Mushaf Alquran Masa Dinasti Umayyah


Oleh Izzulhaq al-Tubani*

Pada masa kenabian (611-632M) ayat-ayat Alqur’an terjaga dengan hafalan-hafalan para sahabat Nabi. Selain itu beberapa sahabat ada yang menuliskannya di pelepah kurma, bebatuan, dan sebagainya. Setelah masa kenabian, yang berperan dalam pemeliharaan teks Alqur’an adalah para sahabat terutama Khulafa’ al-Rasyidin (632-660M). 

Mulai dari Khalifah Abu Bakr yang berperan mengumpulkan teks-teks Alqur’an yang bersebaran di berbagai tempat. Lalu dilanjutkan oleh Khalifah Uthman ibn ‘Affan yang berperan mengumpulkan teksteks Alqur’an dalam bentuk buku (mushaf) dan menyalinnya sehingga sampai sekarang kita kenal dengan Mushaf Uthmani.

Setelah periode Khulafa’ al-Rasyidin berakhir, pemerintahan Islam dikuasai oleh Dinasti Umayyah (661-750M). Yang perlu diketahui adalah teks-teks yang ada pada mushaf Utsmani pada awalnya masih gundulan, yakni huruf-hurufnya tidak disertai dengan harakat dan tanda titik. 

Dan dikarenakan dalam periode ini wilayah Islam semakin meluas ke berbagai negara, mushaf tersebut tentu menjadi sulit dibaca bagi umat Islam terlebih non-Arab. Dikutip dari buku “Rekontruksi Sejarah Alqur’an” yang ditulis oleh Taufik Adnan Amal. 

Dikisahkan, bahwa Ziyad ibn Samiyah, gubernur di Basrah pada masa kepemimpinan Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan atau dikenal dengan Muawiyah I (661-680M) memberi perintah kepada ahli gramatika Arab, Abu al-Aswad al-Duali untuk memberikan tanda-tanda baca pada mushaf dengan tujuan menghindari kekeliruan pembacaan, namun pada saat itu Abu al-Aswad al-Duali belum melaksanakan perintah dari Ziyad. 

Sehingga suatu saat al-Duali mendengar seseorang yang keliru dalam membaca Alqur’an yang mengakibatkan perubahan makna. Kesalahan orang tersebut adalah saat membaca Surat At-Taubah ayat ke 3:

Yang di mana letak detail kesalahannya adalah ketika membaca bagian akhir dari 

ر و و س . له

Dalam pembahasan gramatika Arab, seharusnya kalimat tersebut merupakan bentuk kalimat rafa’ yang ditandai dengan huruf lam dan ha’ nya berharakat dhammah (rasuluhu). Namun, orang tersebut justru membacanya jer yang ditandai dengan huruf lam dan ha’nya berharakat kasrah (rasulihi). 

Ketika kalimat tersebut dibaca rafa’ (berharakat dhammah) maka kembalinya kepada “ الله “sehingga maknanya adalah “...sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melepas diri dari orang-orang musyrik...”. Namun, ketika kalimat tadi berbentuk jer (berharakat kasrah) maka merujuknya kepada “sesungguhnya... “ menjadi berubah maknanya sehingga ”ك ي ن ر ال م ش Allah melepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya...”

Perbedaan makna yang sangat jauh tersebut tentu bisa sangat membahayakan karena bisa menyebabkan kesalahpahaman yang fatal bagi umat Islam. Setelah al-Duali mendengarkan sendiri kekeliruan yang berakibat fatal dari pembacaan tersebut, dia segera menghadap kepada Ziyad dan bersedia untuk melaksanakan perintah yang pernah disampaikan kepadanya beberapa waktu sebelum kejadian tersebut. 

Hal yang dilakukan oleh al-Duali antara lain:

1. Fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf.

2. Kasrah ditandai dengan satu titik di bawah huruf.

3. Dhammah ditandai dengan satu titik di sela-sela huruf.

4. Vokal rangkap (tanwin) ditandai dengan dua titik sesuai masing-masing harakat.

5. Sukun tidak diberi tanda apapun.

Setelah penambahan tanda harakat, penyempurnaan mushaf dilanjutkan dengan penambahan pada tanda huruf, yaitu huruf yang simbolnya sama tetapi pengucapannya berbeda. Seperti antara huruf dal (د )dan dzal (ذ), antara sin(س ) dan syin (ش), dan sebagainya.

Penyempurnaan ini dilakukan pada masa Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwan(685-705M). AlHajjaj ibn Yusuf, Gubernur Irak menugaskan dua ahli bahasa yang masyhur sekaligus murid dari al-Duali, yakni Nashr ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ya’mun. Upaya yang dilakukan oleh dua mereka adalah dengan menambahkan titik untuk membedakan huruf yang simbolnya sama.

Pemberian titik pada huruf antara lain adalah:

1. Simbol huruf ha’ (ح) supaya bisa dibaca kha’ diberi satu titik di atasnya (خ), dan supaya bisa dibaca jim diberi satu titik di bawahnya (ج).

2. Simbol huruf berbentuk u supaya bisa dibaca nun diberi satu titik di atasnya (ن), supaya bisa dibaca ta’ diberi dua titik di atasnya (ت), supaya bisa dibaca tsa’ diberi tiga titik di atasnya (ث), supaya bisa dibaca ba’ diberi satu titik di bawahnya (ب), dan supaya bisa dibaca ya’ diberi dua titik di bawahnya (ي).

3. Simbol huruf wawu (و ) supaya bisa dibaca fa’ diberi satu titik di atasnya (ف), dan supaya bisa dibaca qof diberi dua titik di atasnya(ق).

4. Simbol huruf dal (د ) supaya bisa dibaca dzal diberi satu titik di atasnya (ذ).

5. Simbol huruf ra’ (ر ) supaya bisa dibaca za’ diberi satu titik di atasnya (ز).

6. Simbol huruf sin (س ) supaya bisa dibaca syin diberi tiga titik di atasnya (ش).

7. Simbol huruf tha’ (ط ) supaya bisa dibaca dhat diberi satu titik di atasnya (ظ).

8. Simbol huruf ‘ain (ع )supaya bisa dibaca ghin diberi satu titik di atasnya (غ).

9. Dan Seterusnya.

Lalu, apabila antara tanda yang menunjukkan harakat dengan tanda huruf sama-sama menggunakan titik, bagaimanakah cara membedakannya? Dalam membedakan antara titik harakat dan titik huruf pada masa ini adalah dengan memberikan tinta berwarna yang berbeda antara keduanya, di mana warna titik yang menandakan huruf disamakan dengan warna hurufnya. 

Jadi pada saat itu teks pada mushaf Alqur’an berwarna-warni. Berbeda dengan mushaf yang kita kenal sekarang di mana tanda harakat sudah menggunakan simbol sendiri.

Sumber: 

Manna’ Khalil Qatthan, Mabahith fii ‘Ulum Alqur’an. 

Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Alqur’an.

*) Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Alqur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال