Obat Mabuk Tasawuf Dari Al Ghazali

Oleh: Muhammad Ardiansyah

Bahaya "Mabuk" dalam Bertasawuf

KULIAHALISLAM.COM - Dalam hidup mendekatkan diri kepada Allah adalah impian setiap muslim didunia, yang mana terdapat banyak jalan yang dapat dilalui salah satunya melalui tasawuf.

Tasawuf yang merupakan sarana mendekatkan diri ini bagi beberapa orang dianggap sulit dan berat, sehingga tak banyak orang yang mendalami paham Keislaman ini.

Adapun orang yang mendalaminya banyak pula yang sampai “mabuk” hingga terjatuh dalam jurang kesesatan, hal ini sering dialami orang yang baru dalam mendalaminya, dan orang yang mendalaminya secara mandiri tanpa melalui wasilah.

Seharusnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, harus dengan cara yang baik yang sejalan dengan syariat, selain harus sesuai dengan syariat yang tak kalah pentingnya ialah mempelajari tasawuf sebaiknya dengan berguru (berwasilah), agar ilmu yang diamalkan dapat lebih terarah dan tidak terjerumus dalam jurang kesesatan.

Menurut seorang sufi bermazhab Hanafi dalam tafsir ruhul bayan [5]:264. Yang berbunyi;

Barang siapa tidak memiliki guru, maka yang menjadi gurunya adalah setan.

Mengenal Tasawuf Al-Ghazali

Dalam mengatasi ”mabuk” nya orang dalam mendalami tasawuf, menarik bila kita milihat salah satu konsep yang diusung oleh salah satu sufi besar yakni Al-Ghazali, dalam konsep yang diusungnya Al-Ghazali menawarkan pandangan tasawuf yang masih berpegang teguh pada Alqur’an. Adapun Al-Ghazali memberikan pedoman agar terhindar dari “mabuk” meliputi 3 hal yakni;

Takhali (Pengkosongan diri terhadap sifat-sifat tercela).

Menurut Al-Ghazali, para pelaku sufi harus berusaha untuk melepaskan jiwanya dari dorongan hawa nafsu dan prilaku-prilaku buruk. Misalnya berupa penyakit hati atau gangguan pikiran yang masih berkecamuk sebelum memulai melakukan ibadah.

Karena hati yang masih diselimuti kekotoran, tidak bisa diisi dengan sifat-sifat mahmudah. Kita ambil contoh dalam beribadah, misalnya.

Saat melakukan salat, Jika hati atau pikiran kita masih terpaut dengan hal-hal keduniaan atau dengan pekerjaan-pekerjaan yang masih belum tuntas, saat itulah hati kita tidak bisa diisi dengan kekhusyuan dan memahami setiap bacaan atau amaliah salat yang kita lakukan.

Saat melafalkan dzikir La Ilaha Illallah, Jika hati kita masih belum dikosongkan dari Jika hati dan fikiran kita masih belum dikosongkan dari Gejolak dan kecamuk hal-hal dunia, maka La Ilaha Illallah yang diucapkan hanya terjadi hanya terucap di lisan tidak tertancap dalam hati.

Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji).

Pada tahap ini menurutnya, pelaku sufi harus senantiasa menghiasi dirinya dengan prilaku terpuji, dengan membiasakan dengan sifat yang baik dan pada sikap berbuat baik kepada siapapun. 

Maka orang yang berdzikir La Ilaha Illallah dalam rangka mengisi atau memberikan nutrisi pada hati akan lebih mudah khsyuk dalam proses tahalli ini jika proses sebelumnya yakni takhalli telah dilakukan. 

Orang yang pernah melakukan dosa, setelah itu ia bertaubat. Maka jalan yang ia tempuh berikutnya adalah jalan ini, yakni tahalli berupa melakukan amal-amal saleh.

Tajalii

Dan yang terakhir adalah puncak perjalanan tasawufnya dimana setalah melalui dua tahapan sebelumnya, para sufi mencapai puncaknya. 

Tajalii yang berarti penampakan tentang sesuatu yang ghaib, menurut Al-Ghazali pada tingkat ini para sufi mengalami Kasyful hijab yang merupakan terbukanya penghalang antara hamba dengan tuhannya yang dapat menghalangi hambanya untuk melihat kebesaran atas kekuasaan tuhannya.

Dengan Tetap Menjalankan Syariat Islam

Dalam mendalami lelaku tasawuf yang diajarkan dan diwasilahkan oleh para sufi terdahulu dan meskipun para sufi sudah mencapai puncak dari perjalanan sufinya yang sering dikatakan sebagai puncak ma'rifatullah, seperti hulull, ittihad dan wahdat al wujud yang di gagas oleh Ibnu Arabi.

Tetapi dalam perspektif dan anjuran yang dikatakan oleh Al-Ghazali tetap menganjurkan untuk tetap menjalankan syariat dengan tetap beribadah kepada Allah seperti salat, zakat dan puasa yang sudah diatur dalam syari'at Islam sebagai kewajiban kita secara (hablumminallah) yang merupakan kewajiban kita kepada Allah sebagai kaum muslimin dan tetap berbuat baik kepada masyarakat disekitar.

Dengan tetap saling tolong menolong jikalau orang disekitar kita membutuhkan bantuan, tetap melakukan silaturahmi kepada tetangga dekat sebagai bentuk (hablumminannash) dan upaya kita untuk memperkuat pondasi Keislaman kita didunia dalam rangka menciptakan Islam yang rahmatan lil alamin. 

Karena keduanya merupakan kewajiban seorang muslim yang harus dijalankan. Hal tersebut sangat berbeda dengan beberapa sufi lain seperti Al Hallaj dan Abu Yazid Al-Bustami yang ajaran tasawufnya terkesan meninggalkan syariat dan berfokus pada penyatuan diri kepada Tuhan saja sehingga terkesan meninggalkan (hablumminannas) yang merupakan kewajiban seorang muslim didunia. 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال