Makna Islam dalam Aktivitas Ilmu Pengetahuan


(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

Oleh: Fitratul Akbar

KULIAHALISLAM.COM - Kata ilmu berasal dari bahasa arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang berarti pengetahuan (al-ma’rifah),[1] kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang dipahami secara mendalam.[2] Dari asal kata ‘ilmu ini selanjutnya di-Indonesia-kan menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu pengetahuan’. Dalam perspektif islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihad) dari para ilmuwan muslim (‘ulama/mujtahid) atas persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi dengan bersumber kepada wahyu Allah.[3]

Al-qur'an dan al-hadits merupakan wahyu Allah yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah petunjuk tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. Al-qur'an memberikan perhatian yang sangat istimwa terhadap aktivitas ilmiah. Terbukti, ayat yang pertama kali turun berbunyi; “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan”.[4] Membaca, dalam artian yang luas, merupakan aktivitas utama dalam kegiatan ilmiah. Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa Indonesia bukan sekedar berasal dari bahasa arab, tetapi juga tercantum dalam al-qur'an. Kata ilmu di sebut sebanyak 105 kali dalam al-qur'an. Sedangkan kata jadiannya disebut sebanyak 744 kali. Kata jadian yang dimaksud adalah; ‘alima (35 kali), ya’lamu (215 kali), I’lam (31 kali), yu-lamu (1 kali), alim (18 kali), ma’lum (13 kali), alamin (73 kali). ‘alam (3 kali), ‘a’lam (49 kali), ‘alim atau ‘ulama’ (163 kali), ‘allam (4 kali), ‘allama (12 kali), yu’limu (16 kali), ulima (3 kali), mu’allam (1 kali), dan ta’allama (2 kali).[5]

Selain kata ‘ilmu, dalam al-qur'an juga banyak disebut ayat-ayat yang, secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan pengembangan ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung, menalar, dan semacamnya. Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al-qur’an disebut sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah: “Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah adalah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya”.[6] Kata fikr (pikiran) disebut sebanyak 18 kali dalam al-qur’an, sekali dalam bentuk kata kerja lampau dan 17 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah; “…..mereka yang selalu mengingat allah pada saat berdiri, duduk maupun berbaring, serta memikirkan kejadian langit dan bumi”.[7] Tentang posisi ilmuwan, al-qur’an menyebutkan: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu beberapa derajat”.[8]

Di samping al-qur’an, dalam hadits nabi banyak disebut tentang aktivitas ilmiah, keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, dan etika dalam menuntut ilmu. Misalnya, hadits-hadits yang berbunyi. ”Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimah”(HR. Bukhari-Muslim).[9] “Barangsiapa keluar rumah dalam rangka menuntut ilmu, malaikat akan melindungi dengan kedua sayapnya”(HR. Turmudzi).[10] “Barangsiapa keluar rumah dalam rangka menuntut ilmu, maka ia selalu dalam jalan Allah sampai ia kembali”(HR. Muslim).[11] “Barangsiapa menuntut ilmu untuk tujuan menjaga jarak dari orang-orang bodoh, atau untuk tujuan menyombongkan diri dari para ilmuwan, atau agar di hargai oleh manusia, maka Allah akan memasukkan orang tersebut ke dalam neraka”(HR. Turmudzi).[12]

Besarnya perhatian islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik perhatian Franz Rosenthal, seorang Orientalis, dengan mengatakan: “Sebenarnya tak ada satu konsep pun yang secara operatif berperan menentukkan dalam pembentukan peradaban islam di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu". Hal ini tetap benar, sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhid” (pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-din” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus menerus dan bergairah disebut-sebut. Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang memiliki kedalaman makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama dengan kata ilmu itu. Tak ada satu cabangpun dalam kehidupan intelektual kaum muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk terhadap “pengetahuan” sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi, dalam menjadi seorang muslim”.[13]

Penjelasan-penjelasan al-qur'an dan hadits di atas menunjukkan bahwa paradigma ilmu dalam islam adalah teosentris. Karena itu, hubungan antara ilmu dan agama memperlihatkan relasi yang harmonis, ilmu tumbuh dan berkembang berjalan seiring dengan agama. Karena itu, dalam sejarah peradaban islam, ulama hidup rukun berdampingan dengan para ilmuwan. Bahkan banyak ditemukan para ilmuwan dalam islam sekaligus ulama. Misalnya, Ibn Rusyd di samping sebagai ahli hukum islam pengarang kitab bidayah al-mujtahid juga seorang ahli kedokteran penyusun kitab al-kulliyat fi al-thibb.

Ilmu dalam islam merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh dari para ilmuwan muslim atas persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi dengan berlandaskan kepada wahyu Allah. Pengetahuan ilmiah diperoleh melalui indra, akal, dan hati nurani/intuitif yang bersumber dari alam fisik dan alam metafisik. Hal ini berbeda dengan epistimologi ilmu di Barat yang hanya bertumpu pada indra dan akal serta alam fisik.

Dalam sejarahnya, perkembangan ilmu pengetahuan dalam islam mengalami pasang surut. Suatu ketika mencapai puncak kejayaan, dan di saat yang lain mengalami kemunduran. Era klasik (650-1250 M) merupakan masa keemasan islam yang di tandai dengan tingginya etos keilmaun serta pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang kehidupn. Setelah itu, perkembangan ilmu di kalangan umat islam menjadi redup dang anti Barat yang berada dalam garda depan dalam pengembangan ilmu. Kemajuan ilmu di Barat memunculkan banyak ekses negatif seperti sekularisme, materialisme, hedonisme, individualisme, konsumerisme, rusaknya tatanan keluarga, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan obat terlarang.


[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), hlm.1037.

[2] Al-Munjid fī al-Lūghah wa al-A’lām (Beirut : Dār al-Masyriq, 1986), hlm. 527.

[3] A.Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2003), hlm. 13.

[4] Al-Qur’ān surat al-‘Alaq : 96 : 1.

[5] M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’ān: Ilmu”, dalam Ulumul Qur’ān, (Vol.1, No. 4, 1990), hlm. 58.

[6] Al-Qur’ān surat al-Anfāl : 8: 22.

[7] Al-Qur’ān surat Āli ‘Imrān : 3: 191.

[8] Al-Qur’ān surat al-Mujādalah : 58: 11.

[9] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 13.

[10] Sayid ‘Alawī ibn ‘Abbās al-Mālikī, Fath al- Qarīb al-Mujīb ‘ala Tahdzīb alTarghīb wa al-Tarhīb, (Mekah; t.p, t.t), hlm. 40.

[11] Abī Zakariā Yahyā ibn Syarf al-Nawāwī, Riyād al- Shālihīn, (Kairo; al-Maktabah al-Salafīyah, 2001), hlm. 710.

[12] Al-Mālikī, Fath al-Qarīb, hlm. 42

[13] Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’ān: Ilmu”, hlm. 57. Ungkapan Rosenthal tersebut dikutip oleh Dawam dalam karya Rosenthal berjudul Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1970).

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال