Membaca Peluang Mendirikan Rumah Ibadah Multi Agama Di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

Membaca Peluang Mendirikan Rumah Ibadah Multi Agama Di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

Oleh: Rayno Dwi Adityo, M.H

KULIAHALISLAM.COM - Sekitar Juli 2022, saya melakukan kunjungan dinas ke Universitas Sebelas Maret Surakarta atau yang biasa disingkat UNS dalam rangka studi banding proses pelaksanaan akreditasi internasional. 

Sesampainya di kampus itu ada hal yang menarik perhatian saya, disana berdiri sejumlah tempat ibadah multi agama dan keunikannya terletak di dalam area kompleks perguruan tinggi tersebut, lalu satu sama lain jaraknya cukup berdekatan. 

Rumah ibadahnya terdiri dari masjid, gereja, vihara, pura dan klenteng. Selain UNS rupanya kampus lain mulai menyusul dengan program sejenis, tiga kampus itu diantaranya adalah UI, UGM dan Universitas Pancasila. Sepintas kita amati ternyata rumah ibadah multi agama tersebut rata-rata diinisiasi oleh perguruan tinggi berlatar belakang non keagamaan. 

Spontan dalam benak saya terbesit pertanyaan jika perguruan tinggi non keagamaan saja dapat mendirikan tempat ibadah multi agama, maka bukan tidak mungkin bagi perguruan tinggi keagamaan Islam baik negeri atau swasta untuk mengadaptasikan hal yang serupa. 

Sedikitnya ada dua alasan mengapa dirasa perlu untuk mempertimbangkan mendirikan tempat ibadah multi agama di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).

Jaminan Hukum Terhadap Akses Pendidikan Agama Yang Tidak Diskriminatif Terhadap Kebinekaan

Kita sudah mengetahui bahwa kebebasan beragama dan pengamalan ajarannya dijamin oleh UUD 1945 tepatnya pada pasal 28E ayat 1, pasal 29 ayat 1 dan 2. Pada zaman Rasulullah SAW konteks serupa pernah terjadi ketika itu kaum Yahudi dari suku ‘Auf diberi kebebasan dalam berkeyakinan dan menjalankan peribadatannya, risalah ini tertuang dalam Pasal 25, ayat 1, 2 dan 3 Piagam Madinah. 

Kebebasan beragama juga dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 4, pasal 71, pasal 22 ayat 1 dan 2. 

Sejauh ini, belum ditemukan peraturan khusus mengenai kerangka hukum pendirian rumah ibadah di lingkungan perguruan tinggi, namun untuk pendirian rumah ibadah pada pemukiman di kabupaten atau kota diatur melalui Peraturan Bersama Menteri Agama.

Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksana Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukuan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. 

Walaupun demikian prinsip-prinsip yang dituju oleh hukum secara implisit memberikan ruang kemungkinan dapat diwujudkannya rumah ibadah multi agama sebagai bentuk dari penyelenggaran pendidikan tinggi yang memperhatikan faktor keberagaman atau kemajemukan.

Prinsip demokratis, prinsip tidak diskriminatif, menjunjung nilai agama, budaya, persatuan kesatuan bangsa, dimana proses pembelajaran dilaksanakan dengan interaktif tanpa membedakan suku, ras, agama, antar golongan, jenis kelamin, kedudukan sosial, tingkat kemampuan ekonomi dan politik. 

Semua ketentuan tersebut memiliki dasar hukum yang kuat diatur dalam pasal 2, pasal 6 butir (b) dan pasal 11 ayat 3 UU RI Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.

PTKI Sebagai Episentrum Pengembangan Sikap Keberagaman dan Moderasi Beragama

Salah satu program pemerintah melalui kementrian agama adalah program moderasi beragama dan kebhinekaan yang gencar disosialisasikan ke setiap institusi pendidikan dari level paling dasar hingga level perguruan tinggi termasuk perguruan tinggi Islam. 

Bentuk kegiatannya bisa bermacam-macam, seperti pendidikan toleransi atau deradikalisasi, tetapi menurut saya, program-program moderasi di lingkungan kampus Islam lebih dominan dengan kegiatan yang bersifat seremonial contohnya seperti seminar, himbauan, pesan ilmiah, selebaran atau semboyan. 

Upaya menanamkan nilai moderasi dan keragaman seringkali berakhir pada “meja” akademik atau semisal untuk memenuhi kebutuhan nilai akreditasi institusi, belum lagi pesan-pesan yang diberikan cenderung menggunakan kalimat yang rumit dan sulit untuk dicerna. 

Pola komunikasi dengan karakteristik tersebut tidak selalu efektif dalam mencapai tujuan karena tidak semua orang dapat memahaminya. Karena harapannya apa yang berhasil diterapkan di dalam lingkungan kampus dapat berhasil nantinya saat di terapkan di masyarakat. 

Memang beberapa perguruan tinggi Islam telah berhasil menerapkan nilai-nilai moderasi di lingkungan akademik kampusnya dengan menerima mahasiswa non-muslim, seperti yang telah dilakukan UMM dan Unimuda Sorong Papua. 

Program semacam ini sebenarnya dapat menjadi langkah awal dari program-program selanjutnya seperti mendirikan rumah ibadah multi agama. Jika berhasil, selain telah menjalankan amanat yang terkandung dalam UUD 1945, juga akan menjadi laboratorium terapan bagi pendidikan Islam yang menjunjung tinggi toleransi dan kebinekaan. 

Pendirian rumah ibadah multi-agama di lingkungan perguruan tinggi Islam tentunya tidak akan menghalangi atau menghilangkan pendidikan agama Islam, karena itu sudah merupakan ruhnya sebagai bagian integral dari kurikulum perguruan tinggi Islam itu sendiri, maka tak perlu berprasangka buruk terkait gagasan ini. 

Jangan sampai kampus-kampus Islam tertinggal dengan perguruan tinggi non keagamaan dengan program-program yang responsif dalam merawat nilai-nilai moderasi dan multikultural di lingkungan akademis kampusnya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

1 Comments

  1. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang sangat diperlukan tempat ibadah dapat di baca pad link berikut ini: https://news.unair.ac.id/2021/06/15/analisis-pemanfaatan-pelayanan-kesehatan-di-tempat-ibadah/

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال