Perlunya Penguatan Rekruitmen Camaba ke Universitas Al-Azhar Mesir

KULIAHALISLAM.COM - Berbicara studi ilmu-ilmu keislaman yang kaya dan orisinil, tidak akan terlepas dari nama Al-Azhar Mesir. Sepertinya masyarakat muslim—terutama di Indonesia—sudah ber ‘ijma, bahwa Al-Azhar adalah panutan dan rujukan untuk studi ilmu-ilmu keislaman. Demikian pula masyarakat muslim dunia lainnya, dimana saat ini jumlah mahasiswa asing yang studi di Al-Azhar lebih dari 40.000  orang. Mereka berasal dari sekitar 120 negara.


Universitas Al Azhar Mesir

Al-Azhar Sebagai Kiblat Ilmu Islam

Selain ketenaran nama Al-Azhar dalam hal dalamannya ilmu Islam yang diajarkan, daya tarik Al-Azhar bagi masyarakat, ditopang juga oleh prinsip wasathiyyah (moderasi) yang menjadi ruh iklim akademik Al-Azhar. Prinsip wasathiyyah merupakan pemahaman Islam yang sangat selaras dengan pemahaman mayoritas Muslim Indonesia. Selain itu, wasathiyyah merupakan faham alternatif yang akan menjadi wajah Islam di masa depan, sebab hanya pemahaman wasathiyyah inilah yang dapat diterima oleh nalar kemanusiaan, terutama di era pesatnya kemajuan teknologi.

Untuk itu, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat membutuhkan kehadiran Al-Azhar, dimana lembaga-lembaga pendidikan Islam di tanah air menjadikan Al-Azhar sebagai target studi lanjut bagi alumninya. Bahkan di level pemerintahan pun, penghormatan dan apresiasi terhadap Al-Azhar sangat terasa. Salah satunya terlihat dalam sikap Pemerintah RI, yang hampir seluruh pemimpinnya pernah mengundan Grand Syaikh Al-Azhar/GSA (pemimpin tertinggi Al-Azhar) ke Indonesia atau menemui GSA di Mesir. Demikian pula Al-Azhar. Mereka selalu menjadikan Indonesia sebagai salah satu prioritas hubungan baik di antara negara-negara muslim, sehingga sejak Indonesia dikenal oleh para pemimpin Al-Azhar, hampir seluruh petinggi Al-Azhar pernah mengunjungi Indonesia. Bahkan, salah satu bentuk kekaguman Al-Azhar terhadap ulama Indonesia adalah diberikannya gelar Doktor Honoris Causa (Dukturah Fakhriyyah) pertama dalam sejarah Al-Azhar, kepada tokoh ulama Indonesia asal Minangkabau, yaitu Buya HAMKA. Sebelumnya, Al-Azhar tidak pernah memberikan gelar kehormatan seperti itu. Untuk itu, ijazah Doktor Honoris Causa yang diperoleh Buya HAMKA dari Al-Azhar, bernomor seri 001 (AM. Fachir at all, Potret Hubungan Indonesia Mesir, 2010, hal. 85).

Hanya saja, baiknya hubungan Al-Azhar-Indonesia tersebut serta animo masyarakat yang sangat tinggi terhadap Al-Azhar belum didorong oleh kebijakan yang memadai dan komprehensif dari para stake-holder--terutama dari pihak Indonesia--sehingga hubungan baik tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Contohnya adalah perihal kesempatan lanjut studi di Al-Azhar. Di satu sisi, jumlah pelajar yang ingin melanjutkan studi ke Al-Azhar semakin meningkat dan jumlah mahasiswa Indonesia di Mesir makin bertambah, tetapi di sisi lain, banyak persoalan yang menghantui mereka dan terus terulang setiap tahun, dimana kehadiran negara untuk menyelesaikan masalah ini sangat diperlukan.

Upaya Penguatan Yang Sangat Perlu Dilakukan

Hemat penulis, dalam upaya memaksimalkan dan memanfaatkan hubungan baik antara Indonesia dengan Al-Azhar, perlu mengidentifikasi beberapa hal yang selama ini menjadi kendala dan persoalan dalam pengiriman calon mahasiswa baru (camaba) Indonesia ke Al-Azhar, lalu dievaluasi dan diperbaiki oleh para stake-holder—terutama Kemenag RI—yang merupakan pemilik otoritas utama proses studi di Al-Azhar.

Di antara beberapa hal yang sangat perlu dievaluasi dan diperbaiki adalah:

1.    Penguatan dan perbaikan aturan pelaksanaan seleksi

Penulis menyambut baik pengumuman yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI No. B-799/DJ.I/HM.00/08.2022 tanggal 18 Agustus 2022, perihal: “Pemgumuman Uji Kompetensi Ikhtibar Tashfiyah dan Tahdid Mustawa Bagi Calon Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir Beasiswa dan Non Beasiswa”.

Pelaksanaan seleksi ini sangat positif dan sangat ditunggu para santri/pelajar yang lulus MA/Pesnatren TA 2021/2022. Dengan adanya pengumuman tersebut, para siswa mulai lega dan mendapatkan kepastian untuk berusaha mewujudkan impian mereka untuk studi di Universitas Al-Azhar Mesir.

Hanya saja, dalam pengumuman tersebut, terdapat beberapa sikap inkonsisten. Pada poin 1 dijelaskan, bahwa pelaksanaan seleksi tersebut didasarkan pada surat Kepala Biro Kantor Deputi Grand Syaikh Al-Azhar tertanggal 14 Agustus 2022, dimana “Al-Azhar telah menyetujui untuk menerima calon mahasiswa pemegang ijazah mu’adalah Madrasah Aliyah di seluruh Indonesia, sebagaimana berlaku pada tahun-tahun sebelumnya.” Artinya, seleksi ini berlaku bagi seluruh santri/siswa pemegang ijazah mu’adalah Madrasah Aliyah. Sementara itu, di poin 6 ditegaskan: “Bagi calon mahasiswa lulusan Madrasah Aliyah dan pondok pesantren yang telah mendapatkan mu’adalah dari Al-Azhar, dapat memproses pendaftaran secara langsung dan mengikuti persiapan bahasa pada lembaga….dst.”

Poin 6 ini kontradiksi dengan poin 1. Pada poin 1 sudah sangat jelas, bahwa Al-Azhar menerima pendaftaran para pemegang ijazah mu’adalah MA. Artinya, siapa pun dapat mendaftar ke Al-Azhar, selama ia memiliki ijazah mu’adalah MA. “Hanya saja, sebagai dasar pemberian rekomendasi (poin 4b), Kemenag RI akan menyelenggarakan uji kompetensi bekerja sama dengan Markaz Syaikh Zaid (MSZ).” Hemat kami, poin 4b ini sangat tepat dan sangat bijak. Sayangnya, poin ini dibatalkan juga oleh poin ke 6, sebab poin 6 ini secara eksplisit memberikan pengecualian kepada siswa lulusan MA dan Pondok Pesantren yang telah mendapatkan mu’adalah dari Al-Azhar, dimana mereka “dapat memproses pendaftaran secara langsung dan mengikuti persiapan bahasa pada lembaga bahasa mana pun yang diakui oleh Al-Azhar.”

Pertanyaannya adalah apakah para siswa pemilik ijazah seperti pada poin 6 di atas tetap wajib mengikuti seleksi yang diselenggarakan Kemenag RI atau tidak?

Jika jawabannya: “ya,” maka untuk apa ada poin ke 6? Jika jawabannya: “tidak,” maka para siswa pada poin 6 di atas, akan dapat rekomendasi dari mana, sebab mereka tidak ikut ujian di Kemenag RI?, padahal di poin 4b, sangat jelas disebutkan, bahwa dasar rekomendasi adalah keikutsertaan pada seleksi Kemenag RI.

Oleh karena itu, alangkah sangat fair jika seleksi tersebut diberlakukan kepada seluruh alumni MA/Pesantren pemilik ijazah mu’adalah, seperti yang disebutkan pada poin 4b, sehingga semua camaba memiliki legalitas yang sama untuk mendapatkan rekomendasi ke Al-Azhar dari Kemenag RI.

2.      Seleksi di Kemenag RI Perlu Dilaksanakan Lebih Awal

Merujuk kepada pengumuman Kemenag RI di atas, seleksi akan dilaksanakan pada 25 dan 29 Agustus 2022 dan pengumuman hasil seleksi akan dilaksanakan pada 31 Agustus 2022.

Hemat kami, jadwal pelaksanaan seleksi tersebut sangat terlambat dan keterlambatan tersebut akan mengakibatkan dua hal yang kurang baik:

a. Para alumni MA/Pesantren yang lulus kelas XII, rata-rata sudah mendaftar di perguruan tinggi dalam negeri pada bulan Agutus. Jika mereka tetap ikut tes ke Al-Azhar dan dinyatakan lulus, mereka akan meninggalkan perkuliahan di dalam negeri, termasuk PTN. Tentu PTN yang ditinggalkan sangat rugi, sebab kursi yang ditinggalkan akan kosong, padahal banyak pendaftar yang ingin masuk di PTN namun tidak lulus.

b.    Mereka akan terlambat memulai studi pada program S1 Universitas Al-Azhar Mesir.

Sebaiknya, seleksi oleh Kemenag RI dilakukan sebelum siswa/santri mengikuti ujian di pesantren/sekolah mereka (sekitar bulan Maret-April). Jika mereka lulus MA/Pesantren, mereka dapat melanjutkan proses studinya ke Al-Azhar. Jika tidak lulus MA/Pesantren, kelulusan mereka pada seleksi Kemenag RI dapat dianulir. Pelaksanaan seleksi di bulan Maret-April ini sangat perlu dipertimbangan. Mengapa?

Jika camaba melaksanakan seleksi di bulan Agustus (seperti tahun ini), maka mereka baru mengikuti kelas bahasa sekitar September-Oktober. Jika rata-rata camaba tersebut mengikuti kelas persiapan bahasa 3-4 bulan (baik di PUSIBA Jakarta maupun di Markaz Syaikh Zaid di Mesir), maka mereka baru akan selesai kelas bahasa pada bulan Desember-Januari. Sementara itu, tahun akademik baru di Al-Azhar dimulai setiap September-Oktober. Jika camaba tersebut baru lulus kelas persiapan Bahasa Arab pada Desember, artinya para camaba tersebut tidak akan dapat masuk program S1 Al-Azhar tahun 2022, sebab mereka sudah terlambat dan bulan Januari sudah masuk ujian termin I di Al-Azhar. Jika pun mereka tetap dipaksakan masuk S1 Al-Azhar pada tahun 2022, maka para camaba harus menguasai materi ujian termin I dalam waktu I bulan saja. Tentu hasilnya akan sangat kurang baik.

Jika pada Desember 2022 para calon MABA 2022/2023 baru lulus kelas bahasa dan tidak langsung masuk S1 Al-Azhar, artinya mereka akan menganggur berbulan-bulan, sampai bulan Agustus 2023, baik di Indonesia maupun di Mesir. Masa tunggu inilah yang sangat rawan menimbulkan persoalan-persoalan serius pada camaba antara lain:

Jika camaba tersebut menghabiskan masa tunggu di Indonesia, maka persoalannya adalah dampak sosial yang sering menjadikan camaba tidak percaya diri, sebab setiap hari tetangga dan orang tua akan bertanya: kapan berangkat ke Mesir? Selain itu, keterampilan Bahasa Arab yang sudah mereka dapatkan di PUSIBA, akan lupa, apalagi jika mereka tidak memaksakan diri untuk menjaga kemampuan tersebut.

Jika masa tunggu tersebut mereka dihabiskan di Mesir, persoalan yang biasanya muncul adalah: perpanjangan izin tinggal Mesir yang tidak mudah, sehingga sering sekali pada masa tunggu ini para mahasiswa tidak memiliki ijin tinggal. Hal ini sangat rentan bagi keamanan camaba. Jika suatu ketika ada razia dari pihak keamanan dan mahasiswa kita ketangkap basah tidak memiliki izin tinggal, maka mahasiswa tersebut akan dipastikan diciduk pihak keamanan, yang konsekuensinya dapat berupa deportasi. 

3.    Pemberlakuan Kembali Sertifikat Muwahhadah Kemenag RI

Sejak tahun 2012, atas dasar MoU dengan Universitas Al-Azhar, Kemenag RI mengeluarkan kebijakan untuk menerbitkan sertifikat tunggal bagi para siswa/santri yang akan melajutkan studi S1 ke Universitas Al-Azhar. Sertifikat tersebut dikenal dengan istilah Syahadah Muwahhadah. Jadi, setiap pelajar/santri yang lulus SLTA/MA/Pesantren dan ingin kuliah ke Al-Azhar, selama sekolahnya diakui oleh Kemenag RI atau oleh Kemendikbud RI, mereka dapat ikut seleksi di Kemenag RI. Dengan demikian, peluang studi ke S1 Al-Azhar tidak hanya menjadi dominasi alumni MA/Pesantren, sehingga para alumni SLTA atau pesantren yang diakui Kemenag RI memiliki peluang yang sama untuk mengikuti seleksi ke Al-Azhar. Hal ini disebabkan, bahwa fakta di lapangan menunjukkan, banyak SMA berasrama dengan sistem pendidikan 24 jam yang juga mengajarkan ilmu-ilmu keislaman dan Bahasa Arab, yang terkadang kemampuan Bahasa Arab mereka tidak kalah oleh alumni MA/Pesantren. Dengan demikian, mereka harus diberi peluang yang sama untuk melanjutkan studi ke Al-Azhar Mesir.

Para siswa/santri yang dinyatakan lulus dalam seleksi Kemenag RI tersebut, akan diberikan sertifikat/syahadah Muwahhadah tersebut yang diakui oleh Al-Azhar dan dapat digunakan untuk mendaftar pada S1 Al-Azhar.

Hanya saja, kebijakan penggunaan syahadah Muwahhadah tersebut membuat “gerah” beberapa pihak, tertutama mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Hemat kami, kekeliruan penerapan syahadah Muwahhadah tersebut akibat tidak teliti dan transparannya pelaksanaan seleksi di Kemenag beberapa tahun lalu, sehingga alumni beberapa pesantren yang dikenal memiliki kualifikasi sangat baik di level nasional, dinyatakan tidak lulus dalam seleksi tersebut. Bahkan, pada sekitar tahun 2018, panitia pernah mengumumkan hasil seleksi dimana para peserta dari sebuah provinsi tidak satu pun dinyatakan lulus. Ada juga, lulusan terbaik salah satu pesantren terkemuka di Indonesia, yang dinyatakan tidak lulus pada seleksi tersebut. Setelah banyak pihak yang memprotes pengumuman tersebut, akhirnya panitia melakukan pemeriksaan ulang lembar jawaban dan yang bersangkutan dinyatakan lulus. Tahun ini, yang bersangkutan lulus S1 Al-Azhar tepat waktu dan meraih yudisium tertinggi Summa Cum Laude (Mumtaz Ma’a Syaraf). Artinya, sejak awal hasil seleksi yang bersangkutan sangat baik dan ia mampu. Buktinya, di Al-Azhar pun lulus tepat waktu dan meraih prestasi tertinggi. Malah, melihat nilai yang bersangkutan, harusnya ia berhak mendapatkan beasiswa Al-Azhar yang dititip di Kemenag RI saat itu.

Hemat kami, pada dasarnya kritik di atas bukan ditujukan kepada syahadah Muwahhadah nya, tetapi kepada sikap tidak transparan dan kurang profesionalnya pelaksanaan seleksi kala itu, yang mengakibatkan rendahnya kepercayaan para pengelola sekolah/pesantren pada pelaksanaan seleksi di Kemenag RI saat itu. Dengan demikian, harusnya yang menjadi penentu seseorang dapat melanjutkan studi ke S1 Al-Azhar, bukan hanya ijazah yang mu’adalah, tetapi juga kompetensi individu yang dibuktikan pada seleksi nasional yang diselenggarakan Kemenag RI. Jika terdapat siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, tetapi lembaga tempat ia sekolah/mesantren belum mu’adalah, maka ia dapat diberikan syahadah muwahhadah oleh Kemenag RI seperti yang sudah berlangsung sejak tahun 2013 tersebut. Dengan demikian, ia tidak akan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan studi ke Al-Azhar. Bukankah akal sehat kita semua mengatakan: ijazah mu’adalah bukan jaminan bahwa pemilik ijazah tersebut memiliki kompetensi yang jauh lebih baik dari yang sekolahnya belum mu’adalah. Bisa jadi, sekolah yang karena satu hal tertentu belum mu’adalah, tetapi kualitas lulusannya sangat baik dan dapat bersaing. Inilah yang harus juga diakomodir oleh negara.

Selain itu, jika syahadah Muwahhadah tidak diberlakukan lagi dan setiap pesantren diharuskan memu’adalahkan pesantrennya masing-masing, maka yang dikhawatirkan adalah terjadinya upaya permu’adalahan yang “dipaksakan.” Bahkan, bisa saja terjadi “percaloan” proses mu’adalah yang tidak sehat.

Kami sangat mengapresiasi adanya pesantren/sekolah yang telah memu’adalahkan dirinya dengan Al-Azhar. Akan tetapi, penggunaan ijazah mu’adalah lembaga-lembaga tersebut, perlu mendapatkan pengawasan yang serius, sistematis dan transparan, supaya tidak terjadi sikap-sikap pragmatis dan tidak terpuji lainnya dalam menerbitkan ijazah mu’adalah di lembaga-lembaga tersebut.

4.    Penguatan Mekanisme Pemberangkatan

Di atas telah dijelaskan perlunya penguatan dan perbaikan jadwal seleksi di Kemenag RI. Jika seleksi dapat dilakukan lebih awal, maka diharapkan agar para Camaba dapat diberangkatkan ke Mesir dalam dua kelompok besar: mereka yang mengikuti kelas persiapan Bahasa Indonesia, baiknya diberangkatkan ke Mesir antara Agustus-September. Adapun yang mengikuti kelas Bahasa di Mesir, mereka harus diberangkatkan pada Juni-Juli.  Hal ini untuk mengantisipasi keterlambatan kuliah S1 di Al-Azhar. Jika para camaba baru diberangkatkan bulan Desember, maka artinya mereka akan terlambat masuk kuliah S1 Al-Azhar dan mereka akan menganggur selama satu tahun akademik.

Pada akhirnya, keberlangsungan studi adik-adik kita di Al-Azhar Mesir adalah tanggung jawab kita semua, dimana masyarakat dan negara harus hadir memberikan kepedulian dan keberpihakan, supaya beberapa ekses negatif yang terjadi akibat tidak profesionalnya pengurusan camaba baru ke Al-Azhar tidka terulang lagi. Selain itu, agar para camaba memiliki kesiapan jasmani dan ruhani untuk menempuh sulitnya studi di Al-Azhar, sehingga mereka dapat lulus tepat waktu, segera kembali ke tanah air dan turut membangun negeri tercinta Indonesia ini. Wallahu ‘Alam Bishhawab

Penulis: Dr. Cecep Taufikurrohman, MA,  Wakil Dekan Fakultas Agama Islam UM Bandung, Staf Atdikbud RI di Mesir 2009-2020

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال