Bagaimana Pengertian dan Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam?

Bagaimana Pengertian dan Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam?

Oleh: Khairatun Hisan

KULIAHALISLAM.COM - Sebagai seorang muslim, tentunya fatwa bukanlah suatu istilah yang asing didengar. Bahkan negara kita telah memiliki lembaga fatwa tersendiri bernama Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini kerap mengeluarkan fatwa-fatwa yang relevan terhadap perkembangan zaman saat ini. 

Apabila terdapat sesuatu fenomena baru yang belum diketahui hukumnya, maka Majelis Ulama Indonesia akan mengeluarkan fatwa untuk menjawabnya. Sebagai contoh terkait kegiatan beribadah di masa pandemi COVID-19 yang terjadi beberapa tahun terakhir. Namun sebenarnya apa yang dimaksud dengan fatwa dan kedudukannya dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia? Apakah wajib hukumnya mengikuti fatwa?  

Fatwa secara teoritis merupakan suatu produk hukum Islam guna menetapkan suatu hukum atas permasalahan-permasalahan kontemporer. Fatwa adalah jawaban atas persoalan yang diajukan oleh seseorang/kelompok yang meminta fatwa tersebut. 

Di Indonesia, fatwa bukanlah termasuk sistem pengambilan hukum di Indonesia karena tidak mempunyai kedaulatan dan legalitasnya tidak harus diikuti oleh umat muslim di Indonesia. Fatwa merupakan pendapat hukum dalam tatanan hukum di Indonesia yang sifatnya boleh diikuti atau tidak diikuti.

Secara etimologis, fatwa berasal dari kata Bahasa Arab, afta yang berarti petuah, nasihat, dan jawaban pertanyaan hukum. Amir Syarifudin menyatakan bahwa fatwa berasal dari kata ifta’ yang merupakan asal dari kata afta’ yang artinya memberikan penjelasan. Menurut Yusuf Qardhawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tIdak, baik perseorangan maupun kolektif.

Dalam Islam, fatwa memiliki kedudukan yang tinggi. Fatwa merupakan salah satu alternatif dalam memecahkan masalah yang terjadi untuk menjawab perkembangan zaman yang tidak terdapat dalam dalil nas. Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan solusi bagi umat Islam akan sebuah permasalahan hukum. 

Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap. Posisi fatwa di kalangan masyarakat umum seperti posisi dalil bagi mujtahid.

Dalam sistem hukum Indonesia, jika mengacu pada jenis dan peraturan yang disebutkan dalam UU 12/2011, fatwa MUI bukanlah jenis undang-undang yang mengikat. Dalam UU No. 12/2011, peraturan yang termasuk dalam hierarki perundang-undangan adalah UUD 1945, TAP MPR, UU, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden, Peraturan Provinsi, dan Peraturan Kabupaten/Kota. 

Ma'ruf Amin berpendapat bahwa fatwa MUI yang telah diakomodasi berdasarkan perintah undang-undang secara otomatis mengikat rakyat Indonesia. Fatwa MUI memiliki kekuatan yang mengikat dalam hukum Islam tetapi dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, fatwa MUI memiliki kekuatan mengikat jika mereka adalah mandat hukum atau telah diserap dalam undang-undang. 

Selama belum ditetapkan menjadi hukum yang positif, fatwa MUI merupakan hukum aspirasional dalam konteks hukum nasional. Namun dalam praktiknya, Fatwa MUI sangat dibutuhkan oleh masyarakat Islam sebagai panduan dan solusi atas suatu masalah.

Menurut Ainun Najib, posisi MUI dalam kenegaraan Indonesia sebenarnya berada dalam elemen infrastruktur kenegaraan, karena MUI merupakan organisasi ulama Islam yang memiliki tugas pemberdayaan masyarakat yang berarti MUI adalah organisasi masyarakat yang bukan lembaga negara. Sebagai kekuatan sosial politik yang ada dalam infrastruktur kenegaraan, fatwa MUI hanya mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat Muslim yang merasa memiliki hubungan dengan MUI. 

Legalitas fatwa tersebut juga tidak mampu memaksa harus dipatuhi oleh seluruh umat Islam. Mahfud MD berpendapat bahwa fatwa bisa mengikat jika sudah diberikan bentuk hukum tertentu oleh lembaga yang berwenang. 

Meskipun bukan hukum positif, dalam teori dasar pengenalan ilmu hukum, doktrin (pendapat ahli) yang mencakup fatwa MUI sebagai salah satu sumber hukum selain sumber hukum lainnya seperti hukum dan peraturan, keputusan peradilan, serta traktat dan kebiasaan.

Tidak semua orang berwenang mengeluarkan fatwa. Adapun syarat-syarat untuk bolehnya seseorang berfatwa menurut Muhammad bin Shalih al Utsaimin yaitu:

Seseorang yang berfatwa (mufti) mengetahui suatu hukum dengan yakin atau persangkaan kuat. Apabila tidak mengetahuinya, maka ia wajib untuk tawaqquf.

Jika pertanyaan seseorang yang meminta fatwa (mustafti) masih belum jelas bagi mufti, maka mufti harus bertanya kepada mustafti tentang pertanyaannya tersebut. Seorang mufti hendaknya memberikan jawaban secara rinci agar mudah dipahami oleh mustafti.

Seorang mufti dalam keadaan tenang sehingga ia mampu menggambarkan masalah dan menerapkannya dengan dalil-dalil syar’i. Janganlah seorang mufti berfatwa ketika dalam keadaan marah, sedih, dan sebagainya.

Demikian pengertian dan kedudukan fatwa dalam hukum Islam dan hukum positif. Semoga bermanfaat.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال