Berkurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal, Bolehkah?


Penulis: Miftakhu Alfi Sa'idin*

Berkurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal, Bolehkah?

Kurban merupakan ibadah yang hanya dilakukan ketika momentum Idul Adha. Pada dasarnya, kurban ditujukan kepada mereka yang beragama Islam, baligh (dewasa), berakal sehat, hidup (pada saat hari raya Idul Adha), merdeka (bukan budak), dan mempunyai kelapangan harta. Setiap tahunnya, ibadah kurban disyariatkan untuk dilakukan sejak selepas salat Id (10 Dzulhijah), kemudian dilanjutkan pada tiga hari tasyrik (11-13 Dzulhijah).

Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana jika kurban ini ditujukan kepada orang yang sudah meninggal? Mari kita ulas dengan perspektif.

Menurut Muhammadiyah

Berdasarkan keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, bahwa kurban yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal itu tidak masyru’ atau tidak diperbolehkan. Fatwa ini didasarkan pada QS. An-Najm ayat 38-39:

اَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۙ ٣٨ وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ٣٩

Artinya:

“(Dalam lembaran-lembaran itu terdapat ketetapan) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm [53]: 38-39)

Berbeda halnya dengan orang yang sudah meninggal tersebut meninggalkan wasiat atau nadzar untuk menunaikan kurban. Maka, ahli waris wajib untuk menunaikan kurban orang yang sudah meninggal itu dengan menggunakan harta tinggalannya. Sebab, nadzar yang belum ditunaikan, hukumnya sama dengan hutang yang belum dibayar. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Basyr tentang nadzar.

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي بِشْرٍ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّ أُخْتِي قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاقْضِ اللَّهَ فَهُوَ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ

Artinya:

“Dikisahkan Adam, Dikisahkan Syu’bah, dari Abu Basyr. Dia mengatakan, “Saya mendengar Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA berkata, “Seorang laki-laki mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berkata, "Saudariku bernadzar untuk menunaikan haji, namun keburu meninggal." Maka Nabi Muhammad SAW bertanya, "Kalaulah dia mempunyai utang, apakah kamu berkewajiban melunasinya?" Laki-laki itu menjawab, "Iya." Nabi Muhammad SAW melanjutkan, "Maka lunasilah (utang) kepada Allah, karena ia lebih berhak untuk dipenuhi." (H.R Bukhari) 

Menurut NU

Di kalangan NU sendiri, perihal kurban yang ditujukan untuk orang yang sudah meninggal. Ada dua pendapat tentang boleh atau tidaknya kurban yang ditujukan untuk orang yang sudah meninggal. Kedua pendapat ini juga mempunyai dasarnya masing-masing.

Pendapat pertama, kurban tidak diperbolehkan untuk ditujukan kepada orang yang sudah meninggal, kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat. Pendapat ini dinukil pada pendapat Imam Nawawi dalam Kitab Minhaj at-Thalibin.

وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا

Artinya:

“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cetakan ke-1, 1425 H/2005 M, halaman: 321).

Di samping itu, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat bahwa kurban untuk orang yang sudah meninggal tidak diperbolehkan.

(وَلَا) تَجُوزُ وَلَا تَقَعُ أُضْحِيَّةٌ (عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا)

Artinya:

“Tidak boleh dan tidak sah berkurban atas nama orang meninggal apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, cetakan ke IX/halaman 368).

Pendapat kedua, menyatakan bahwa kurban yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal, hukumnya diperbolehkan, sekalipun mereka semasa hidupnya tidak pernah berwasiat maupun bernadzar.

Alasan dari kebolehan itu karena kurban termasuk dalam sedekah, sedangkan sedekah yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya sah dan dapat mendatangkan kebaikan baginya. Bahkan, pahalanya pun dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal itu.

Pendapat ini didasarkan pada pendapat Syekh Abu Hasan al-Abbadi dalam kitab karangan Imam Nawawi, kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.

لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

Artinya:

“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama.” (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz 8, halaman: 406)

Lebih lanjut, Imam Rafi’i juga berpendapat tentang kebolehan kurban untuk orang yang sudah meninggal. Pendapat ini tertulis dalam kitab Hasyiyah al-Qulyubi ‘ala al-Mahalli karangan Imam al-Qulyubi.

وَقَالَ الرَّافِعِيُّ فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ

Artinya:

“Imam ar-Rafi’i berpendapat: hendaklah (kurban untuk orang meninggal) tetap sah untuknya meskipun ia tidak berwasiat akan hal tersebut. Karena pada dasarnya kurban merupakan bagian dari sedekah.” (Al-Qulyubi, Hasyiah al-Qulyubi ‘ala Al-Mahalli, cetakan ke IV/halaman 256).

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال