Generasi Digital: Mahasiswa Sufi

Oleh: Fany Della Rafimia, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

KULIAHALISLAM.COM - Ketika mendengar kata Sufi, kira-kira apa yang pertama kali muncul dalam benak kita? Mungkin kita langsung menggambarkan seseorang yang saleh, yang memakai pakaian syar’i, memakai sorban atau jubah panjang, penghafal Qur’an, orang yang lebih suka menghabiskan waktu di Masjid, dsb. Lalu, jika kita lihat keadaan zaman sekarang, dapatkah kita menjadi Sufi?

Sufi dapat diartikan sebagai orang yang bertasawuf. Tasawuf sendiri adalah cara atau jalan yang ditempuh seseorang dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara tersebut bisa berupa ajaran-ajaran positif yang dipahami lalu dipraktikan dalam keseharian. 

Ada banyak konsep ajaran dalam Tasawuf, misalnya dalam Tasawuf Sunni (Tasawuf yang didasarkan pada Alqur’an dan Sunnah Nabi) terdapat ajaran dari tokoh Abu Hamid Al-Ghazali, Imam Junaid Al-Baghdadi, Abu Hasan Al-Bashri. 

Sedangkan dalam ajaran Tasawuf Falsafi (Tasawuf yang didasarkan pada pemikiran akal dan intuisi) terdapat ajaran dari tokoh Ibnu Arabi, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Manshur Al-Hallaj. 

Tasawuf yang paling mungkin kita lakukan adalah Tasawuf Sunni, karena pokok ajarannya berdasarkan Alqur’an dan Sunnah Nabi, sehingga akan lebih mudah kita pahami. 

Sedangkan Tasawuf Falsafi lebih cenderung ke arah filsafat dan metafisika, sehingga tidak sembarang orang mampu masuk ke dalam aliran tersebut. Langkah pertama dalam bertasawuf adalah taubat. Taubat artinya membersihkan hati dari dosa. 

Dosa dalam hati bisa digambarkan sebagai kotoran yang mana jika tidak dibersihkan akan menumpuk dan menghalangi hidayah Allah yang seharusnya masuk dalam hati. 

Kita bisa mulai memperbanyak istighfar, merenungi dosa-dosa, meminta ampunan Allah, menjauhi larangan Allah, dan selalu melaksanakan apa yang menjadi perintah Allah. Dengan bertaubat, maka akan menjadi pembuka jalan kita untuk bertasawuf.

Setelah taubat, Kita bisa meneruskan dengan zuhud. Zuhud pada zaman Nabi tentunya berbeda dengan zuhud versi generasi digital. Zuhud zaman Nabi mungkin dilakukan dengan menjauhkan diri sama sekali dengan hal-hal duniawi, namun hal itu tidak bisa diterapkan pada zaman sekarang.

Dalam keseharian, kita tentunya tidak bisa lepas dari ponsel, yang mana itu adalah barang duniawi. Zuhud versi kita dapat dilakukan dengan memanfaatkan ponsel untuk melakukan hal-hal baik yang  bermanfaat dan sekiranya dapat menjadi tabungan di akhirat. 

Misalnya, bersedekah secara online, mengadakan kegiatan penggalangan dana online, mengikuti kegiatan kemanusiaan yang ada di forum-forum online. Namun akhir-akhir ini banyak kasus penyelewengan dana semacam itu, terutama yang berbasis online

Sehingga sebelum memutuskan berpartisipasi, kita harus benar-benar selektif dalam memilih wadahnya. Dalam website-website online, biasanya terdapat dokumentasi kegiatan dan komentar-komentar mengenai kegiatan mereka. Dari situ kita bisa melihat, apakah penyaluran dana yang dilakukan wadah ini sudah tepat sasaran atau belum.

Setelah melakukan zuhud, kita bisa melanjutkannya dengan khauf dan raja’. Khauf dapat diartikan sebagai rasa takut akan murka Allah dan raja’ yang berarti berharap kemurahan Allah. 

Ketika kita merasa takut akan murka Allah, maka akan memunculkan sikap hati-hati ketika akan melakukan segala sesuatu, dan memikirkan dampak yang akan dihadapi. Namun ketika kita hanya menanamkan sifat khauf saja, maka kita akan merasa terbelenggu dan merasakan kekhawatiran yang berlebihan.

Sehingga sikap khauf harus dibarengi dengan sikap raja’. Dengan menanamkan raja’, kita akan lebih tenang karena yakin bahwa kemurahan Allah itu lebih besar. Disini bukan berarti Kita bebas melakukan segala sesuatu sesuka hati karena berfikir Allah Maha Pemurah.

Namun raja’ disini lebih dimaksudkan untuk orang-orang yang sedang terpuruk, misalnya, karena Ia telah melakukan dosa besar. Disini, Dia harus ingat bahwa Allah Maha Pengampun asalkan hambanya mau bertaubat dengan sungguh-sungguh. 

Puncak bagi seorang Sufi adalah ketika Dia sudah merasakan mahabbah kepada Allah. Dia akan merasakan cinta pada segala hal yang  telah ditakdirkan Allah. Ia sudah benar-benar lepas dari dunia dan yang ada hanyalah tentang Allah.

Maqam ini tentunya sangat sulit digapai. Bagi generasi digital, implementasi dari rasa mahabbah dapat ditunjukan dengan selalu mensyukuri apapun yang ditakdirkan Allah, tidak mudah mengeluh dan merenungi hikmah dibalik cobaan yang dihadapi, lebih mendalami ilmu-ilmu keagamaan yang sekiranya dapat memupuk keyakinan kita kepada Allah.

Mahasiswa masa kini jarang mengetahui tentang ajaran Tasawuf. Karena tuntutan zaman, kita lebih akrab dengan dunia digital yang semuanya telah didukung dengan pesatnya perkembangan teknologi. 

Kita lebih dituntut belajar mengoperasikan komputer dengan baik daripada mempelajari ilmu-ilmu agama. Kita lebih asik bermain dengan sosial media di ponsel daripada membaca buku-buku teologi di perpustakaan.

Sebenarnya jika kita mau merenung, dengan berkembangnya teknologi digital semua akses telah ada di genggaman kita. Melalui ponsel, kita bisa mencari apapun yang kita inginkan dan yang kita butuhkan.

Namun tentu saja disamping dampak positif pasti ada juga dampak negatif akan hal ini, misalkan tentang berita hoaks. Di sini kita berkewajiban untuk mencari sumber-sumber yang terpercaya untuk membuktikan kebenarannya. 

Sekarang ini, kita harus memanfaatkan kemajuan teknologi dengan baik. Jika biasanya kita memakai ponsel hanya untuk melihat postingan Instagram, Youtube, atau Tik-Tok, kita bisa mulai menggunakan media sosial kita untuk hal yang berguna, misalnya dengan mulai mencari sumber bacaan berupa artikel ataupun jurnal.

Dan membagikan info yang sudah valid dan sekiranya berguna untuk orang lain, mengikuti kajian-kajian ilmu. Jadi, masih bisakah generasi kita menjadi Sufi? Jawabannya bisa, dengan memanfaatkan teknologi digital dan menjadi mahasiswa Sufi.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال