Analisis Batasan-batasan dalam Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Islam


Penulis: Alifah Murobiyatul Fatah*

Dimana perkawinan ini berasal dari hubungan antara dua insan manusia yaitu laki-laki dan perempuan yang telah dewasa yang memiliki hasrat untuk saling memiliki dan berjanji dalam sebuah Ikatan yang suci sebagai suami istri guna membentuk keluarga yang bahagia serta memperoleh keturunan. 

Keragaman budaya, adat istiadat, dan agama sangat mempengaruhi hubungan antar manusia. Keberagaman ini  menyebabkan perbedaan aturan begitu juga dalam sebuah hubungan perkawinan. Prosesi perkawinan yang dikemas secara beraneka ragam tidak terlepas dari pengaruh penting agama, kepercayaan dan pengetahuan dari masyarakat dan para pemuka agama yang ada dalam lingkungan di mana masyarakat itu berada. 

Sehingga sebagai suatu bentuk menyelaraskan keragaman tersebut dibuatlah hukum perkawinan di Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 UU tersebut dijelaskan bahwa pengertian perkawinan yaitu; “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami/istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Undang-undang perkawinan memang tidak secara khusus memperbolehkan disahkannya perkawinan beda agama, namun hidup pasangan yang berbeda agama sebagai suami istri adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, dan memang banyak pasangan yang ingin hidup bersama. Tetapi kondisi agama seringkali membatasi keyakinan yang berbeda.

Perkawinan beda agama kini menjadi fenomena yang semakin umum dalam masyarakat. Berdasarkan catatan Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) bahwa sejak 2005 sampai pada tahun 2022 sudah ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia(Yanto, 2022). Angka ini menunjukkan maraknya pernikahan beda yang sudah berlangsung selama beberapa waktu. Banyaknya pasangan pernikahan beda agama menunjukkan bahwa hal semacam ini kian menjadi hal yang umum dan wajar dalam masyarakat. 

Ini tidak berarti bahwa pernikahan itu beda agama tidak masalah, bahkan tidak jarang menimbulkan perselisihan antar umat. Diasumsikan bahwa alasannya tertulis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (disingkat UUP). Pasal 2 ayat (1) yang menetapkan sebagai berikut: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.”

Dalam hal ini, Islam memiliki pandangan, nilai dan prinsip yang spesifik mengenai perkawinan beda agama. Pada saat yang sama, pernikahan beda agama juga menghadirkan tantangan yang signifikan bagi pasangan yang telah bertunangan. Perbedaan keyakinan, praktik keagamaan, nilai dan tradisi seringkali menjadi sumber konflik dan ketegangan dalam hubungan tersebut. 

Penting untuk mengeksplorasi pendekatan yang dapat membantu pasangan mengatasi tantangan ini, menjaga keharmonisan dalam pernikahan mereka, dan membangun fondasi yang kuat untuk hidup bersama.

Studi ini memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai sikap toleransi dan batasan dalam pernikahan beda agama dalam perspektif Islam, dan menekankan pentingnya pendekatan yang seimbang dalam menjaga harmoni antara agama dan kehidupan pernikahan. 

Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Islam

Dalam Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 mengenai larangan nikah beda agama (Majelis Ulama Indonesia, 2005). Hal ini menandakan bahwa larangan pernikahan beda agama adalah ajaran Islam yang tidak bisa dinegosiasikan. Larangan ini jelas disebutkan dalam Alqur’an surat Al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ. 

Artinya:

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

Lebih lanjut pada Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam menegaskan yang bunyinya: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.” Jadi menurut agama Islam yang mana sebagai agama mayoritas di Indonesia menentang keras pernikahan yang dilaksanakan oleh pasangan beda agama di Indonesia.

Adapun dalam pembahasan hukum Islam, khususnya dalam literatur fikih klasik, perkawinan beda agama dapat dibedakan menjadi tiga kategori: pertama, perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wania musyrik; kedua, perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab; dan ketiga, perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim (sama adanya musyrik atau ahli kitab).(Amri, 2020).

Dalam perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik begitu juga sebaliknya, sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 221, para ulama’ sepakat untuk melarang pernikahan jenis ini. Para mufassir semuanya mempertegas bahwa wanita kafir yang tidak boleh dinikahi itu adalah dia yang musyrik, sebagaimana ayat ini turun disebabkan terjadinya perjanjian Hudaibiyah di antara Nabi Muhammad SAW dan orang-orang musyrik Quraisy Mekkah. 

Dalam hal ini yang dimaksud wanita musyrik adalah semua wanita yang bukan muslim baik dari agama Hindu, Budha, Kristen maupun Katholik dan juga ahli kitab. Ayat lain yang menjelaskan tentang larangan untuk menikahi wanita musyrik disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang berbunyi;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ  اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ  لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ  10. 

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

Namun berbeda dengan perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab, disini para ulama’ cenderung membolehkan perkawinan ini dan menganggapnya dengan hukum makruh. Pendapat ini didasarkan kepada surat Al-Maidah ayat 5 yang berbunyi:

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ  5. 

Artinya:

"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi."

Namun demikian, ada sebagian ulama melarang pernikahan tersebut karena menganggap bahwa ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) itu termasuk dalam kategori musyrik. Para ahli hukum Islam menganggap pernikahan tersebut dilarang oleh Islam. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan seorang laki-laki non-muslim atau non-muslim, baik calon suami tersebut termasuk Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) atau pemeluk agama lain. kitab suci seperti Hindu dan Budha atau pemeluk agama yang tidak memiliki kitab suci.

Mudharat Pernikahan Beda Agama

Berdasarkan perspektif hukum Islam dan hukum positif, pernikahan beda agama dianggap memiliki madharat yang lebih besar dibanding dengan maslahatnya. Menurut hukum Islam, pria muslim boleh menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Kristen), sedangkan dalam hukum positif tidak memberikan ruang dan melarang pernikahan beda agama. Larangan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa pernikahan beda agama memiliki dampak negatif yang lebih besar, yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan rumah tangga.

Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi dalam pernikahan beda agama:

  1. Tantangan Komunikasi: Pernikahan beda agama seringkali memunculkan tantangan dalam hal komunikasi. Perbedaan keyakinan, tradisi, dan praktik keagamaan dapat menyebabkan kesalahpahaman, konflik, atau kesulitan dalam menyampaikan pesan dengan efektif antara pasangan.
  2. Konflik Nilai dan Keyakinan: Perbedaan nilai-nilai dan keyakinan ini dapat menyebabkan konflik dalam pengambilan keputusan, pendidikan anak, praktik keagamaan, dan aspek-aspek penting lainnya dalam kehidupan sehari-hari. 
  3. Pengaruh pada Identitas Agama dan Budaya: Pernikahan beda agama dapat mempengaruhi identitas agama dan budaya pasangan. Ada kemungkinan salah satu pasangan mengalami perubahan keyakinan atau kehilangan kedekatannya dengan komunitas agama atau budaya mereka.
  4. Tantangan Keluarga dan Masyarakat: Keluarga dari kedua pasangan mungkin memiliki harapan dan ekspektasi yang berbeda tentang agama pasangan mereka, yang dapat menghasilkan konflik dan ketegangan. 
  5. Pengasuhan Anak: Salah satu dampak paling signifikan dari pernikahan beda agama adalah pengasuhan anak. Pasangan harus mengatasi perbedaan agama dan nilai-nilai yang mereka anut dalam mendidik anak-anak mereka, serta menemukan cara untuk memelihara identitas agama dan budaya keduanya.
  6. Pemahaman dan Toleransi Antaragama: Pernikahan beda agama dapat memberikan kontribusi positif terhadap pemahaman dan toleransi antaragama dalam masyarakat. Pasangan yang menjalani pernikahan semacam itu dapat menjadi contoh nyata tentang bagaimana harmoni antaragama dapat terwujud melalui cinta, pengertian, dan komitmen yang kuat. 

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال