Ilmu Qiraat dan Bacaan Alqur’an dengan Menggunakan Metode Qiraah Imam Ashim


Oleh: Khaula Fatmawati*

Mengenal tentang qiraat Alqur’an sudah tidak asing lagi tentang perihal pembahasan tersebut. Pada kata al-qira’at yakni bentuk jamak dari qiraatan, mashdar dari qara’a, yaqra’u qira’atan. Menurut istilah berarti mazhab pembaca Alqur’an dari para imam qura’ yang masing-masing mempunyai perbedaan dalam pengucapan Alqur’an dan disandarkan pada sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah SAW.  

Qiraah dari segi bahasa adalah bacaan. Dengan demikian, qira’ah Alqur’an berarti bacaaan Alqur’an. Sedangkan menurut istilah, qira’at adalah suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dalam membaca Alqur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan Alqur’an serta disepakati oleh periwayat dan jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf dan lafaznya.

Para ulama’ juga berbeda pendapat dalam mendefinisikan qira’ah. Pada kitab Manna’ Khallil al-Qattan mendefinisikan bahwa qira’ah ialah sebagai salah satu mazhab pengucapan Alqur’an yang dipilih oleh seorang imam Qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dari cabang yang lain. 

Al-Jazari sendiri megartikan bahwa qira’ah ialah sebagai pengetahuan tentang cara-cara melafazkan kalimat Alqur’an dengan perbedaan kalimat Alqur’an yang didasarkan pada orang yang meriwayatkannya.

Adapun beberapa macam mazhab dalam ilmu qira’ah. Sedangkan mazhab qira’ah yang sangat popular adalah Qira’ah Sab’ah, Qira’ah Asyroh, serta Qira’ah Arba’a Asyroh. Terjadinya perbedaan mazhab qira’ah ini disebabkan oleh perbedaan yang intelektual serta kesempatan pada masing-masing sahabat dalam mengetahui dan membaca Alqur’an.  

Ada juga faktor lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam membaca Alqur’an adalah hal tulisan. Pada tulisan Alqur’an dalam Mushaf Utsmani, misalnya yang sebelumnya belum diberi baris serta tanda baca yang menyebabkan terjadinya perbedaan pada qira’ah. Sebenarnya untuk terjadinya bacaan ini semakin meluas, terutama saat wilayah Islam yang kian merambak. Keadaan tersebut menyebabkan banyaknya para sahabat yang mengajarkan Alqur’an hingga menyebar ke berbagai daerah.

Seperti yang sudah disebutkan, untuk qira’ah yang paling masyhur ialah Qira’ah Sab’ah. Mengapa disebut dengan Qira’ah Sab’ah karena merujuk kepada tujuh imam yang sangat masyhur. Sedangkan, Qira’ah Asyrah merupakan qira’at yang merujuk pada sepuluh imam. 

Yang pada dasarnya, Qira’ah Sab’ah yang ditambah tiga imam Qira’ah, di antaranya Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq al-Madhrami dai Bashrah, Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Thalih al-Makki al-Bashar, serta Abu Ja’far Yazid Yazid bin al-Qa’qa’ al-Makhzumi al-Madani. Serta ada Qira’ah masyhur yang lainnya adalah Qira’ah Arba’a Asyroh yang mana Qira’ah tersebut merujuk pada empat belas imam atau Qira’ah sepuluh ditambah empat. Mereka adalah Imam Hasan al-Bashri, Imam Yahya al-Yazidi, Imam Ibnu Mahisy, serta Imam asy-Syambudzi. 

Para ulama juga melakukan beberapa persyaratan untuk menentukan Qira’ah yang benar dan diterima serta yang salah dan harus ditolak.  Berikut beberapa persyaratannya:

1. Qira’ah itu harus sesuai dengan satu mushaf Utsmani

2. Qira’ah harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab

3. Qira’ah harus shahih sanadnya.

Dalam menentukan keshahihan sanad Qira’ah, Ibnu Jazari telah membuat beberapa kelompok kategori. Yaitu sebagai berikut:

1. Qiraah mutawattir, yakni qira’ah yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang banyak dan juga periwayat yang banyak pula. Sehingga, tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. 

2. Qira’ah masyhur, yakni qira’ah yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah SAW, tetapi hanya diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang adil, sesuai dengan Bahasa Arab, sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani. Baik berasal dari imam tujuh, imam sepuluh, maupun imam lain yang diakui.

3. Qira’ah ahad, yakni qira’ah yang sanadnya shahih tetapi menyalahi Mushaf Utsmani atau kaidah Bahasa Arab atau tidak popular seperti qira’ah yang mutawattir dan masyhur. 

4. Qira’ah syadz, yakni qira’ah yang sanadnya cacat dan tidak bersambung kepada Rasulullah SAW.

5. Qira’ah maudzu’, yakni qira’ah yang dinisbatkan kepada seseorang tanpa adanya dasaran.

6. Qira’ah mudraj, yakni qira’ah yang didalamnya terdapat lafaz atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan sebagai penafsir bagian ayat Alqur’an. Seperti, qira’at Ibnu Abbas.

Jadi, dengan memahami ilmu qira’at sekaligus perbedaannya, maka setelah mempelajari yang pasti akan mendapatkan beberapa manfaatnya. Yakni sebagai berikut:

1. Memudahkan untuk memahami adanya perbedaan dengan Bahasa Alqur’an. Terutama yang berkaitan dengan orang Arab pada awal Islam yang terdapat pada banyaknya kabilah dan suku-suku.

2. Membantu dalam melakukan kajian tafsir serta dapat menjelaskan apa yang mungkin masih bisa dianggap global bagi qira’ah yang lain, terutama dalam peng-istinbathan hukum.

3. Menunjukkan terpeliharanya Alqur’an dari perubahan dan penyimpangan, serta mengingat kitab tersebut yang memiliki banyak segi bacaan.

4. Sebagai salah satu bukti akan kemukjizatan Alqur’an, baik dari segi lafaz dan maknanya. Ada kalanya perbedaan qira’ah itu hanya sebatas perbedaan lafaz, bukan maknanya, seperti lafaz ash-shirath dibaca as-sirath. Namun, perbedaan ini menyangkut dari perbedaan yang berlafaz Maaliki dan Maliki yang seperti ada dalam surat Al-Fatihah.   

*) Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Prodi Ilmu Alqur'an dan Tafsir.

 Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال