Nasikh Mansukh dalam Alquran


Penulis: Muhammad Alby Muwaffil Hammam*

Allah menurunkan syariat di dalam Alquran kepada Nabi Muhammad untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan muamalah yang memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan manusia dan demi terciptanya kemaslahatan bersama. 

Nasikh mansukh terjadi karena Alqur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Alqur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Alqur’an.  

Dan itu merupakan bagian penting dalam ilmu Alquran yang wajib diketahui oleh mufassir dan mujtahid karenanya akan berakibat fatal apabila salah dalam memahaminya pada konteks kekinian, karena itu mengatahui nasikh wa mansukh dalam Alquran dijadikan syarat yang harus dipenuhi bagi mufassir maupun mujtahid dalam menentukan hukum, karena itu pasti berdampak pada masyarakat dalam pengamalanya. 

Maka adanya ulama kontemporer bertujuan untuk berperan dalam menyebarluaskan keilmuan Islam khsusnya di bidang Alquran sebagai bekal dalam menjalani kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan kemaslahatan. 

Konsep nasikh mansukh merupakan tema yang sangat penting dalam studi Alquran dan merupakan pembahasan yang sangat vital bagi seorang mufasir untuk menghindari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami maksud Alquran. 

Masalah nasikh dan mansukh, selama ini masih menjadi perdebatan dikalangan ulama mufasirin, yaitu antara ulama yang mendukung dan menolaknya. Bagaimanapun penetapan suatu hukum Islam, bukan berarti sudah menjadi keputusan akhir, bisa saja keputusan itu berubah seiring perkembangan dan perubahan sejarah.

Abd al Wahhab al Khallab berpendapat sebagaimana dikutip Nashruddin Baidan dalam bukunya Wawasan Baru Ilmu Tafsir, bahwa memang terdapat nasakh sebelum Rasul wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasakh. 

Beberapa syariat yang pernah dilakukan oleh nabi terdahulu sebelum nabi Muhammad SAW juga mengalami nasakh seperti zaman nabi adam yang membolehkan perkawinan sedarah yang terjadi di putra dan putri nabi adam, kemudian syariat nabi Musa perihal menghilangkan najis yang mengharuskan memotong pakaianya apabila terkena najis dan masih banyak lagi yang dikenal dengan sebutan syar’u man qablana.

Nasakh merupakan penghapusan hukum dan sesuatu yang menghapus hukum dinamakan nasikh sedangkan hukum yang dihapuskan adalah mansukh. Ulama berbeda bendapat dalam mendefinisikan nasakh mansukh karena memang pola pemikiran dan pemahaman mereka yang berbeda sehingga dalam menyimpulkan pun juga berbeda 

Imam Al Zarqani dalam Manâhil al-‘Irfân memberikan definisi nasakh yakni, “mengangkat hukum syar‘i dengan satu dalil syar‘i” (al-hukmi al-syar‘î bidalîlin syar‘iyyin) maksudnya menghilangkan hukum syariat dengan menggnti dengan dalil yang lain (yang lebih baik).

Syekh Al Khudhari memberikan definisi bahwa nasakh adalah, “pengangkatan sang pembuat hukum (syâri‘) atas satu hukum syar‘i dengan menggunakan dalil syar‘i.” Sedangkan dalam bukunya Târîkh al-Tasyrî‘ al-Islâmî, secara panjang lebar beliau menyatakan bahwa nasakh menurut terminologi fuqaha’dimaknai dengan dua pengertian. 

Pertama, pembatalan hukum yang diambil dari nash awal (nash sâbiq) dengan menggunakan nash yang datang kemudian (nash lâhiq). Contohnya adalah hadis yang berbunyi: “Kuntu nahaytukum ‘an ziyârat al-qubûr alâ fazûrûhâ.” 

Nash pertama melarang untuk melakukan ziarah kubur, sedangkan nash kedua mengangkat (menghapus) larangan tersebut lalu posisinya digantikan oleh pembolehan (al-ibâhah) atau permintaan (althalab) – untuk melakukan ziarah kubur dengan nada yang cukup “provokatif.” 

Pemikir muslim asal Mesir, Gamal al-Banna menyatakan bahwa ide naskh adalah “min akbar al-kawârits al-fikriyyah” (‘salah satu malapetaka pemikiran terbesar’) yang menjadikan ulama salaf tergelincir dan tertipu. Akhirnya seluruh mereka membolehkannya, bahkan mereka sampai mengatakan bahwa itu merupakan ijma‘. Lebih dari itu, mereka menolak Imam Syafi‘i, yang menyatakan bahwa Sunnah tidak me-naskh

Sedangkan pengertian mansukh adalah objek atau hukum yang dihapus, Menurut Al Qattan mencontohkan dengan mengambil permasalahan pengapusan hukum wasiat oleh hukum warisan. 

Al Qattan memberikan beberapa kriteria yakni : 

  1. Hukum yang dihapus harus berupa hukum syara’, sehingga jika hukum yang dihapus bukan merupakan hukum syara’ seperti hukum yang berlaku di suatu lembaga atau komunitas tertentu, maka hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai nasikh mansukh.
  2. Dalil yang menghapus adalah hukum syar’i yang dating setelahnya, sehingga ketika terjadi kontradiksi antara ayat tidak bisa dikatakan bahwa hukum yang datang lebih awal menghapus hukum yang datang setelahnya. 
  3. Hukum yang dihapus tidak dibatasi oleh waktu tertentu, sehingga penghapusan hukum bukan disebabkan karena hukum yang awal telah habis waktunya sehingga harus digantikan.

Dari segi nasakh atau yang berhak menghapus sebuah nash (dalil/hukum), nasakh dikelompokkan dalam empat bagian :

Nasakh Alqur’an dengan Alquran

Bagian ini disepakati oleh para pendukung nasakh. Adapun nasakh dalam Alquran terbagi dalam tiga kategori :

a. Ayat-ayat yang teksnya di nasakh, namun hukumnya masih tetap berlaku.

Maksudnya adalah bahwa terdapat ayat Alquran yang turun kepada Rasulullah yang kemudian lafaznya dinasakh tetapi hukum yang terdapat dalam lafaz tersebut masih berlaku, contohnya ayat tentang rajam.

Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab bahwa terdapat nasakh Alquran yang berbunyi :

“Laki-laki tua dan perempuan-perempuan tua jika berzina maka rajamlah, keduanya secara mutlak sebagai ketetapan hukum dari Allah dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dikatakan lafaz itu merupakan bagian dari ayat Alquran yang telah dinasakh bacaannya tanpa menasakh hukum yang terkandung di dalamnya. 

b. Nasakh pada bacaan dan hukum yang terkandung di dalamnya. 

Maksudnya bahwa terdapat ayat Alquran yang sebelumnya telah permanen dari sisi lafaz dan juga makna kemudian di nasakh, baik itu lafaz maupun makna (hukum yang terkandung di dalamnya). Sebagaimana yang diriwayatkan Aayyidah Aisyah RA.

“Dari Aisyah RA, beliau berkata : Adalah termasuk (ayat Alquran) yang diturunkan (yaitu ayat yang menerangkan) sepuluh kali susuan yang diketahui itu menjadikan mahram (haram dikawini), maka lalu dinasakh dengan lima kali susuan yang nyata. Maka menjelang wafatnya Rasulullah SAW, ayat-ayat itu masih termasuk yang dibaca dari Alquran.” (H.R. Muslim).

e. Menasakh hukum tanpa menasakh tilawahnya. 

Maksudnya, ada beberapa ayat Alquran yang hukumnya sudah tidak berlaku, sedangkan bacaannya masih tetap dalam Alquran. Contoh: masa iddah istri yang ditinggal mati oleh suami, yang semula tinggal di rumah suami selama satu tahun dinasakh dengan ayat tentang masa iddah empat bulan sepuluh hari.

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri- istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah : 240).

Ayat tersebut bacaannya masih utuh, namun hukumnya tidak berlaku lagi dengan adanya hukum iddah dalam surat Al-Baqarah ayat 234.

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”(QS. Al-Baqarah ayat 234)

Nasakh Alquran dengan Sunnah

Memang secara syar`i terjadi nasakh dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 180;

 “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda), jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al- Baqarah: 180).

Ayat tersebut dinasakh oleh sabda Rasulullah SAW dari Umamah, menurut riwayat empat perawi hadis, selain an-Nasa`i, dinyatakan hadis tersebut hadis hasan menurut Ahmad dan at Turmuzi, yaitu sabda Rasulullah. “Sesungguhnya Allah SWT telah memberi bagian tertentu untuk yang berhak, maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris.” (HR. Tirmidzi).

Nasakh Sunnah dengan Alquran

Muhammad Abu Zahrah, memberikan contoh sunnah tentang salat menghadap ke Bait-al-Maqdis, dinasakh dengan ayat tentang salat menghadap ke masjidil Haram, sebagaimana pada surat Al-Baqarah ayat 150.

“Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”( QS. Al-Baqarah ayat 150)

Nasakh Sunnah dengan Sunnah

Nasakh ini pada hakikatnya adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah dinasakh dengan dalil sunnah pula. Contoh tentang ziarah kubur yang sebelumnya dilarang oleh Rasulullah SAW, kemudian setelah itu Rasulullah justru menganjurkannya. 

Daftar Pustaka 

  1. Aunur Rafiq el-Mazni, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka al-Kaustar, 2008), 286 file:///C:/Users/ASUS/Downloads/1840-5689-1-PB.pdfa
  2. http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/10/makalah-studi-quran-nasikh-dan-mansukh.html
  3. https://etheses.uinsgd.ac.id/17470/2/2_abstrak.pdf (file:///C:/Users/ASUS/Downloads/128-Article%20Text-334-1-10-20150325.pdf)

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال