Strategi Politik Muawiyah bin Abu Sufyan Sahabat Nabi Pendiri Dinasti Umayyah

KULIAHALISLAM.COM - Muawiyah bin Abu Sufyan lahir di Makkah sekitar April 602 Masehi atau sekitar 20 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Yastrib (Madinah). Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah dari keluarga Bani Umayyah yang dipimpin ayahnya Abu Sufyan. 

Mereka merupakan keluarga pedagang besar dari kabilah besar Quraisy yang berpusat di Mekkah. Ibunya bernama Hindun binti Utbah bin Rabi’ah bin Abdu Syams bin Abu-Manaf.

Pada mulanya mereka memang sangat menentang Islam dan baru menerimanya setelah pembebasan Mekkah pada tahun kedelapan sesudah hijriah sehingga Muawiyah dan Abu Sufyan disebut kaum Tulaqa (orang-orang yang dibebaskan dari hukuman perang). Kemudian mereka menjadi para administrator terkemuka di bawah Nabi dan para Khalifahnya.

Muawiyah kemudian diangkat Nabi Muhammad SAW sebagai salah seorang penulis wahyu dan Abu Sufyan sendiri menjadi mertua Nabi Muhammad SAW setelah puterinya bernama Ummu Habibah menikah dengan Nabi. Pada masa jahiliyah, Muawiyah tidak dikenal dalam sejarah. 

Pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Muawiyah diangkat sebagai komandan pasukan yang dikirim ke Damsyik (Suriah saat ini) sebagai bala bantuan di bawah komando kakaknya yaitu Yazid bin Abu Sufyan dalam membebaskan Syam (saat ini meliputi Palestina, Yordania, Suriah dan Libanon) dari kekuasaan Romawi. 

Muawiyah mampu membebaskan daerah Kaisariah (Caesarea sebuah kota lama yang sekarang terletak di Israel Utara). Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab RA. beliau mengangkat Yazid bin Abu Sufyan sebagai Gubernur Damsyik dan Muawiyah sebagai Gubernur Urdun (Yordania). Umar bin Khattab dapat menilai kecerdasan Muawiyah dalam berpolitik dan kemampuanya memperkuat militer di Syam serta perananya dalam menghadapi Romawi.

Tetapi rencana Muawiyah membangun kekuatan angkatan laut untuk mengimbangi Romawi ditolak Umar bin Khattab. Rencananya baru terlaksana pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Pada tahun 27 Hijriah, Muawiyah berhasil menaklukan Pulau Siprus. Muawiyah tetap menjabat sebagai Gubernur Syam sepanjang era Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.

Kedudukan Muawiyah Sebagai Khalifah

Setelah Imam Ali bin Abi Thalib gugur sebagai Syahid pada tahun 40 Hijriah, terjadilah perdamaian antara Muawiyah dan Imam Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 Hijriah. Umat Islam menyambut gembira perdamaian tersebut. 

Banyak sekali masyarakat senang Muawiyah menjadi Khalifah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan “Tidak ada seorang Raja umat Islam yang lebih baik daripada Muawiyah dan tiada rakyat di zaman seorang Raja yang lebih baik daripada rakyat di zaman Muawiyah. Itu jika era setelahnya dibandingkan dibandingakan dengan eranya. Sedangkan jika dibandingkan dengan era Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattb maka jelas berbeda.”

Metode Pemerintahan Dalam Negeri Muawiyah bin Abu Sufyan

Muawiyah bin Abu Sufyan diangkat sebagai Khalifah oleh sebagian besar kaum Muslimin bermula pada tahun 41 Hijriah. Sejak itu, mulailah ia bekerja dengan segenap kecerdasan, kecerdikan dan kompetensinya untuk memperkokoh sendi-sendi keamanan dan stabilitas Dunia Islam. 

Politik dalam negeri Muawiyah yang pertama adalah memperlakukan dengan sebaik-baiknya semua tokoh sahabat senior beserta putra putri mereka terutama Bani Hasyim.

Dengan kecerdasanya, Muawiyah segera merendam rasa sentimen mereka satu persatu. Dengan keramahnya, ia memanggil kembali mereka yang melarikan diri. Dengan kepandaiannya menahan amarah dan tekadnya, ia meluruskan kebengkokan mereka, sehingga ia dekat di hati dan jiwa mereka.

Ibnu Ath-Thuqthuqa berkata : “Muawiyah menjadi Khalifah Dunia Islam yang dipatuhi putra-putri kaum Sahabat dari Muhajirin dan Anshar”. Muawiyah sukses besar dalam kebijakan politiknya dan berhasil membuat lawan-lawannya berbalik menjadi teman serta pendukung setianya, sehingga mereka kerap menyanjungnya.

Salah satu kebijakan Muawiyah yang menjadi kontroversi adalah ia menghukum mati sahabat Nabi SAW bernama Hujr bin Adi hanya karena Hujr bin Adi mengkritik pedas kebijakan Ziyad bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat Walikota Kufah (Irak). Setelah peristiwa itu, Muawiyah benar-benar menyesali tindakannya dan peristiwa itu menghantuinya sepanjang hidupnya.

Saat Muawiyah bertemu Sayyidah Aisyah RA beliau mencela Muawiyah karena tindakannya itu. Muawiyah berkata : “Wahai Ummul Mukminin, biarkanlah urusanku dan Hujr hingga kami bertemu disisi Allah kelak”. Tidak hanya Sayyidah Aisyah, sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam juga mencela tindakan Muawiyah tersebut.

Tindakan Muawiyah terhadap Hujr bin Adi membuatnya berusaha manahan amarahnya, ia berkata : “Aku tidak mengambil pedangku selama cambuku sudah mencukupiku, Aku tidak mengambil cambuk ku selama mulutku sudah mencukupiku, seandainya antara diriku dan rakyat hanya terhalang oleh sehelai rambut, niscaya rambut itu tidak akan terputus.”

Kedua, Muawiyah melandasinya politik dalam negerinya dengan memperkokoh keamanan Dunia Islam. Untuk itu, ia menugaskan orang yang paling cerdas, paling kompeten, paling disiplin guna membantunya mengelola negara. Tokoh-tokoh yang diangkatnya tersebut berasal dari keluarganya sendiri seperti Utbah bin Abu Sufyan, Marwam bin Al-Hakam, dan Sa’id bin Al-Ash.

Ketiga, Muawiyah menjamin kekokohan pilar-pilar negaranya dengan mengawasi langsung segala urusan negaranya dan mengetahui persoalan yang besar maupun kecil. Muawiyah mempersilahkan orang menemuinya sebanyak lima kali dalam sehari semalam.

Politik Luar Negeri Muawiyah bin Abu Sufyan

Dalam kebijakan politik luar negerinya, Muawiyah tidak memperluas penahklukan secara signifikan. Muawiyah menganggap ancaman militer Persia sudah lenyap, hal yang perlu dilakukannya adalah memperkokoh wilayah yang sudah ditahklukan sekaligus menumpas berbagai pemberontakan. 

Muawiyah juga bertanggung jawab menyebarkan Islam di Persia dan menjaga wilayah perbatasan. Strategi ini mencapai kesuksesan di sayap timur negara Islam. Sementara sayap baratnya yaitu Syam dan Mesir yang berhadapan langsung dengan Romawi mendapat perhatian serius dari Muawiyah. 

Muawiyah berhasil membangun armada Laut Islam terbesar dan terkuat sehingga mampu menghadapi serangan Byzantium. Armada Laut tersebut berhasil menguasai banyak Pulau di perairan timur laut Mediterania seperti Pulau Siprus, Pulau Rhodes dan Pulau Kreta. 

Bahkan armada lautnya berkali-kali menyerang konstantinopel. Armada Laut tersebut juga berhasil menguasai Afrika Utara dari tangan Romawi. Armada Laut Muawiyah tercatat dalam sejarah berhasil mengalahkan Armada Laut Romawi. Selama kurang lebih dua puluh tahun, Muawiyah berjihad memperkokoh sendi-sendi negara.

Sumber : 

  1. Ali Audah dalam karyanya Ali bin Abi Thalib, terbitan Litera Antar Nusa.
  2. Prof. Dr. Abdussyafi Muahmmad Abdul Latif dalam karyanya Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, terbitan Pustaka Al-Kautsar.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال