Oksidentalisme dalam Pemikiran Hasan Hanafi


Penulis : Muhammad Ardiansyah*

Kajian terhadap orientalisme dan oksidentalisme, banyak kompleksitas hubungan antara Barat dan Timur dalam konteks akademis, serta tantangan dan problematika yang dihadapi manusia dalam peradaban Barat saat ini. 

Terdapat pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas mengenai hegemoni dan dominasi keilmuan sekuler Barat yang dianggapnya mengarah pada kehancuran umat manusia. 

Oksidentalisme diperkenalkan sebagai upaya untuk mengkaji Barat melalui perspektif Timur. Meskipun pemikiran Islam modern mengagumi aspek-aspek Barat seperti menganggapnya sebagai tipe modernisasi dalam aspek industri, pendidikan, sistem parlemen, perundangan-undangan dan pembangunan. 

Namun ia juga mengkritik Barat sebagai peradaban dunia yang tidak lepas dari dimensi waktu dan tidak harus diadopsi bangsa lain seperti yang ditunjukkan Jamaluddin Al Afghani dan Iqbal. 

Kemandirian atau semi pemikiran Islam modern juga tidak kehilangan karakteristiknya saat berinteraksi dengan Barat. 

Diantara intelektual Muslim yang kritis melihat kelemahan orientalis dimaksud adalah Hassan Hanafi, beliau adalah pembaharu yang sangat produktif menuliskan pemikiran-pemikirannya yang segar dan cemerlang. Tanggapan dan kritik terhadap Barat yang dilontarkan umat Islam cukup beragam. 

Ada yang mengkritik dan menghujat dengan marah, ada yang berusaha melihat secara kritis, objektif dan apresiatif dan ada pula yang bernada simpati dan penuh pujian serta kekaguman, tetapi juga mengkritiknya dan mempertahankan karakteristik kemandirian pemikiran Islam dalam berinteraksi dengan Barat. 

Tanggapan dan kritik umat Islam terhadap Barat juga beragam, dari yang marah hingga yang kritis, objektif, apresiatif, simpati, dan penuh pujian. 

Definisi Oksidentalisme Secara Singkat

Oksidentalisme dalam "The World University Encyclopedia" berasal dari kata "occident" yang berarti Barat secara etimologi dan geografis. Istilah ini merujuk pada paham atau aliran yang terkait dengan dunia Barat, termasuk budaya, ilmu pengetahuan, dan aspek lainnya. 

A. Mukti Ali mengartikan oksidentalisme sebagai “teori dan ilmu tentang agama, kebudayaan, dan peradaban Barat”. 

Hanafi menjelaskan bahwa oksidentalisme merupakan kebalikan dari orientalisme, di mana objek kajian orientalisme adalah Timur dan lebih khusus dalam konteks Islam, sedangkan dalam oksidentalisme, objek kajiannya adalah Barat. 

Ini menunjukkan pembalikan paradigma subjek-objek dalam orientalisme, di mana Timur menjadi subjek dan Barat menjadi objek.

Sebab Munculnya Oksidentalisme

Pada abad ke-17 hingga ke-18, dunia Islam mengalami kemunduran sementara dunia Barat mencapai prestasi dalam bidang sains dan teknologi. 

Islam berusaha mengejar ketertinggalan dengan mempelajari kemajuan Barat, dengan mengirim delegasi dan pelajar untuk belajar di Barat. Namun, meski sudah dua abad berguru kepada Barat, kemajuan yang diharapkan belum tercapai. 

Studi tentang pemikiran dan filsafat Barat masih belum matang dan belum menemukan esensi sejatinya. Kajian tersebut masih sarat dengan bias dan subjektivitas, dan cenderung menjadi promosi tanpa kritisisme terhadap peradaban lain.

Dalam kondisi seperti itu, para pemikir Islam tergerak untuk melakukan kajian kritis terhadap kebaratan. Awalnya, kajian ini ditujukan kepada orientalisme, di mana diketahui bahwa kajian keIslaman yang dilakukan oleh Barat dipengaruhi oleh motivasi misionaris Kristen dan politik. 

Namun, setelah penelitian ulang terhadap orientalisme, kajian tersebut tidak lagi menarik perhatian. Dampaknya, para pengkaji Timur merasa tidak senang disebut orientalis dan lebih suka disebut dengan sebutan lain seperti egyptolog atau Islamolog.

Oksidentalisme merupakan ilmu masa depan yang berusaha mengubah arah pembelajaran kontemporer dunia Arab-Islam terhadap Barat. 

Pemikiran Hanafi dalam oksidentalisme didasarkan pada beberapa hal, antara lain: (1) Ketidakseimbangan hubungan antara Barat dan Timur, (2) Selama 200 tahun, umat Islam mengalami keterbelakangan dan selalu mengikuti Barat secara taklid, (3) Transformasi pemikiran dari Barat ke dunia Islam selama ini hanya terjadi melalui penerjemahan karya-karya Barat. 

Oksidentalisme dibangun bukan untuk menguasai, tetapi untuk mencapai kebebasan dan posisi setara antara Barat dan Timur.

Pemikiran Hasan Hanafi Tentang Oksidentalisme

Sebagai upaya revitalisasi khazanah pengetahuan ke-Islaman dalam upaya revitalisasi khazanah Islam klasik, Hassan Hanafi mengidentifikasi tiga pendekatan yang dapat diambil. 

Pertama, pendekatan kaum tradisional yang meyakini bahwa khazanah lama memberikan solusi bagi semua persoalan dalam setiap zaman, baik masa lalu, masa kini, maupun masa depan. 

Kedua, pendekatan yang berhubungan dengan upaya pembaharuan yang digerakkan oleh kaum modernis. Mereka berusaha membangun bangunan baru yang dianggap lebih bernilai selain bangunan lama yang dianggap kurang memiliki nilai. 

Ketiga, pendekatan yang menggabungkan tradisi dan pembaharuan, dengan tujuan mengidentifikasi nilai-nilai relevan dari keduanya dalam mencari solusi yang sesuai dengan perubahan zaman.

Menurut Hassan Hanafi, terdapat dua cara untuk menafsirkan kembali khazanah Islam klasik. Pertama, melalui revolusi bahasa atau linguistik, di mana bahasa merupakan alat untuk mengekspresikan ide-ide dan perlu direformasi agar tetap berfungsi sebagai media ekspresi dan komunikasi. 

Reformasi ini dapat terjadi secara otomatis ketika kesadaran berubah dari bahasa lama ke makna dasarnya, dan kemudian berupaya untuk mengekspresikan kembali makna dasar tersebut menggunakan bahasa yang sedang berkembang. 

Dengan demikian, makna yang dipegang tetap tradisional, sementara bahasanya telah direformasi. Sebagai contoh, istilah "Islam" yang umumnya diartikan sebagai sebuah agama tertentu dapat diganti dengan "pembebasan" sebagaimana disimbolkan dalam syahadat.

Asumsi dasar dari pandangan teologi seperti ini adalah bahwa Islam, menurut Hassan Hanafi, merupakan sebuah protes, oposisi, dan revolusi. 

Islam memiliki makna ganda, di mana jika digunakan untuk mempertahankan status quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai ketaatan. Namun, jika digunakan untuk memulai perubahan dan melawan status quo, Islam harus ditafsirkan sebagai perlawanan.

Kedua, untuk memperbaharui khazanah klasik adalah dengan mengamati objek kajian dari ilmu-ilmu keislaman tradisional dalam konteks latar belakang kemunculannya, seperti budaya dan kondisi lingkungan tertentu. 

Hal ini mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu tersebut, termasuk esensi, metode, hasil, dan bahasa yang digunakan, sehingga disiplin keilmuan tersebut tidaklah bersifat absolut dan dapat berubah. 

Hassan Hanafi memberikan contoh pada ilmu teologi (ilmu kalam), di mana pendekatan tradisional mendefinisikan objek kajian sebagai keesaan Tuhan. Namun, menurut Hassan Hanafi, objek tersebut seharusnya digantikan dengan manusia, yaitu kesatuan manusia. 

Pergantian ini akan mengarah pada pengakuan persamaan manusia, dan pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa penafsiran dengan nuansa transformatif adalah hasil praktik metodologi ini.

Oksidentalisme Sikap Terhadap Tradisi Barat

Dalam budaya kita, kebudayaan Barat menjadi fenomena menarik perhatian. Ilmuwan dianggap sebagai orang yang menguasai tradisi Barat, sementara ilmu perpustakaan dianggap sebagai informasi yang berasal dari Barat. 

Namun, banyak pemikir, mazhab, dan teori Barat yang tidak relevan dengan realitas kita, tidak berdasarkan pada tradisi lama, dan bukan produk dari realitas kekinian kita. 

Terdapat banyak alternatif yang bertentangan dalam teori pemikiran, mazhab, dan informasi, tetapi belum ada gagasan yang dapat menyatukan alternatif-alternatif tersebut. 

Oleh karena itu, diperlukan revitalisasi ilmu pengetahuan dengan pendekatan yang dapat menyatukan berbagai perspektif dan menentukan fokus yang relevan.

Pemikiran utuh yang dimaksud memiliki dua sisi, yaitu sisi penolakan dan penerimaan. Dengan mengambil sikap tertentu, dapat dilakukan revitalisasi ilmu pengetahuan dan menghubungkannya dengan kesadaran pemikir dan mazhab utama dalam kebudayaan nasional. 

Melalui pemikiran yang jelas dan didukung oleh informasi, meskipun terbatas, kita dapat menciptakan kebudayaan dan membangun peradaban seperti dalam tradisi lama. Dalam konteks Islam, diperlukan rekonstruksi tradisi kebudayaan Barat dengan fokus pada pembebasan dan bukan pada superioritas Barat.

Oksidentalisme merupakan pandangan yang berlawanan dengan orientalisme. Orientalisme melihat Timur melalui lensa Barat, sementara oksidentalisme berusaha mengurangi inferioritas dalam hubungan Timur-Barat dan menjadikan Barat sebagai objek yang dikaji. 

Oksidentalisme tidak bermaksud mendiskreditkan kebudayaan lain, tetapi ingin memahami struktur peradaban Barat. Pandangan ini dianggap lebih netral dan objektif daripada orientalisme.

Dalam konteks globalisasi ekonomi, terjadi evolusi yang terus-menerus. Tatanan sosial baru antara penjajah dan terjajah tidak dapat dihindari, serta munculnya pandangan superior dan inferior dalam budaya. 

Nilai-nilai, ukuran, dan ideologi universal dipaksakan ke budaya-budaya yang terjajah, menyebabkan akulturasi yang tidak seimbang. Situasi ini membuat kaum pribumi secara tidak sadar mulai mengakui status mereka sebagai subordinat dari kaum imperialis. 

Hal ini mengarah pada pendiktean terhadap tradisi, martabat moral, dan pola pikir bangsa-bangsa terjajah, yang dikenal sebagai hegemoni menurut Antonio Gramsci.

*) Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال