Makna Imsak ‘An dan Imsak Bi Ketika Berpuasa Ramadan Menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat


KULIAHALISLAM.COM - Jalaluddin Rakhmat lahir di Bandung pada 29 Agustus 1949 dan wafat Februari 2021 akibat Virus Corona. Ia adalah sarjana ilmu komunikasi lulusan Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Master of Science dari IOWA State University. 

Dalam karyanya Islam Aktual, ia menjelaskan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaanya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. 

Nabi Muhammad SAW mengambil makanan dan berkata kepadanya: “Makanlah”. Perempuan itu berkata : “saya sedang puasa ya Rasulullah.”

Kata Nabi Muhammad SAW kemudian: “Bagaimana mungkin engkau berpuasa, padahal telah kau maki budakmu. Puasa bukan hanya menahan makanan dan minum saja. Allah telah menjadikan puasa sebagai penghalang, selain dari makanan dan minuman, juga dari hal-hal tercela, perbuatan atau perkataan yang merusak puasa. Alangkah sedikitnya yang puasa, alangkah banyaknya yang lapar”.

Ma aqallash shawwam wa ma aktsaral jawaa (sedikit betul yang puasa, dan banyak betul yang hanya lapar saja). 

Ucapan Nabi yang terakhir ini menyimpulkan perbedaan puasa dengan melaparkan diri. Puasa menurut definisi para ahli fikih adalah menahan diri dari segala yang merusak dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah (al-imsak ‘anil-mufthirat al-ma’hudat bi qashdi qurabah).

Dalam definisi tentang shaum, ada kata al imsak. Dalam bahasa Arab, kata dasar al imsak dapat disusul dengan ‘an atau bi. Imsak ‘an adalah self-restraint

Imsak bi maknanya berpegang teguh kepada sesuatu yang dijadikan gantungan atau pegangan. Dalam salah satu doanya, Imam Zainal Abidin, cucu Nabi berkata: “wala’ umsiku illa bihablih" (aku tidak berpegang teguh kecuali pada tali Allah). 

Hakikat puasa terletak pada imsak ‘an (menahan diri) dan imsak bi (berpegang teguh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya). Anda dapat berimsak ‘an tetapi tidak berimsak bi. Anda menahan diri dari makan dan minum tetapi bukan karena berpegang teguh kepada ajaran Tuhan. 

Boleh jadi anda imsak bi, kelihatannya seperti berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-sunnah tetapi anda tidak imsak ‘an. Semestinya yang imsak bi itu dengan sendirinya imsak ‘an. Kenyataanya tidak. 

Anda orang yang sangat keras meneriakan kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi mengkafirkan orang muslim yang tidak sepahaman. Anda kelihatan berpegang teguh kepada ketentuan puasa tetapi anda tidak dapat menahan diri dari memfitnah, mengumpat, dan memaki. 

Kata Nabi, anda bukanlah orang puasa, anda hanyalah orang lapar. Ada orang yang tidak imsak ‘an dan bi. Inilah orang yang mempertahankan hawa nafsunya dan tidak mempunyai nilai-nilai yang membimbing hidupnya. Ia mengalami kekosongan hidup. Hidupnya sama sekali tidak bermakna.

Makna Imsak Bi Menurut Jalaluddin Rakhmat

Jadi, tanda orang takwa yang pertama seperti tanda al shawwam adalah imsak bi. Ia mempunyai keyakinan yang di pegang teguh. Ia berusaha tegak di atas keyakinan itu. Sekali ia memutuskan sesuatu itu benar, maka ia akan mempertahankannya dengan seluruh hidupnya. Ia tidak dapat dibeli, juga tidak dapat ditakut-takuti.

Ketika Abu Thalib dengan berurai air mata menyuruh Nabi Muhammad SAW menghentikan dakwahnya, Nabi berkata: “Ah, pamanku. Sekiranya mereka meletakan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tak akan berhenti. Untukku hanya ada satu pilihan, Allah memenangkan perjuanganku ini atau aku akan binasa didalamya."

Ketika seorang sahabat meminta wasiat kepada Nabi, beliau berkata singkat: “Nyatakan Tuhanku Allah, kemudian bersiteguhlah dalam pernyatanmu”. Imam Ali bin Abi Thalib menasehati para pengikutnya “Sesunggunya Allah membenci al mutalawwin”, janganlah kalian meninggalkan kebenaran dan membela kebenaran”.

Al mutalawwin artinya orang yang berganti-ganti warna. Seperti bunglon, ia mengubah warnanya hanya ketika mencari selamat. Dahulu pada zaman Yunani ada kelompok Sophis yang melatih murid-muridnya secara unik. 

Mula-mula mereka ditugaskan menyusun pidato yang membela keyakinan tertentu, misalnya, Tuhan ada. Setelah itu, mereka disuruh menyampaikan pidato sebaliknya bahwa Tuhan itu tidak ada. Bila mereka berhasil kedua-duanya maka mereka lulus. 

Kaum shopis mendidik bunglon karena itu Socrates dan Plato mengecam mereka. Pada zaman sekarang, sikap bunglon ini sering disebut Pragmatisme. Pendidik kita adalah lingkungan. Kita melihat orang disisihkan karena berpegang teguh pada keyakinanya. 

Sementara itu, kita saksikan para pencari muka naik ke atas. Berpegang teguh kepada norma-norma agama dipandang dengan cemoohan hanya karena memakai jilbab, seorang wanita dapat dikeluarkan dari sekolahnya atau pekerjannya. Karena ingin menegakan kebebasan berpendapat, ia dituduh sebagai ekstremis.

Bersamaan dengan pragmatisme, muncul ketidakkonsistenan antara keyakinan dan tindakan, tidak konsisten antara perbuatan dan perkataan. Misalnya, anda mengajarkan orang hidup sederhana tetapi anda menumpuk kekayaan. Anda mencintai rakyat kecil, sembari penumpas sumber penghidupan mereka.

Anda menganjurkan kebersihan moral, sambil melakukan skandal. Jadi, puasa melatih anda berimsak bi (mempertahankan keyakinan). Ini berarti anda melatih diri untuk menghindari kepribadian al mutalawwin (bunglon). Imsak bi adalah tanda al shawwam dan orang-orang yang takwa.

Imsak ‘An

Dimensi imsak ‘an (menahan diri) sudah banyak dibicarakan. Imam Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin menyebutkan enam cara menahan diri pada waktu puasa ramadan. Pertama, menahan pandangan dan tidak mengumbarnya pada hal-hal yang tercela dan dibenci.

Kedua, menjaga lidah dari ucapan yang sia-sia, seperti berbohong, mengumpat, memfitnah, bertengkar dan membiasakan diam, serta menyibukan lidah dan zikir kepada Allah.

Ketiga, menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci agama. “Setiap yang haram untuk dikatakan, haram juga untuk didengarkan”, kata Imam Al Ghazali.

Keempat, menahan seluruh anggota tubuh yang lain dari dosa. Perut dari makanan haram, tangan dari menganiaya orang lain atau mengambil yang bukan hak, kaki menginjak-nginjak hak orang lain.

Kelima, manahan diri untuk tidak makan berlebih-lebihan walaupun dengan makanan halal. 

Keenam, sesudah berbuka, hendaknya hatinya selalu berada di antara cemas dan harap. Ia tidak boleh takut puasanya tidak diterima Allah, tidak juga terlalu yakin bahwa puasanya sempurna. Bila enam hal yang disarankan Imam Al Ghazali itu diamalkan bukan hanya pada bulan puasa maka kita akan menemukan takwa dalam realitasnya.

Pada zaman Nabi, ada dua orang perempuan yang sedang mengalami kepayahan dalam berpuasa, mereka itu lapar dan dahaga hingga hampir pingsan. Mereka meminta pada Nabi untuk izin berbuka. Nabi menyuruh mereka muntah.

Ternyata yang keluar dari muntahnya adalah darah dan daging busuk. Nabi bekata “Mereka berpuasa dari apa yang diharamkan Allah yakni makan dan minum tetapi mereka membatalkan puasanya dengan yang diharamkan Allah yaitu membicarakan kejelekan orang lain."

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال