Wanita Asia dalam Imajinasi Digital Dunia Periklanan



Penulis: Nuril Karomatillah Arifah*

Pada era globalisasi sekarang, kita sudah tidak asing lagi melihat keberadaan wanita asia sebagai objek dalam dunia periklanan. Hal seperti ini bukan merupakan suatu hal yang baru bahwa perempuan dan tubuhnya sering ditampilkan hanya sebagai pemanis iklan. Selain itu, perempuan asia juga sebagai objek pembawa pesan iklan dan juga dikenal dengan ciri-ciri eksotis.

Eksotis memperluas makna batinnya pada objek "Wanita Asia" sebagai wanita yang pendiam yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya tradisional wanita dalam pengabdian kepada pria. Fantasi jenis ini hadir di berbagai media menegaskan keberadaan representasi digital tentang apa yang “seharusnya” menjadi perempuan Asia.

Perempuan Asia sebagai representasi visual, sebagai imajinasi digital dan sebagai obyek yang mengandung polemik panjang tentang citra laki-laki atau maskulin. Dalam artian melihat seorang perempuan secara luas merupakan perdebatan yang hadir dalam wacana pornografi.

Kemudian apakah ini artinya bahwa iklan merupakan alat kontruksi sosial yang hanya memanfaatkan perempuan sebagai komoditas dan objektifikasi belaka atau hanya ingin memberdayakan perempuan?

Jika melihat pada tahun 1963, terbitnya buku Feminine Mystique karya Feminis Betty Friedan mengungkapkan:

"Based on old prejudices disguised in new pseudo-scientific dogmas, (the feminine mystique) defines women solely in sexual terms, as man's wife, mother, love object, dishwasher and general server of physical needs, and never in human terms, as a person herself. It glorifies woman's only purpose as the fulfillment of her "femininity" through sexual passivity, loving service of husband and children, and dependence on man for all decisions in the world outside the home: "man's world". (1970: 268).

Pernyataan Friedan tersebut memperjelas bahwa iklan adalah penyebab ketidakbahagiaan perempuan, karena diyakini terlalu banyak mengeksploitasi perempuan. Dugaannya, industri periklanan sengaja memanipulasi perempuan agar tetap menjadi "konsumen yang baik" dari ribuan produk dan jasa di industri makanan, kecantikan, dan fashion.

Seiring berjalannya waktu, para pengiklan mulai merasakan makin banyaknya ancaman atau perlawanan yang dilakukan oleh para feminis. Peran perempuan sebagai model, bintang iklan atau pendukung seringkali mengarah pada prasangka gender dan pada saat yang sama memperkuat stereotip patriarki.

Industri kecantikan dan fashion yang terhubung dengan budaya kecantikan mulai mengkhawatirkan penurunan penjualan kosmetik, parfum, dan produk perawatan rambut. Terlebih lagi di masyarakat, menjadi cantik dan modis dianggap sebagai suatu keharusan, karena dengan cantik ia dapat menjadikan hal tersebut sebagai alat tukar. Menjadi cantik dan menarik secara visual membuat wanita lebih mudah memasuki pasar kerja.

Citra visual wanita Asia juga hadir di berbagai media Barat, termasuk iklan. Definisi ini terkait dengan sejarah panjang industrialisasi diEropa/Barat dalam hal perluasan perdagangan untuk mempromosikan kapitalisme. Orientalisme yang diungkapkan Said jelas menunjukkan bagaimana kepentingan Barat disalurkan melalui ekspansi ekonomi kapitalisme dan kolonialisme, serta menjadi corong pembicara yang paling canggih, yaitu periklanan.

Sebagai alat pemasaran untuk industri, periklanan bertanggung jawab atas berbagai kecenderungane ksotis terhadap "wanita Asia". Aktivis feminis Jenn mengungkap berbagai tindakan rasisme dalam iklan Airfrance dan penampilan mengandung oriental penyanyi top Katty Perry (Jenn, 17 April 2014). Bukan kebetulan kalau Jenn menulis bahwa iklan Airfrance bercorak oriental, menjadikan wanita Asia sebagai obyek belaka.

Misalnya, iklan Airfrance menggambarkan seorang wanita dengan riasan oriental (putih, tipis, alis panjang) mengenakan kepala singa. Model ini menyinggung beberapa stereotip wanita Asia di atas. Misterius, "alien" berkulit kuning, semua fitur ini membuat wanita Asia menjadi eksotis. Di sisi lain, penampilan Katy Perry dalam pertunjukan music dengan kostum geisha (seni tradisional terbaik Jepang) merupakan bentuk teatrikal 'identitas Asia' di panggung imajinatif milik Barat.

Pasangan kata untuk "wanita Asia" seperti "seks, spa, pernikahan, kencan, porno" merupakan kebenaran digital tentang aktivitas pengguna internet saat mencari informasi atau pada perspektif ekonomi awal - konsumsi gambar digital oleh wanita Asia. Teknologi media bisa saja menghapus stereotip tentang identitas perempuan Asia, malah memproduksi, merayakan, dan mempromosikan identitas eksotik.

Kecenderungan melihat perempuan Asia hanya sebagai tubuh rasis dan imajinasi aneh tumbuh subur di dunia digital. Masalahnya, bentuk-bentuk baru kolonialisme di dunia postmodern secara ekonomi menyalahgunakan dan memakan citra digital perempuan Asia.

Wanita Asia dalam Imajinasi Digital menemukannya pada tahap imajinasi Digital Western memiliki kecenderungan ke arah Orientalisme dalam bentuk eksotisme. wanita yang sulit Peran Asia sebagai perempuan Asia menjadi bukti adanya monopoli representasi perempuan Asia. Faktanya, banyak peran wanita Asia dimainkan oleh aktor non-Asia atau kulit putih. 

*) Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال