Relevansi Pemikiran Muhammad Iqbal Terhadap Pendidikan


Penulis : Eka Yuniah Fatmawati*

Muhammad Iqbal bin Muhammad Nur bin Muhammad Rafiq atau yang lebih dikenal dengan Muhammad Iqbal dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1873 di kota Sialkot, Punjab. 

Iqbal berada di bawah bimbingan Maulana Mir Hasan sebagai guru spiritual dan merampungkan studinya pada tahun 1895. Iqbal memperoleh gelar MA (Master of Art) pada tahun 1899 di Government Collage. 

Pada saat itulah perjumpaan iqbal dengan seorang orientalis Inggris yang terkenal, Sir Thomas Arnold dan seorang momentum ini menjadi titik penting bagi perjalanan intelektual Muhammad Iqbal selanjutnya.

Salah satu konsep utama dalam pemikiran Iqbal adalah “Khudi” atau “ Shelfhood”. Iqbal berpendapat bahwa pendidikan seharusnya bertujuan untuk mengembangkan individu secara holistik, termasuk potensi spiritual, intelektual, dan moral. 

Baginya, pendidikan bukanlah sekadar akumulasi pengetahuan, tetapi proses transformasi diri yang memungkinkan seseorang untuk mencapai kesadaran diri yang lebih tinggi. 

Dalam konteks ini, Iqbal menekankan pentingnya membangun kepercayaan diri, keberanian berpikir independen, dan pengembangan karakter yang kuat melalui pendidikan.

Selain itu, Iqbal juga mengkritik pendekatan pendidikan yang terlalu teoritis dan tidak relevan dengan kehidupan nyata. Baginya, pendidikan seharusnya mengajarkan keterampilan praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Iqbal menyadari bahwa dunia terus berkembang dengan cepat, dan pendidikan harus mengikuti perkembangan tersebut. Oleh karena itu, ia mendorong pendidikan yang berfokus pada keterampilan kritis, kreativitas, dan inovasi, sehingga individu dapat beradaptasi dengan perubahan dan menjadi kontributor yang aktif dalam masyarakat. 

Biografi Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal bin Muhammad Nur bin Muhammad Rafiq atau lebih dikenal dengan nama Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 22 Februari 1873 di kota Punjabi Sialkot. Iqbal dibimbing oleh Maulana Mir Hasan sebagai guru spiritual dan lulus pada tahun 1895. 

Iqbal menerima gelar MA (Master of Arts) dari Government College pada tahun 1899. Pada saat itulah Iqbal bertemu dengan orientalis terkenal Inggris Sir Thomas Arnold, dan dorongan ini menjadi poin penting dalam perjalanan intelektual Muhammad Iqbal ke depan.

Pada tahun 1905 Iqbal melanjutkan studinya di Tirnity College dan Universitas Cambridge, kemudian melanjutkan ke Universitas Munich di Jerman. Iqbal memiliki pengetahuan luas tentang pemikiran Eropa, mulai dari teologi Aquinas dan Hegel hingga filsafat Neitzsche dan Wilfred Cantwell Smith. 

Muhammad Iqbal dikenal sebagai seorang filosof, penyair dan penulis semasa hidupnya. Ada juga yang mengenal Iqbal sebagai ahli hukum, politisi, ahli hukum, pemikir, ahli budaya dan ahli pendidikan Islam. 

Iqbal juga merupakan penggagas berdirinya Republik Islam Pakistan. Muhammad Iqbal menjadi pribadi yang unik karena pemahamannya terhadap berbagai disiplin ilmu dan kritiknya terhadap pendidikan Barat yang menguasai kegersangan spiritualitas manusia, meskipun pada dasarnya Iqbal sendiri dididik dalam rahim intelektual sistem pendidikan Barat. 

Muhammad Iqbal banyak melahirkan buah pemikiran dalam bentuk buku yang diterbitkan di berbagai negara dan dalam berbagai bahasa seperti Urdu, Farsi dan Inggris. 

Karya-karya Muhammad Iqbal antara lain Javid Nemah, Asrar Al-Khuldi, Baqiyah Iqbal, Iqbal Namah, Perkembangan Metafisika, Rumuz I Bikhuldi, Bal I Jibril dan yang paling terkenal adalah karyanya Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam. meninggal 19 April 1938.

Pendidikan Sebagai Pembentukan Karakter

Pendidikan dan peradaban manusia adalah dua substansi yang tidak dapat dipisahkan. Tujuan pendidikan tidak lain adalah terciptanya manusia yang sejati dan ideal. Sehingga pendidikan yang baik menghubungkan dualisme dunia dan akhirat yang sebelumnya kontradiktif. 

Melalui konsep keselarasan jasmani dan rohani, Iqbal berpendapat bahwa sistem pendidikan cocok tidak hanya sebagai bentuk penyampaian ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk menanamkan nilai religiusitas, sehingga dapat ditemukan solusi dari kekeringan rohani sistem pendidikan Barat. 

Konsep-konsep yang berkaitan dengan hakikat manusia menjadi sentral pandangan filosofis Muhammad Iqbal, khususnya dalam kaitannya dengan pendidikan. Sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, manusia adalah makhluk yang dinamis, mandiri dan bebas. 

Seorang filosof besar, Iqbal percaya bahwa ilmu adalah sintesa dari apapun yang bisa menghasilkan emas berharga dari apapun yang disentuhnya. Menurut Iqbal, puncak ilmu yang hakiki adalah perbuatan, sehingga tujuan pendidikan dan kemaslahatan bagi manusia dan lingkungan sosial hanya tercapai bila akal diimbangi dengan perbuatan nyata. 

Sebagai Khalifah Tuhan, bercermin pada konsep kebebasan individu manusia menekankan bahwa kebebasan berkaitan dengan pendidikan akhlak. 

Bahwa moralitas atau karakter seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh adaptasi pasif lingkungan terhadap individu, tetapi pemikiran, pandangan pribadi, dan keterampilan analitis berperan dalam pembentukan kepribadian yang ideal, yang mampu membedakan yang baik dari yang jahat. 

Rekonstruksi pendidikan Islam dari pemikiran brilian Muhammad Iqbal menawarkan ruang khusus pendidikan karakter bagi guru dan siswa. Konsep pendidikan Islam Muhammad Iqbal terbagi menjadi dua bagian. Pendidikan karakter dan pendidikan kreatif.

Visi Iqbal Terhadap Pendidikan

Kekalahan Baghdad oleh Hulago Khan, pusat Islam saat itu, pada tahun 1258 menyebabkan kemunduran umat Islam di semua bidang kehidupan, baik itu ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. 

Setelah itu, pendidikan Islam berskala internasional tidak bisa lagi menjadi pilihan bagi siswa yang ingin memperdalam ilmunya. Keadaan ini terus berlanjut sehingga pendidikan Islam terbelakang. 

Pendidikan Islam tidak lagi menawarkan masa depan yang cerah. Al-Attas menekankan tantangan besar zaman sekarang, ilmu yang telah kehilangan tujuannya. 

Menurutnya, "sains" yang ada saat ini adalah hasil dari skeptisisme, yang menempatkan keraguan dan spekulasi pada tingkat yang sama dengan metodologi "ilmiah", menjadikannya alat epistemologis yang valid dalam pencarian kebenaran. Diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psikologis budaya. 

Dalam sistem keilmuan Islam tidak ada dikotomi semua sistem ilmu pengetahuan, justru pembagian ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu non agama sebenarnya bukan hal yang baru. 

Islam telah lama memiliki tradisi dikotomi ini, karena Al Ghazali merujuk pada dua jenis ilmu: ilm syar'iyah dan ghairu syar'iyah, namun dikotomi ini menimbulkan banyak masalah dalam sistem pendidikan Islam melalui imperialisme dalam sistem pendidikan Barat hanya memperkenalkan Islam. 

Sejak saat itu, terjadi dikotomi yang sangat ketat antara ilmu umum (yang nantinya bisa disebut ilmu sekuler) dan ilmu agama. Perbedaan ini semakin hari semakin meningkat dan berdampak tidak menyenangkan bagi kehidupan dan kesejahteraan esensi kemanusiaan. 

Cara berpikir yang sepenuhnya dikotomis ini mengasingkan manusia dari nilai-nilai spiritual-moral, memiliki sedikit pemahaman tentang etika sosial, mengasingkan dirinya dari dirinya sendiri, dari keluarga dan masyarakatnya, dari alam dan dari keragaman alam yang menopang kehidupan, dan mengasingkannya dari denyut nadi kehidupan. lingkungan masyarakat-lingkungan budaya. 

Singkatnya, proses dehumanisasi besar-besaran terjadi di tingkat kehidupan ilmiah, agama, sosial-politik, dan sosial-ekonomi. Mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan Islam harus menyadari ancaman ini. 

Arah pendidikan Islam yang sejak semula menekankan tidak hanya mengisi otak, tetapi juga mengisi jiwa, membangun akhlak dan ketaatan dalam beribadah, tidak dapat diubah. 

Selain itu, perlu diperhatikan upaya untuk menghasilkan manusia yang kreatif, inovatif, produktif, dan mandiri, sehingga memiliki kekuatan untuk menghadapi tantangan tanpa mudah hegemonik. Visi pendidikan Islam harus mengintegrasikan berbagai ilmu berbagai kesempatan yang diberikan Tuhan, termasuk pengelolaan sumber daya alam. 

Penerapan Pemikiran Iqbal dalam Konteks Pendidikan Modern

Usia milenial adalah usia dimana informasi tersedia secara luas. Menurut Mastuhu, gambaran Era Milenium adalah kehidupan bergerak sangat cepat, lebih cepat, lebih rumit dan seringkali mengagetkan karena terjadi di luar nalar dan perhitungan kehidupan. Manusia dikenal sebagai masyarakat informasi. 

Menurut Renald Kasal, karakterisasi mahasiswa pada pergantian milenium adalah setiap generasi memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, bagi generasi milenial perlu adanya apresiasi atau pengakuan. Generasi milenial dekat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). 

Salah satunya adalah gadget, didistribusikan dan dimiliki oleh semua umur (dari 3 tahun), yang kehadirannya memudahkan komunikasi jarak jauh, mengunduh video, menggunakan Internet, dll. 

Anak usia sekolah dasar sudah mengenal benda tersebut dan memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Keadaan seperti itu tentu mempengaruhi kehidupan seluruh pribadi, baik dan buruk. 

Mereka yang tidak bisa menghadapi perubahan yang ada mudah terpengaruh oleh efek negatifnya. Jika seorang siswa tidak mendapat bantuan dan bimbingan dari guru, orang tua dan masyarakat selama fase perkembangan fisik dan mental, mereka berada dalam fase rentan yang mudah dipengaruhi secara negatif oleh pihak luar, menyebabkan mereka lupa diri identitas mereka sendiri dan mengikuti cara hidup budaya yang berbeda dari mereka sendiri. 

Pemikiran Muhammad Iqbal tentang pembentukan karakter siswa di era milenial adalah:

Pembentukan karakter berdasarkan contoh. Sebuah metode dimana siswa dapat mengembangkan sifat-sifat karakter yang baik dan mendekatkannya dengan mereka adalah keteladanan. 

Keteladanan memberikan gambaran nyata kepada siswa bagaimana berakhlak baik sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Keteladanan yang relevan adalah keteladanan guru dan orang tua (orang terdekat) dan karakter yang menginspirasi siswa untuk mencita-citakan masa depan berbasis moral. 

Kedekatan guru dengan siswa di sekolah dapat membantu siswa mengolah emosinya, melatih pikirannya dan berlatih. Pada dasarnya, anak-anak memiliki keterampilan meniru dalam perilaku, tindakan, dan pilihan gaya hidup. Seorang siswa yang ingin meniru mengasumsikan sikap penerimaan dan kekaguman. 

Pengembangan Potensi Diri Siswa 

Kegiatan pendidikan sekolah bertujuan untuk mempromosikan otonomi siswa. Melalui pengembangan diri siswa di sekolah yang mendapat dukungan langsung dari guru, siswa dapat memantapkan kecakapan hidup dan kecakapan pribadinya untuk kehidupan di masa sekarang. 

Di sekitar kita banyak contoh orang yang status sosialnya meningkat karena pendidikan yang diterimanya.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Program Studi Akidah dan Filsafat Islam

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال