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa". (Q.S Thaha ayat 88).

Ibnu Abbas berkata : “ Demi Allah, anak sapi itu tidak pernah bersuara. Suara yang keluar darinya karena adanya angin masuk dari duburnya lalu keluar dari mulutnya”. Perhiasan itu menjadi anak sapi yang tidak berongga dan tidak bernyawa. Yang  aneh adalah Bani Israil ternyata mau dipermainkan setan. Nabi Harun mengingatkan Bani Israil agar tidak menyembah sapi itu.

وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَٰرُونُ مِن قَبْلُ يَٰقَوْمِ إِنَّمَا فُتِنتُم بِهِۦ ۖ وَإِنَّ رَبَّكُمُ ٱلرَّحْمَٰنُ فَٱتَّبِعُونِى وَأَطِيعُوٓا۟ أَمْرِى

Arab-Latin: Wa laqad qāla lahum hārụnu ming qablu yā qaumi innamā futintum bih, wa inna rabbakumur-raḥmānu fattabi'ụnī wa aṭī'ū amrī. Artinya: Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: "Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu. itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku". (Q.S Thaha 90).

Allah memberitahukan dalam Q.S Thaha ayat 90 bahwasanya Nabi Harun telah mengingatkan Bani Israil agar tidak menyembah anak sapi itu tetapi mereka menjawab :“Kami akan tetap menyembah patung anak sapi itu hinga Musa kembali kepada kami, (Q.S Thaha 91)”. Allah menceritakan tentang Nabi Musa ketika dia pulang kepada kaumnya. Nabi Musa melihat kemusyrikan yang mereka lakukan. Maka Nabi Musa marah besar.

Nabi Musa berkata : “ Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat. Sehingga kamu tidak mengikuti aku ?. Maka apakah kamu sudah mendurhakai perintahku?”. Harun berkata : “ Hai purta ibuku, jangan kamu pegang janggutku dan jangan pula kepalaku.Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata : “ Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara ucapanku”. (QS Thaha ayat 92-94).

Berkata Musa, "Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?” Samiri menjawab, 'Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul, lalu aku melemparkannya dan demikianlah nafsuku membujukku.” Berkata Musa, "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan dunia ini (hanya dapat) mengatakan, "Janganlah menyentuh (aku).' Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah), selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.”

Hukuman Nabi Musa Kepada Samiri

Musa bertanya kepada Samiri, "Apakah yang mendorongmu berbuat seperti itu, dan apakah yang membuatmu berani melakukan apa yang kamu lakukan itu?". Samiri menjawab “Nafsuku membuat hal itu indah dan mempesona bagi diriku”. Nabi Musa berkata : “Pergilah kamu ! Maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini hanya mengatakan ‘tidak ada sentuhan’.” Maksudnya adalah Samiri dihukum di dunia dengan tidak boleh menyentuh manusia dan manusia tidak boleh menyentuhnya.

Ibnu Abbas berkata : “ Nabi Musa menguliti patung sapi itu dengan kikir, kemudian membakarnya ke dalam api”.Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair,dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Samiri adalah seorang lelaki dari kalangan penduduk Baj irma, yaitu dari kalangan kaum yang menyembah sapi. Dan kecintaannya terhadap penyembahan sapi melekat dalam dirinya. Dia secara lahiriah menampakkan ke­islamannya di mata orang-orang Bani Israil, dan nama aslinya ialah Musa ibnu Zafar. Menurut riwayat yang lain dari Ibnu Abbas, Samiri berasal dari Kirman. Qatadah mengatakan bahwa Samixri berasal dari suatu kota yang disebut Samara.

Setelah diusir Nabi Musa, ia mengembara di jalan-jalan Sinai menjauhi Nabi Musa dan Bani Israil. Lalu, suatu ketika, ia duduk-duduk di puncak gunung yang tinggi memandangi orang-orang berpergian menaiki perahu. Ia berharap dapat menumpang perahu itu dan menjelajahi dunia. Untuk pertamakalinya ia pergi ke negeri yang bernama “Bilad Al-Ghal (Negeri Makmur)” dan menjelajahi negeri lainnya hingga tiba di laut Yaman.

Kemudian akhirnya Samiri kembali kenegerinya yaitu Samirah. Samirah adalah ibukota kerajaan Israil warisan Nabi Sulaiman. Orang yang memilih Samirah sebagai ibukota Israil adalah Raja ‘Umari yang berkuasa di Israil tahun 885-874 Sebelum Masehi. Samirah terletak di lembah Sa’ir. Jarak Samirah dengan Al-Qudus adalah sekitar 42 Mil ke arah utara.

Sekte Yahudi As-Samirah

Imam Syahrastani dalam kitabnya Al-Milal Wa An-Nihal menyebutkan bahwa As-Samirah merupakan sebuah kelompok masyarakat Yahudi yang menghuni pegunungan Baith Al-Maqdis dan tinggal di desa-desa di Mesir. Mereka mengakui kenabian Nabi Musa Alaihisalam,Harun dan Yusa bin Nun. Menurut mereka tidak ada Nabi lagi sesudah Nabi Musa alaihisalam. Di kalangan kelompok Samirah lahir seorang laki-laki bernama Al-Afan yang dirinya sebagai Nabi yang diberitakan Nabi Musa, dia adalah bintang kejora yang disebut dalam Kitab Taurat, cahayanya lebih terang dibandingkan cahaya bulan purnama dan orang ini lahir sekitar seratus tahun sebelum lahirnya Al-Masih.

Kelompok As-Samirah terbagai dua kelompok kecil yaitu kelompok Dustania atau dinamakan juga Alfania dan kelompok Kutania. Mereka mempercayai dunia dan akhirat dan meyakini ada pahala dan dosa di akhirat. Kedua kelompok ini berbeda dalam hal hukum dan syariatnya saja. Kiblat kelompok As-Samariyah adalah sebuah bukit yang bernama Ghuraizin yang terletak antara kota Baith Al-Maqdis dan Nablus.

Menurut mereka, Tuhan memerintahkan Daud untuk membangun Baith Al-Maqdis di pegunungan Nablus yaitu Gunung Tursinai tempat Nabi Musa berbicara langsung dengan Tuhan. Tetapi Nabi Daud memindahkannya ke Elia. Di sana dibangun sebuah bangunan yang menyalahi perintah Tuhan. Karena itu Nabi Daud dianggap telah melakukan perbuatan zalim. Samiriyah menghadap ke arah kiblat yang berbeda dengan kelompok yahudi lainnya. Bahasa mereka juga tidak memakai bahasa Yahudi. Kitab Taurat menurut mereka diturunkan dalam bahasa yang mirip dengan bahasa Ibrani yang kemudia disalin ke dalam bahasa Siryac.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال