Memahami Kembali Definisi Air Mutlak


Sudah mafhum bahwa, air mutlak adalah air yang boleh digunakan untuk bersuci. Sumber air mutlak terdapat dari dalam tanah atau turun dari langit langsung dan dapat digunakan untuk bersuci. Pendek kata, air mutlak adalah air yang tidak mengalami perubahan sifat.

Namun, jika sudah berubah aroma, warna, atau rasa, maka itu bukan lagi dinamakan air thahur (suci-menyucukan), karena sudah ada campurannya atau bercampur. Ringkasnya, air mutlak adalah air suci dan menyucikan.

Itu artinya, jika seseorang yang ingin melakukan shalat kemudian tidak berwudhu’ dengan air mutlak, maka wudhu’nya tidak sah. Terdapat beberapa macam air yang masuk dalam kategori air mutlak, yaitu air laut, air hujan, mata air, air sungai, air salju, dan air dari hasil hujan es. Dan, selama tidak ada pengaruh yang menyebabkan air berubah, air tersebut dapat digunakan untuk bersuci.

Pendapat Para Ulama


Al-Hajatu Najah al-Halbiy, dalam al-Fiqh al-Ibadat ala Mazhab al-Hanafi, (Maktabah Syamilah), jilid 1, hal. 22, menulis tentang macam-macam air;

تقسم المياه من حيث اوصافها الشرعية الى ماء طاهر مطهر غير مكروه الاستعمال: وهو الماء المطلق الذي يخالطه ما يصير به مقيدا. وهو الذي يرفع الحدث ويزيل النجس

“Secara syar’i air terbagi kepada; pertama, air yang suci menyucikan tidak makruh menggunakannya, yakni air mutlak yang bercampur dengannya menjadi sebagai kaitan. Ia (air mutlak) yang dapat menghilangkan hadas dan najis.”

Muhammad al-Arabi al-Qarwi, salah satu ulama yang beraliran Maliki mendefinisikan tentang air mutlak;

هي ما اجتمع فيه شرطان ان يكون باقيا على اصل خلقته بحيث لم يخالطه شيء كماء البحر والابار والماء المجتمع من الندى والذائب بعدما كان جامدا كالجليد وان لا يتغير لونه ولا ريحه بشيء يفارقه في الغالب من الاشياء الطاهرة او النجسة

“(Air mutlak adalah air) yang terpenuhi dua syarat; pertama, kondisi air itu masih utuh sifat asalnya, kira-kira tidak bercampur dengan sesuatu, seperti; air laut, air sumur, air yang berkumpul akibat dari kelembaban dan air yang meleleh dari sebelumnya beku misalnya es; kedua, tidak berubah warna dan baunya yang biasanya terpisah dengan air yakni dengan sesuatu dari benda-benda suci atau benda najis.” (Muhammad al-Arabi al-Qarwi, al-Khulashah al-Fiqhiyyah ala Mazhab al-Sadah al-Malikiyyah, (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Maktabah Syamilah), jilid 1, hal. 5.).

Sementara beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama-ulama Syafi’iyah tentang air mutlak. Diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ulama. Misalnya pendapat Abu Ishaq al-Syairazi dalam kitabnya, al-Muhazzab fī Fiqhi al-Syafi’i, menjelaskan bahwa air yang boleh digunakan untuk menghilangkan hadas dan najis yakni air mutlak. Lalu beliau mendefinisikannya:

وهو ما نزل من السماء او نبع من الأرض، فما نزل من السماء ماء من المطر وذوب الثلج والبرد، وما نبع من الارض ماء البحار وماء الانهار وماء الابار

“Adalah air yang jatuh dari langit atau yang keluar dari bumi; maka yang jatuh dari langit adalah hujan, hujan salju dan hujan es (hujan batu); dan yang terbit dari bumi adalah air laut, air sungai dan air sumur.” (Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syairazi Abu Ishaq, al-Muhazzab fi Fiqhi al-Syafi’i, (Maktabah Syamilah), jilid 1, hal. 3-4.).

Sementara itu, Qadhi Husain Abu Syuja’ mendefinisikannya;

ثم المياه على اربعة اقسام طاهر مطهر غير مكروه استعماله وهو الماء المطلق

“Kemudian, semua air tersebut ada empat klasifikasi; (pertama) suci-menyucikan (dan hukum memakainya) tidak makruh, itulah air mutlak.” (Qadhi Husain Abi Syuja’ dalam Abu Abdullah Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Syafi’i, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarhi alfaz al-Taqrib, (Maktabah Syamilah), jilid 1, hal. 5.).

Berbeda dengan An-Nawawi yang mendefinisikan;

ماء مطلق وهو ما يقع عليه اسم ماء بلا قيد

“Air mutlak yaitu air yang sebutan namanya tanpa perlu dikaitkan.” (An-Nawawi dalam Khathib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifat alfaz Minhaj, (Maktabah Syamilah), jilid 1, hal. 63.).

Menurut Khatib al-Sayarbaini, tergolong dalam definisi ini tiga macam air yang turun dari langit, yakni air hujan, air salju dan hujan es; dan empat macam air yang keluar dari bumi, yakni air mata air, air sumur, air sungai dan air laut; dan air yang keluar dari celah jemari tangan Rasulullah, dan ini sebaik-baik air.

Berdasarkan beberapa definisi di atas menujukkan bahwa air mutlak memiliki beberapa kriteria; Pertama, suci dan menyucikan; kedua, sebutan namanya tidak perlu dikaitkan dengan nama lain; ketiga, sebutan kata air secara mutlak tanpa perlu dikaitkan hanya pada tujuh macam air, yaitu: air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, air beku (hujan es) dan air yang keluar dari celah-celah jemari Rasulullah Saw.

Penyandaran kata-kata hujan, laut, sungai, sumur, mata air, salju, dan beku (al-bard), tidak berarti menafikan ke-mutlak-an air tersebut, karena penyandaran kata-kata ini sesuai dengan sumbernya masing-masing. Ketujuh macam air ini dapat difahami bahwa benda itu air tanpa harus dikaitkan dengan nama-nama sumbernya.

Artinya, penyandaran seperti ini disebut dengan qayd al-munfak. Berbeda dengan kata-kata, misalnya; air bunga, air kelapa, air kopi, air gula, dan lain-lain, karena keempat jenis air ini tidak akan difahami tanpa dikaitkan dengan bunga, kelapa, kopi, dan gula. Penyandaran kata pada contah-contah ini disebut dengan qayd al-lazim.

Syahdan, berkaitan dengan persoalan di atas, menurut Imam Syafi’i, yang dikatakan dengan air mutlak adalah air yang masih tetap menurut sifat asalnya. Dan status hukum air mutlak adalah suci serta bisa digunakan untuk menyucikan benda lain.

Hilangnya Kesucian Air


Mayoritas ulama mengatakan bahwa, air mutlak bisa hilang kesuciannya. Pertama, bercampur dengan benda yang tidak sulit menghindarinya dari air. Hal ini dengan dua syarat; Pertama, berubah salah satu sifatnya (bau, rasa, warna) dengan perubahan yang berat. Adapun yang berubahnya sedikit, maka tidak mengapa. Kedua, benda suci yang mengubah air tersebut bukan pada anggota bersuci.

Misalnya pada tangan ada kunyit, lalu air berubah dengan kunyit tersebut saat bersuci, maka hal ini tidak mengapa pada anggota yang ada kunyitnya. Dalam masalah bercampur ini tidak ada perbedaan antara dimasak, seperti tumbuh-tumbuhan dan kacang-kacangan, atau tidak dimasak. Adapun bercampur dengan benda yang sulit dihindari, seperti lumut, dau pepohonan, maka tidak mengeluarkan ke-tahur-an air tersebut, kecuali jika sengaja dicampakkan oleh manusia yang sehat akal.

Kedua, bercampur dengan air musta’mal. Hal ini dengan syarat: Pertama, air musta’mal itu bekas yang sudah digunakan untuk mengangkat hadats atau menghilangkan kotoran. Kedua, air musta’mal itu berada pada tempat/anggota badan yang menjadi tujuan bersuci dengannya. Maka, jika dialirkan air pada tangan seseorang yang niatnya bukan untuk bersuci, maka air itu tidak menjadi musta’mal. Ketiga, air telah berpisah dari tempat/anggota badan yang disucikan. Kelima, air tidak sampai dua kullah.

Ketiga, bercampur dengan benda cair lainnya yang tidak berbeda sifat-sifatnya dengan air tahur. Hal ini dengan syarat, benda cair itu lebih dominan dibandingkan air tahur. Misalnya air perahan yang sudah hilang bau (wangi)nya, seperti air bunga mawar, air rihan, air ni’na’ (teh Arab). Kesemua hal-hal ini dapat menghilangkan ke-tahur-an air apabila bercampur dengannya.

Bahwa, air itu jika ia tetap pada sifat aslinya dan tidak tercampur sesuatu apapun, maka menurut ijma’ ulama, air tersebut tetap dinilai suci dan menyucika. Namun, jika salah satu sifatnya berubah dengan bercampur materi yang suci, seperti daun pohon, sabun, garam, lumut dan lainnya, yang merupakan materi yang suci dan benda yang mencampuri air itu tidak lebih banyak darinya, maka menurut sebagian ulama, air semacam ini perlu diperinci statusnya. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال