Oksidentalisme Islam Sebagai Displin Ilmu Ilmiah


Penulis: Nur Syafni Pradita Zuda*

Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Edward Said bahwa orientalisme merupakan sebuah kajian yang membahas segala sesuatu tentang ketimuran yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Tidak hanya berhenti untuk mempelajari saja, upaya yang dilakukan oleh para orientalis dalam beberapa hal dimaksudkan untuk melakukan penakhlukkan terhadap Timur yang dimanifestasikan salah satunya dalam pemberian stereotip yang buruk.

Kajian orientalisme menyasar pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia di Timur, baik dari segi budaya, sosial, ekonomi, politik, filsafat, pendidikan, agama, gender, dan lain sebagainya. Barat dalam kajian ini menggunakan kacamata superioritasnya untuk melihat Timur yang rendah dan inferior dibandingkan dirinya.

Akan tetapi, para akademisi dan sarjana Timur sendiri tidak tinggal diam dalam memandang dan menghadapi kajan para orientalis tersebut. Para sarjana dan akademisi Timur membuat suatu kajian yang disebut sebagai oksidentalisme, yang dapat diartikan sebagai sebuah studi yang membahas tentang Barat yang kemudian di anggap sebagai studi lawan dari orientalisme.

Meskipun secara penamaannya, oksidentalisme adalah lawan dari orientalisme, akan tetapi hal tersebut tidak dimaksudkan untuk melakukan balas dendam terhadap kajian-kajian orientalisme sebelumnya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada karya-karya para oksidentalis yang tidak terlalu tampak nuansa untuk membalas dendam dan yang sangat terlihat justru nuansa ilmiah yang murni dan dapat membawa peradaban manusia untuk saling memahami adanya perbedaan antara Timur dan Barat.

Oksidentalisme diciptakan sebagai disiplin ilmu untuk mengkaji segala sesuatu mengenai Barat secara rasional dan objektif serta mengklarifikasi kesalahpahaman dengan bias atau kepentingan para orientalis dalam mengkaji Timur. Disamping itu, disiplin ilmu oksidentalisme juga bertujuan untuk mengurangi rasa inferior peradaban Timur dengan mengurangi kecenderungan dan ketergantungan kepada Barat sebagai pusat serta menolak adanya hegemoni dan dominasi Barat dalam berbagai aspek yang dinilai dapat merusak peradaban manusia.

Oksidentalisme pada awal kemunculannya di gagas oleh Mukti Ali dalam buku “Ilmu Perbandingan Agama”. Dalam bukunya tersebut, Mukti Ali memberikan gagasan bahwa sangat perlu untuk mengembangkan oksidentalisme sebagai upaya untuk berdialog dengan peradaban Barat. Dari penelusuran atas karya-karya di Timur, di para akademisi menemukan bahwa Mukti Ali-lah yang merupakan pencetus dari adanya oksidentalisme, bahkan lebih awal dari Edward Said.

Setelah Mukti Ali, oksidentalisme menjadi populer di kalangan internasional pada saat kajian tersebut ada pada Hassan Hanafi. Muqaddimah fi ‘ilm Al-Istighrab merupakan salah satu karya terkenal dari Hassan Hanafi tentang oksidentalisme. Karya tersebut merupakan sebuah kerangka pemikirannya dari proyek kedua pada agenda besarnya, yaitu turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan).

Dalam karya tersebut, Hassan Hanafi menulis tentang kesadaran Eropa dengan mengkaji aspek historis dari dialektika antara Timur dan Barat yang dimulai dari hubungan antara Yunani- Romawi dan Kristen-Yahudi. Hassan Hanafi memberikan analisis terhadap kesadaran Eropa yang dibaginya menjadi tiga proses secara sistematis dan berkitan, yaitu pembentukan kesadaran Eropa (taakwin), struktur kesadaran Eropa (albunyan), dan nasib kesadaran Eropa (masyir).

Dari Hassan Hanafi-lah, oksidentalisme dapat dikatakan mulai menjadi suatu disiplin ilmu dalam ranah akademisi di Timur, terutama Islam. Oleh karena oksidentalisme sendiri mulai populer dalam bidang keilmuan kontemporer, kajian-kajian tentang oksidentalisme mulai dilanjutkan oleh tokoh-tokoh lainnya.

Terdapat beberapa oksidentalis lain seperti Burhanuddin Daya dengan oksidentalisme berkearifannya, Mohamad Tavakoli-Targhi dengan oksidentalisme Persianya, Adian Husaini dengan karyanya yang berjudul “Wajah Peradaban Barat”, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut memberi kontribusi yang sangat besar atas berdirinya perisai oksidentalisme sebagai upaya penolakan terhadap kajian orientalisme.

Akan tetapi, meskipun oksidentalisme sendiri telah menjadi displin ilmu tersendiri, sepertinya masih terdapat sebuah kekurangan yang mendasar. Kekurangan tersebut terletak pada keterbatasan metodologi akademisi Timur untuk melakukan pengkajian terhadap Barat. Meskipun kajian tersebut dilakukan secara kritis, objektif, dan rasional, akan tetapi metodologi yang digunakan adalah metodologi Barat yang sudah ada sebelum mereka. Misalnya saja Hassan Hanafi dengan fenomenologi dari Edmund Husserl dan dialektika-historis dari Karl Marx.

Di samping itu, meskipun kajian oksidentalisme telah dipopulerkan, dalam perkembangannya masih terdapat kurangnya peminat dari kalangan akademisi untuk mempelajari dan mengembangkannya. Betapapun sebenarnya masih banyak para oksidentalis yang berasal dari agama, ras, dan suku lainnya, seperti Xiaomei Chen dari Cina, Couze Venn dari Afrika, dan lain sebagainya. Akan tetapi, karya-karya mereka kurang dikenali, diminati, bahkan dikembangkan.

Dengan memperhatikan proyek dari beberapa tokoh di atas, oksidentalisme dapat dikatakan bukan sebagai upaya untuk melawan Barat. Oksidentalisme adalah upaya untuk mencapai keseimbangan peradaban yang dilakukan secara ilmiah, tanpa adanya melakukan suatu perlawanan. Betapapun jika perbedaan pendapat itu muncul, maka tawaran dari oksidentalisme adalah mengutamakan sebuah klarifikasi atau dialog yang bersifat ilmiah (tabayun).

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال