Konsep Makrifat Jati Diri Sufi dalam Mengenal Cahaya Ilahi

KULIAHALISLAM.COM - Makrifat dalam arti umum adalah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam Tasawuf, Makrifat berarti pengetahuan tentang Allah dari dekat (dalam istilah Barat disebut Gnosis yaitu pengetahuan dengan hati sanubari. Dengan Makrifat, seorang Sufi lewat hati sanubarinya dapat melihat Tuhan.


 Oleh karena itu para Sufi mengatakan; 

Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.Yang dilhat orang arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah.

Ungkapan para sufi tersebut selain menggambarkan dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, juga menjelaskan bahwa pengetahuan dalam bentuk makrifat merupakan pengetahuan yang langsung ada pada Allah yang dianugerahkan-Nya kepada mereka yang dibereri kemampuan menerimanya.

Makrifat merupakan cahaya byang memancar ke dalam hati, menguasai daya yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Menurut orang-orang Sufi seperti yang dikemukakan Abu Bakar al-Kalabazi; 

Allah-lah yang membuat manusia mengenal diri-Nya melalui diri-Nya. Makrifat kadang dipandang sebagai Makam dan kadang sebagai “hal”. Dalam buku tasawuf, urutan Makrifat berlainan dengan “Mahabah”.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumudin memandang Makrifat datang sebelum Mahabbah, sedangkan Al-Kalabazi dalam At-Ta'arruf (saling mengenal) menyebut makrifat sesudah Mahabbah. Di samping itu, Makrifat dan mahabbah sering pula dianggap kembar yang selalu disebut bersama. Keduanya merupakan dua hal yang sama dalam perbedaan. Sama dalam hal menggambarkan keadaan dekatnya seorang Sufi dengan Tuhan.

Berbeda karena Mahabbah menggambarkan hubungan dalam bentuk cinta. Sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dalam bentuk Gnosis (pengetahuan dengan hati sanubari). Tokoh utama pemahaman makrifat adalah Zunnun al-Misiri (Wafat 860 M). Menurut Zunnun, untuk menjelaskan paham makrifat terlebih dahulu perlu diketahui pembagian pengetahuan tentang Tuhan.

Menurut Zunnun al-Misiri, ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan yaitu pengetahuan orang awam bahwa Tuhan Esa diketahui dengan perantaraan ucapan syahadat, kemudian pengetahuan ulama bahwa Tuhan Esa diketahui dengan logika dan pengetahuan Sufi bahwa Tuhan Esa diketahui dengan perantaraan hati sanubari.

Pengetahuan orang awam tentang Tuhan pada dasarnya adalah pengetahuan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Tuhan disebut ilmu bukan makrifat. Dengan demikian, pengetahuan dalam bentuk makrifat menurut Zunnun adalah pengetahuan tentang Tuhan.

Pengetahuan serupa ini dianugerahkan Tuhan kepada kaum sufi yang dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan. Dengan keikhlasan ibadah itulah Tuhan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan.

 Dalam keadaan demikian, Sufi dapat melihat keindahan Tuhan yang abadi dan mengetahui keesaan-Nya. Paham Makrifat oleh Zunnun terungkap dalam ucapannya; 

Aku mengetahui Tuhan karena Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan,aku tidak akan mengetahui Tuhan.

Ungkapan ini menunjukan bahwa seandainya Tuhan tidak membukakan tabir mata hati Zunnun al-Misri,ia tidak akan melihat Tuhan. Pernyataan Zunnun tersebut selain menggambarkan Makrifat sebagai anugerah Tuhan, juga menggambarkan hubungan yang amat dekat antara Sufi dengan Tuhan. 

Dalam tasawuf terdapat dua komunikasi dua arah. Di satu pihak Sufi berusaha kerasmendekatkan diri dari bawah sedangkan di lain pihak Tuhan dari atas menurunkan rahmat-Nya. 

Oleh karena itu, ketika berlangsung komunikasi dua arah dalam bentuk Makrifat, pengaruh akal dan pengelihatan mata hilang karena yang disaksikan seorang Sufi hanyalah yang hakiki tentang Tuhan melalui hati sanubari.

Menurut Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah al-Qusyairiyyah (Risalah Qusyairiyyah) dan Reynold Alleyne Nicholson, ahli mistisme dalam Islam, dalam The Mystics of Islam (Mistik Islam) ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan Sufi untuk berhubungan dengan Tuhan.

Yakni Qalbu (Qalb the Heart) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, Roh (Ruh The Spirit) untuk mencintai Tuhan dan Sir (Sirr,Inmost Ground of The Soul) untuk melihat Tuhan.Dari ketiga alat tersebut, Sir merupakan alat yang peka dan lebih halus daripada roh apalagi dari kalbu.

Sir merupakan alat yang digunakan oleh Sufi untuk memperoleh Makrifat. Oleh karena Sir bertempat di roh dan roh bertempat di kalbu maka Sir timbul serta dapat menerima Iluminasi dari Allah di kala roh dan kalbu telah suci dan kosong dari segala sesuatu yang dapat menganggunya. 

Tibalah saatnya bagi Sufi menangkap cahaya Tuhan yang diturunkann-Nya. Kalbu tak ubahnya seperti kaca, jika senantiasa bersih akan mempunyai daya tangkap Sir yang benar untuk memperoleh cahaya cemerlang yang dipancarkan Tuhan.

Apabila cahaya cemerlang itu diperoleh maka di kala itulah Sufi bertemu dengan Zat Yang Maha Tinggi. Pertemuan dengan Tuhan merupakan puncak kebahagian. Demikianlah cara seorang Sufi mencapai tingkat Makrifat. 

Memperoleh Makrifat merupakan peroses yang bersifat terus-menerus. Makin banyak seorang Sufi memperoleh Makrifat, makin banyak pula yang diketahuinya tentang rahasia Tuhan dan semakin dekatlah ia kepada-Nya. 

Walaupun tersingkapnya tabir Tuhan memperlihatkan rahasia-Nya kepada seorang Sufi, namun Makrifat yang penuh tentang Tuhan tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia lantaran keterbatasan manusia, di samping kemutlakan Tuhan.

Dalam kaitan ini Al-Junaid al-Baghdadi, tokoh sufi modren menyatakan;

Cangkir teh tak akan bisa menampung semua air yang ada di laut.

Pernyataan ini menunjukan bahwa meskipun seorang Sufi berusaha secara kontinu untuk memperoleh Makrifat, tidak mungkin ia memperoleh dalam arti yang penuh dan sempurna, sehingga semua rahasia hakikat ketuhanan dapat diketahuinya. 

Setelah Makrifat itu dicapai, tujuan dan pengaruhnya dapat diterapkan dalam kehidupan. Zunnun mengatakan bahwa Makrifat memmpunyai jangkauan atau tujuan moral yakni nilai kemanusiaan seoptimalnya harus berhiaskan ahlak Allah (At-Takhalluq bi Akhlaq Allah ).

Dalam hubungan ini, pergaulan orang arif bagaikan pergaulan Allah. Menurut Zunnun ada tiga tanda orang arif yaitu cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya, tidak mengukuhi secara batiniah ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriah dan nikmat Allah yang banyak tidak menggiringinya untuk melanggar batas-batas larangan Allah. 

Tanda-tanda tersebut pada hakikatnya mengacu kepada profil seorang Sufi yang memiliki ahlak yang tinggi, ahlak Ilahiah.

Paham makrifat yang dikemukakan oleh Zunnun al-Misri itu diterima oleh Imam Al-Ghazali sehingga mendapat pengakuan dikalangan Ahlusunnah waljamaah karena Imam Al-Ghazali  adalah salah seorang figur yang sangat berpengaruh di kalangan mereka. Dengan demikian, Imam Al-Ghazali yang membuat tasawuf menurut pola pikir tersebut menjadi halal bagi kaum syariat.

Padahal pada masa sebelumnya, kaum Ulama memandang tasawuf seperti yang diajarkan Al-Bustami dengan paham Ittihad-nya dan Al-Hallaj dengan paham Hulul-nya telah dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Penerimaan Imam Al-Ghazali terhadap tasawuf pada umumnya dan khususnya makrifat dapat dipahami dari pendapatnya. 

Menurut Imam Al-Ghazali, Makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturann-Nya tentang segala yang ada. Bagi Imam Al-Ghazali, alat seorang sufi mendapatkan makrifat ialah Qalbu, bukan panca indra dan akal. Pengetahuan yang diperoleh Kalbu lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf (makrifat) dan bukan falsafah.

Bagi Imam Al-Ghazali, makrifat juga berarti memandang kepada wajah Allah (An-Nazaru Ila Wajh Allah Ta’ala). Selanjutnya ia mengemukakan bahwa makrifat mengandung tujuan moral, kebahagiaan, cinta kepada Allah dan fana didalamnya. 

Jalan yang ditempuh kaum Sufi mengandung tujuan meningkatkan ahlak terpuji melalui latihan jiwa, juga mengganti ahlak tercela menjadi ahlak yang terpuji. Dengan demikian, tujuaan makrifat  sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Ghazali tersebut sejalan dengan pendapat Zunnun al-Misri yakni mengacu pada moral Ilahiah.

Sumber : Ensiklopedia Islam

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال