Fatwa Prof Dr Yusuf Qaradhawi Tentang Hukum Mengucapkan Selamat Hari Raya Agama Non Muslim

Kuliahalislam Prof. Yusuf al-Qaradhawi merupakan salah satu Ulama terkemuka abad ini dan seorang Mujtahid yang fatwa dan ijtihadnya banyak diambil oleh sebagian besar umat Muslim saat ini. Syaikh Dr. Muhammad Yusuf al-Qardhawi lahir pada tanggal 09 September 1926 di desa Safaf Turab bagian Barat Mesir.


 Ia menjadi anak yatim ketika berumur dua tahun. Ia diasuh oleh pamannya. Ketika usianya belum genap sepuluh tahun, Dr.Yusuf al-Qaradhawi telah menghafal Al-Qur’an. Seuasai menamatkan pendidikan di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, ia meneruskan ke Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Buku Tasawwuf pertama yang ia baca adalah Minhaj al-Abidin dan kitab Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi kemudian melanjutkan pendidikan bahasa Arab selama dua tahun dan ia lulus dengan prestasi terbaik serta memperoleh ijazah internasional dan sertifikat mengajar. 

Pada tahun 1957, Yusuf al-Qaradhawi masuk Ma’had al-Buhutus wa al-Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah dan berhasil meraih diploma bidang bahasa dan sastra Arab. Pada tahun 1960, Yusuf Qaradhawi melanjutkan studinya Program Pascasarjana (Dirasah al-Ulya), Universitas Al-Azhar, Mesir dengan mengambil jurusan Tafsir Hadis.

Kemudian, ia melanjutkan lagi pada tingkat Doktor dengan menulis Desertasi berjudul “Al-Zakah wa Atsaruha fi Halli al-Masyakil al-Ijtimaiyyah (Zakat dan Pengaruhnya dalam Mengatasi Problematika Sosial)”. Desertasi sempat tertunda karena tahun 1968-1970 M, ia dipenjara oleh pemerintah Mesir karena dituduh berafiliasi kepada organisasi Ikhwanul Muslimin. 

Desertasinya tersebut telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia dengan judul “Hukum Zakat : Studi Komperatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis ”.

Belum ada suatu pembahasan mengenai ketentuan zakat yang begitu mendalam dan menyeluruh seperti yang kita lihat dalam Fiqhuz Zakat oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Buku Hukum Zakat karya Dr.Yusuf Qaradhwi merupakan salah satu pedoman lembaga-lembaga zakat Indonesia dalam melaksanakan dan mengelola zakat. Kemudian, ia meninggalkan Mesir dan tinggal di Ibukota Doha (Qatar). Di Qatar, ia diangkat menjadi Dekan Fakultas Syariah Universitas Qatar.

Hukum Mengucapkan Selamat Hari Raya Kepada Pemeluk Agama Lain

Bagaimana sikap atau tindakan Muslim terhadap golongan non muslim yang menerima kaum Muslim, yang tidak memusuhi, tidak meyakiti, tidak membunuh, tidak mengusir dari rumah atau tidak mengeluarkan mereka ? Al-Qur’an telah menjelaskan ketentuan hubungan antara orang-orang Islam dan umat lain pada dua ayat dalam Surah Al-Mumtahanah yang diturunkan mengenai orang-orang musrik :

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikanmu sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu serta membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang zalim” (H.R Al-Mumtahanah 8-9).

Dalam dua ayat tadi, Allah membedakan antara orang-orang yang berserah diri kepada kaum Muslimin dan orang-orang yang memerangi kaum Muslimin. Kepada orang Quraisy dan berada bersama perlindungan mereka, dipersilahkan juga. Maka, berhijralah para wanita yang memilih Islam, dan murtadlah para wanita yang memilih kepada kemusyrikan. Hukum Allah adalah hukum yang paling benar dalam menghukumi kedua kelompok itu seperti tersebut dalam ayat tadi.

Yaitu larangan bagi orang-orang Muslim untuk memegang tali ikatan perkawinan wanita yang memilih kemusyrikan. Karena ini berarti melarang mereka untuk menikah dengan wanita pilihannya, disebabakan para wanita masih dalam kekuasaan non Muslim yang mengusir kaum Muslimin dari negerinya tanpa alasan. Satu-satunya alasan pengusiran itu adalah hanyalah karena mereka berkata : “Tuhan kami adalah Allah (Rabunallah)”.Sebagaimana yang pernah dilakukan orang-orang musyrik Mekah kepada Rasulullah dan para sahabatnya.

Al-Qur’an memilih kata untuk menyikapi Al-Musallamun orang-orang kafir yang berserah diri kepada kaum Muslimin dengan kata Al-Bir dalam firaman-Nya, ‘Berlaku Baik’, adalah kata yang dipakai untuk hak manusia yang paling agung setelah hak kepada Allah yaitu Birrul Walidin, berbuat baik kepada orang tua.

 Dalam sebuah riwayat dari Asma binti Abu Bakar diceritakan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata : “Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku dan ia masih musyrik, tapi ia pun mencintaiku (sering menghubungi dan memberi hadiah). Apakah aku harus bergaul dengannya ? Beliau bersabda : Pergauilah ibumu meskipun ketika itu ibumu masih musyrik”.

Maka, seperti yang diketahui bahwa Islam tidak (kasar) dalam bersikap terhadap Ahli Kitab daripadaterhadap musyrik dan atheis.Sampai Al-Qur’an sendiri membolehkan memakan makanan dari Ahli Kitab dan bergaul dengan mereka. Dalam arti, memakan sembelihan mereka, juga menikahi wanita-wanita mereka. Seperti Firman-Nya : “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. Dan dihalalkan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu” (Q.S Al-Maa’idah ayat 5).

Namun, meskipun diperkenankan menikah dengan mereka (wanita Ahli Kitab), tujuan dan buah pernikahan tetap harus demi terciptanya ketenteraman hidup dan kasih sayang di antara suami istri. Sebagaimana difirmankan-Nya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasann-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang” (Q.S Ar-Ruum ayat 21).

   Karena bagaimana mungkin seorang suami tidak memberi kasih sayang pada istrinya,  sedangkan ia sebagai penjagannya, teman hidupnya, dan ibu dari anak-anaknya ? Allah telah menjelaskan bagaimana seharusnya terjalin hubungan keserasian di antara keduanya dalam firman-Nya : “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (Q.S Al-Baqarah ayat 187).

 Selain itu, buah dari pernikahan adalah agar terciptanya hubungan harmonis antara kedua keluarga suami dan istri. Ia adalah ikatan yang asasi dan sangat penting bagi hubungan antarmanusia. Sebagimana disinyalir Al-Qur’an : “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan Mushaharah sebagainya” (Q.S Al-Furqaan ayat 54).

Di antara keharusan atau kewajiban yang harus dilakukan guna menciptakan hubungan itu adalah terwujudnya hak-hak orang tua dalam Islam.Maka, apakah dengan melewati peringatan hari raya besar baginya (bagi orang tua) dengan tidak mengucapkan selamat padanya termasuk kebaikan (Al-Bir) ? Bagaimana pula dengan sikapnya terhadap, kerabat dekat dari ibunya seperti kakek, nenek, paman, bibi,keponakan ? 

Padahal mereka mendapatkan hak-hak karena hubungan darah dan hak karib kerabat. Sebagaimana firman-Nya : Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah (Q.S Al-Ahzaab ayat 6) dan firman Allah : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat (Q.S An-Nahl ayat 90).

Kalau hak-hak terhadap orang tua dan kerabat mewajibkan setiap Muslim dan Maslimah untuk berhubungan dengan orang tua dan kerabatnya dengan ahlak sebagai seorang Muslim yang baik yaitu dengan lapang dada dan memenuhi hak-haknya, maka sudah sepatutnya hak-hak kepada yang lain hendaknya dilakukan. 

Atau dipenuhi seorang Muslim dengan ahlaknya sebagai Muslim yang baik. Seperti disinyalir oleh Rasulullah ketika berpesan pada Abu Dzar : “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik yang akan menghapusnya dan bergaulah dengan manusia dengan baik (H.R Tirmidzi dan Imam Ahmad).

Dalam hadis di atas Rasulullah menyebutkan “Pergauilah Manusia” bukan “Pergauilah Kaum Muslimin” dengan baik. Rasulullah juga menganjurkan agar umat Islam bergaul dengan ramah terhadap orang-orang non muslim sekaligus agar berhati-hati dengan tipu daya dan makar mereka.

 Tidaklah pantas kalau orang Muslim berlaku kurang baik, tidak menghormatinya dan kurang berahlak dengan pemeluk agama lain. Bahkan sebaliknya seharusnya seorang muslim lebih menghormati, lebih beradab dan berahlak sempurna.Seperti dinaytakan dalam Hadis : “ Adalah orang mukmin lebih sempurna iman dan ahlaknya” (H.R Imam Bukhari).

Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling sering memperaktekan sikap santun. Biliau bergaul dengan baik dengan orang-orang musyrik Quraisy selama periode Mekah. Walaupun mereka terus menyakiti dan menindas Nabi dan para sahabatnya. Bahkan sampai orang-orang musyrik mempercayai Nabi.

 Karenannya, tidak ada larangan bagi umat Islam baik atas nama pribadi maupun lembaga mengucapkan selamat hari raya kepada non muslim dengan kata-kata atau kartu selamat yang tidak mengandung syiar atau ibarat-ibarat agama mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti Salib karena Islam jelas mengingkari penyaliban seperti yang ditegaskan dalam firman Allah : “ Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya tetapi yang mereka bunuh adalah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka”(Q.S An-Nisaa ayat 157).

Namun, kata-kata ucapan selamat dalam perayaan-perayaan agama mereka jangan sampai mengandung unsur pengakuan terhadap agama  mereka atau ridha dengan agama mereka. Tetapi hanya berupa kata-kata biasa yang dikenal khalayak umum. Juga tidak ada larangan menerima hadiah dari mereka.

 Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam sendiri pernah menerima hadiah-hadiah dari non muslim seperti dari Muqaiqus Agung, seperti pendeta agung. Tetapi dengan syarat hadiah itu bukan yang diharamkan agama seperti khamar dan daging babi.

Memang ada juga pendapat Ulama seperti Ibnu Taimiyah yang keras menyikapi masalah ikut serta merayakan hari raya orang-orang musyrik dan ahli kitab. Hal ini diungkap kitab Iqtidhaa Shiratal Mustaqiim Mukhalafatatu Ahlul Jahiim

Saya (Prof. Dr.Yusuf Al-Qaradhwi) sepakat dengan Ibnu Taimiyah yang secara tegas melarang percampuran perayaan hari raya atau perayaan bersama antara kaum Muslimin dengan orang-orang musyrik dan ahli kitab. Sebagaimana kita lihat,tak jarang kaum Muslimin turut serta merayakan hari natal.Hal ini tidak boleh dan dilarang dalam Islam.

Kita mempunyai hari raya dan mereka pun demikian.Namun saya (Prof.Dr. Yusuf Qardhawi) kira tidak apa-apa ikut serta mengucapkan selamat hari raya agama mereka. Dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang. Memang Ibnu Taimiyah memfatwakan masalah ini setelah melihat keadaan atau kondisi dizamannya. 

Seandainya Ibnu Taimiyah hidup pada masa sekarang maka ia akan melihat bagaimana persaingan di antara manusia di mana dunia seolah-olah hidup seperti satu desa. Juga melihat bagaimana kebutuhan orang-orang Islam berhubangan dengan umat non muslim.

Di mana mereka sekarang menjadi guru-guru umat Islam walaupun sangat disayangkan.Juga melihat bagiamana kebutuhan dakwah Islamiah untuk lebih dekat dengan massa  dan perlunya menampakan wajah Islam dengan gambaran ramah,damai dan tidak kasar.

Dalam perayaan ini tidak berarti terdapat keridhaan dari orang Muslim terhadap akidah mereka atau berarti mengakui kekafiran mereka yang sangat bertentangan dengan Islam. Nabi Isa sendiri tidak menganggap perayaan keagamaan ini sebagai ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah tetapi hanya karena telah menjadi wacana umum, adat negara atau komunitas massa tertentu yang diikuti seluruh penganutnya sebagai perayaan mendengarkan alunan musikm, makan-makanan dan saling memberi hadiah antar teman dan keluarga.

 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال