Tan Malaka di Persimpangan Ideologi (1): Islam Progresif Atau Komunis Asertif?


KULIAHALISLAM.COM -  Kebanyakan dari kita mengenal Tan Malaka sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh kepada gerakan kiri di Indonesia. Tokoh yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No.53 yang ditandatangani pada 28 Maret 1963 ini, memang menerbitkan karya-karya progresif nan fenomenal seperti: Madilog, Massa Aksi, Gerpolek, Dari penjara ke penjara. Bahkan ia sempat menjadi Kordinator Komintern (Komunis Internasional,red) kawasan Asia Tenggara, yang meneguhkan citranya sebagai seorang tokoh komunis.

Namun tak banyak orang yang tahu, bahwa di sidang komintern tahun 1922, Tan Malaka dengan lantang membela Islam sebagai “agama yang harus dirangkul” dalam pergerakan melawan kapitalisme. Ini tentu bertentangan dengan mazhab komunis yang pada umumnya “memusuhi agama” dan menganggap agama sebagai “kapitalis putih” bahkan “candu” bagi pergerakan. Di sidang yang sama, ia juga menegaskan bahwa ia adalah seorang Muslim dimata Tuhan, dan membuat geger para peserta yang sebagian besar ateis dan sebagian lainnya agnostic.

Pasca pengakuannya tersebut, mulailah timbul jurang pemisah antara pemikiran intelektual Tan Malaka dengan Komunis pada umumnya. Dikemudian hari, Tan Malaka bersama pengikutnya mendirikan Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA) dimana tokoh yang dikenal adalah : Chairul Saleh, M.Yamin, bahkan Wakil Presiden Adam Malik sebagai wadah perjuangan dan pergerakan pemikirannya. Gerakan tersebut menjadi lawan politik dari PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berkiblat ke Uni Sovyet & China ketika itu. Maka dengan demikian, mulai muncul pertanyaan bagi kita semua apakah pantas Tan Malaka dilabeli sebagai seorang Komunis, Nasionalis atau bahkan Ia hanyalah seorang Muslim yang berpandangan  Progresif?. Melalui tulisan singkat ini, akan mencoba untuk mengupas secara sederhana serta objektif pemikiran dan pribadi Tan Malaka, sehingga memperkaya khazanah kita kepada para Pahlawan Muslim di negeri ini.

Sekilas Mengenal Dasar Sang Muslim Revolusioner

Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka atau yang dikenal dengan nama Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Nagari Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat pada tanggal 2 Juni 1897 merupakan seorang anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur. Ia merupakan tamatan Kweekschool atau Sekolah Keguruan (IKIP) Bukit Tinggi pada umur 16 tahun di tahun 1913, dan dilanjutkan ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda, dimanai dalam beberapa literatur ia sempat meminjam dana dari orang-orang sekampungnya dan mendapat bantuan dari mantan gurunya untuk dapat melanjutkan studi disana. Pada awalnya, ia hanya  bercita-cita ingin mendapatkan akte untuk jadi kepala sekolah, tetapi karena sakit yang dideritanya, ia hanya mendapatkan akte guru biasa. Siapa sangka, dikemudian hari Tan Malaka muncul menjadi tokoh di era imperalisme dengan membawa semangat nasionalis progresif sebagai api perjuangannya dalam upaya membangkitkan gemuruh suara bangsa.

Pria berdarah minangkabau ini lahir dalam keluarga yang sederhana. Beliau dibesarkan dalam keluarga Muslim yang taat. Menurut pengakuannya di karya fenomenal Madilog, kedua orangtuanya taat dan takut kepada Allah serta menjalankan sabda Nabi Muhammad (sunnah) dan turut menjalankan adat lokal Minangkabau (matriarki dan rantau). Tan Malaka juga kembali menegaskan dalam autobiografinya, menegaskan bahwa keluarganya hanya mengenal Islam dan Adat. Dasar inilah yang menurut Taufik Abdullah (2018), mempengaruhi cara pandang intelektualitas Tan Malaka1. Bahkan menurut Zulhasril (2007) dalam bukunya: Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, didikan orangtuanya terkait falsafah orang minangkabau “Alam takambang jadi Guru” (Alam berkembang jadi guru,pen), sangat mempengaruhi sudut objektifitas Tan Malaka dalam menilik fenomena ketika itu2. 

Perlu diketahui bahwa falsafah tersebut menjelaskan bahwa alam dan segenap unsurnya memiliki kaitan erat. Berbenturan tapi tidak saling melenyapkan. Menilik pandangan hidup orang Minang, fenomena alam, binatang, tumbuhan tunduk kepada hukum yang telah diatur oleh Tuhan melalui keharmonisan. Hal inilah yang diyakini menjadi dasar pemikiran Tan Malaka dalam membentuk pandangan intelektualitas pergerakannya. Pandangan progresifnya diperkirakan muncul ketika Ia kemudian bekerja di  sebuah perusahaan Sanebah, Tanjung Morawa Deli, Sumatera Timur ( Desember 1919-Juni 1921).  Dimana di tempat tersebut ia menyaksikan dialetika sosial dalam bentuk pertarungan gigih antara kaum buruh kuli kontrak melawan tuan-tuan kapitalis Belanda3. Tan Malaka menaruh empati mendalam terhadap penderitaan kaum jelata yang sebangsa dengannya.

Tidak berapa lama kemudian merantau ke Jawa dimana Tan Malaka juga sempat menempati kamar di rumah tokoh pergerakan Islam, HOS Cokroaminoto serta bertukar pikiran dengan sang pemilik kost. Setelah itu dia turut membidani kemajuan Sarekat Islam cabang Semarang dan membangun sekolah di Semarang. Sarekat Islam, menurutnya dapat menjadi gerakan yang mengembalikan kekuatan kepada para petani yang melarat di bawah kapitalisme kolonial. Islam dapat menjadi kekuatan yang mengembalikan apa yang seharusnya dimiliki orang-orang tak berdaya.

Maka Tan Malaka memulai perjuangan tersebut melalui pendidikan, sesuai dengan bidang yang ia kuasai. Menurut Rokhim,dkk (2019) Tan Malaka menguraikan dasar dan tujuan sekolah Sarikat Islam (SI) di sana serta cara mencapai tujuan pendidikannya4. Tujuan sekolah menurutnya bukanlah mendidik murid menjadi juru tulis seperti tujuan Sekolah Gubernemen (sekolah kolonial), melainkan untuk mencari nafkah diri sendiri, keluarganya, dan membantu pergerakan rakyat. Untuk merumuskan tujuan pendidikan tersebut, ia menyesuaikan dengan realitas atau kebutuhan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1). Memberi keterampilan, (2). Memberi keleluasaan terhadap potensi belajarnya, termasuk kesukaan hidup (hobi), dengan jalan bergaul atau berkumpul, (3). Menanamkan rasa peduli dan tolong menolong terhadap sesamanya5.

Pasca pecahnya SI menjadi SI Merah dan SI Putih, Tan Malaka termasuk dalam gerbong SI Merah yang dikemudian hari kita kenal menjadi PKI. Meski dikenal sebagai tokoh awal PKI, tetapi di organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia sendiri, ia bukan orang yang disukai. Ia dituduh sebagai seorang pengkhianat dan berperan besar dalam gagalnya pemberontakan PKI yang dilakukan pada tahun 1926-1927. Tan Malaka dianggap pengkhianat karena ia tidak hanya setuju dengan rencana pemberontakan PKI, melainkan juga berusaha mencegah rencana pemberontakan. Hal ini dikarenakan ia berpandangan bahwa tidak ada perhitungan yang memungkinkan untuk memulai revolusi. Gerakan komunis saat itu dari kacamatanya lebih mengedepankan anarkis, sementara ia berpandangan bahwa diperlukan konsep massa aksi yang teratur-teroganisir (taktis-strategis). Tan Malaka juga lebih condong kepada taktik boikot dan mogok, daripada tindakan kekerasan yang berujung pada pelemahan dan penghancuran cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia6.

Pandangannya yang berlawanan dengan pemimpin gerakan komunis di Indonesia ketika itu, membuatnya mengalami pelarian panjang. Dalam masa-masa itu, ia pun menggunakan banyak nama samaran seperti: Ilyas Husein ketika di Indonesia, Alisio Rivera ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, dan Ong Soong Lee di Hong Kong, untuk menghindari lawan politiknya baik di gerakan komunis maupun imperialis kolonialisme. Namun di akhir masa pendudukan Jepang, dia menyamar sebagai mandor di Banten dan menghabiskan waktu untuk menulis karya besarnya, Madilog. Pengaruh Tan malaka juga terjadi pada peristiwa Renglasdengklok, dimana sebagian pemuda yang menyandera Soekarno-Hatta, merupakan kader didikan dan simpatisan ideology yang dibawa Tan Malaka. Di masa revolusi, Tan Malaka dianggap otak dari Peristiwa 3 Juli 1946. Dia menentang hasil perundingan Republik Indonesia dengan Belanda. Saat itu, Tan Malaka menuntut Merdeka 100 persen dimana ia juga terlibat dalam Persatuan Perjuangan bersama Jenderal Sudirman, yang tetap berjuang melalui gerilya revolusioner sebagai langkah yang mulia dalam memepertahankan kedaulatan Indonesia dari politik pecah belah Van Der Mook.

Dari ulasan awal pribadi Tan Malaka, kita temui seolah beliau mempunyai dua sisi yang bila dihadapkan secara penuh maka ada pertentangan akibat kompleksitas didalamnya. Ia mempunyai satu sisi religious yang menghantam gagasan reaktif tentang upaya mengkebiri keterlibatan agama dalam sebuah pergerakan, namun disisi lain ia mempunyai pandangan progresif diluar dari para cendekiawan agamawan yang terpaku pada aturan ortodoksi dalam menerapkan perjuangan. Namun sebelum justifikasi itu dapat diberikan akhir kepada Tan Malaka, maka akan kita coba bedah pemahamannya terkait Islam dalam tulisan berikutnya.

 

Referensi

1)      Abdullah, Taufik. 2018. Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatra Barat 1927-1933, terj. Muhammad Yuanda Zara, Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah.

2)      Nasir, Zulhasir. 2007. Tan Malaka dan gerakan kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura Yogyakarta : Ombak Publisher

3)      Tohis, RA. 2021. Islam Progresif dan Tan Malaka; Reposisi MADILOG Sebagai Metode Pemikiran Islam Progresif . Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol. 6, No. 2 (2021). Pp 84-105

4)      Rokhim, Maulana. Munawar. Cucu. 2019. Pemikiran Tan Malaka dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam. TARBAWY: Indonesian Journal of Islamic Education – Vol. 6 No. 1 (2019). Pp 55-69

5)      Ahmad, MG. Mahasta, MA. 2020. Dinamika Sarekat Islam dan Komunis (Proses Penyusupan Komunis dan Perpecahan Sarekat Islam). Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 20, No. 02 , (2020),pp 62-67

6)      Kholik. Syabirin. 2006. Pemikiran Politik Tan Malaka tentang Revolusi dan Islam di Indonesia. Skripsi. UINSH Publisher.

7)      Wardhana, MES. 2014. Pemikiran Tan Malaka tentang Islam dalam Buku Madilog. Thesis. UMS Publisher.

8)      Zuwardi. 2017. Pemikiran Ekonomi Sosialis Tan Malaka dalam Prespektif Ekonomi Islam.  Jurnal Imara- IAIN Bukittinggi Publisher. Pp 17-34

9)       Tan Malaka. 1951. Islam Dalam Tinjauan Madilog. Widjaya Publisher-Jakarta. (epdf)

Achmad Puariesthaufani

Pemerhati Sejarah & Pergerakan Islam. Lulusan Universitas Mercubuana Jakarta, saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Manajemen di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال