Kegagapan Mahasiswa Universitas Islam Dalam Diskursus Keislaman


Oleh: Mustafa Kamal*

Hukum Islam sebagaimana dipahami mampu merelevansikan teks wahyu dengan realitas sosial yang ada. Hal ini merupakan bagian dari rahmat dari Tuhan kepada hamba-hambanya. 

Kompleksitas peristiwa yang dewasa ini muncul menuntut para sarjana muslim–bila perlu–untuk senantiasa merekonstruksi hukum-hukum yang dahulu telah ditetapkan oleh para sarjana. Urgensi dari hal ini jelas agar umat tidak terjebak dalam stagnasi hukum Islam. 

Kombinasi antara khazanah keilmuan Islam dan ilmu lainnya merupakan satu perangkat untuk memunculkan pembaharuan hukum Islam. Sehingga para sarjana Muslim tidak hanya menguasai basis-basis keIslaman melainkan juga memahami paradigma dalam ilmu-ilmu yang lain. 

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memaknai komposisi ini dengan sebutan ‘integrasi-interkoneksi’. Artinya, keilmuan Islam dengan keilmuan lainnya khususnya ilmu alam memiliki keterikatan satu dengan lainnya. 

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di masa lalu telah banyak melahirkan para intelek Muslim. Sebut saja misalkan, Masdhar Farid Mas’udi, Yudian Wahyudi dan Amin Abdullah. Mereka merupakan segelintir intelek Muslim alumni UIN Yogya yang berupaya untuk mengintegrasi dan menginterkoneksikan antara keilmuan Islam dan ilmu umum.  

Amin Abdullah mendefinisikan integrasi-interkoneksi yang dimaksud bukan hanya sekadar mencocok-cocokan antar disiplin ilmu melainkan dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling memiliki keterhubungan antara disiplin keilmuan supaya tidak ada pemisah antar ilmu atau dikotomis. 

Karena, setiap bidang keilmuan membutuhkan bidang keilmuan lainnya. Seperti halnya ilmu agama yang membutuhkan ilmu lain untuk memahaminya, karena ilmu dan agama saling terkait dan melengkapi. 

Zaman telah berbeda, minat mahasiswa dalam menekuni khazanah intelektual Islam saat ini telah pudar bahkan mungkin hilang. Kampus UIN yang dahulu mencetak para pemikir Islam saat ini tak ubahnya berubah menjadi kampus urban. 

Urbanisasi UIN di satu sisi positif karena terbuka terhadap keilmuan umum namun negatifnya adalah mahasiswa alih-alih mampu merekonstruksi diskursus keIslaman, mahasiswa yang mampu memahami turast saja bisa dihitung jari.

Di masa lampau, saat UIN masih berstatus IAIN bisa dikatakan dalam diskursus keIslaman, mahasiswa kala itu sangatlah ‘canggih’. Para pemikir Islam kiri seperti misalnya, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun dan Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan bahan diskusi sehari-hari. 

Hal demikian wajar, sebab literasi mahasiswa gemar dalam menggeluti kajian keIslaman. Jika dahulu mahasiswa lebih mengetahui pemikiran Sayyid Qutb daripada Gus Dur maka saat ini jangankan Sayyid Qutb, Gus Dur pun hanya dinikmati biografinya daripada pemikirannya. 

Realita ini amat disayangkan sekali. UIN sebagai kampus yang notabenenya Islam telah mengalami dekadensi intelektual keIslaman. Di UIN Yogya fakultas yang fokus dalam kajian Islam–tanpa mendiskreditkan fakultas lain–setidaknya ada pada dua fakultas yakni, fakultas Syariah dan Hukum dan fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. 

Meski begitu untuk saat ini, kedua fakultas ini masih belum mampu memberikan terobosan baru dalam bidang keIslaman. Ibarat kata kedua fakultas ini seakan kehilangan gairah untuk mendiskusikan masalah umat yang semakin hari semakin beragam.

Mahasiswa yang melanjutkan studinya ke UIN pastinya lebih banyak yang latar belakang pendidikan sebelumnya berangkat dari pesantren dan Madrasah Aliyah. Dapat dipastikan mahasiswa ini hendak lebih memperdalam ilmu agamanya di universitas. 

Dengan kondisi UIN yang seperti sekarang ini, tak ayal jika mahasiswa santri ini merasa lebih baik di pesantren daripada di UIN. Sebab pesantren saat ini dapat dikatakan lebih transformatif dan terbuka terhadap kasus-kasus keIslaman kontemporer. 

Dibandingkan dengan kualitas mahasiswa UIN dalam memahami serta mengaplikasikan teori yuriprudensi Islam masih lebih baik para santri di pesantren. 

Hal ini merupakan keresahan bersama baik dari pihak DIKTIS Kemenag dan Rektorat di setiap kampus UIN di seluruh Indonesia. Problematika dekadensi keIslaman ini harus dianggap serius. Sebab jika dibiarkan begitu saja akibatnya UIN tak lagi dapat berkontribusi dalam catur pergolakan pemikiran Islam. Lantas apa gunanya label kampus Islam jika tidak memiliki kapasitas keIslaman? 

Oleh karena itu, perlu kiranya setiap UIN memiliki wadah khusus yang menaungi fokus keIslaman. Saat ini bukan lagi soal integrasi-interkoneksi ilmu agama dengan ilmu umum melainkan kebalikannya. 

Justru integrasi-interkoneksi ilmu umum dengan ilmu agama. Pengadaan wadah ini diharapkan mampu mengumpulkan serta mencetak mahasiswa yang benar-benar ahli dalam bidang keIslaman. 

*) Kader PMII Rayon Ashram Bangsa, Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال