Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah dalam Tafsir At Tanwir Muhammadiyah

Tafsir At Tanwir Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah

KULIAHALISLAM.COM - Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam fatwanya. Tiga ayat yang merupakan akhir Surah Al Fatihah menjelaskan cara menjalani kehidupan. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah telah menunjukkan jalan kehidupan yang harus ditempuh manusia, setelah manusia memahami asal usul kehidupannya.

Pemahaman mengenai asal usul kehidupan dan jalan kehidupan selayaknya dilandasi oleh keyakinan dan penghayatan adanya rahmat Allah yang merupakan substansi Surah Al Fatihah. Jalan kehidupan yang melandasi perjalanan hidup manusia, adalah keyakinan tauhid, yaitu tauhid rububiyah dan tauhid mulkiyah. Dalam ayat ini terkandung pula ajaran tentang tauhid uluhiyah.

Dua cara dalam menempuh kehidupan yang diisyaratkan dalam ayat tersebut adalah ibadah (pengabdian) dan isti'anah (permohonan pertolongan). Keduanya merupakan satu kesatuan. Penyebutan ibadah sebelum isti'anah mengisyaratkan perlunya pemenuhan kewajiban yang mendahului penerimaan hak-hak kemanusiaan, sebagaimana tercantum dalam ayat lima (5).

Kata na'budu (نعبد) merupakan kata kerja dari kata benda bentukan ibadah (عبادة). Menurut al-Zamakhsyari, al-'ibadah ialah merendahkan diri dan menundukkannya dengan sungguh-sungguh. Kata 'ibadah tidak dipergunakan kecuali hanya bagi Allah SWT. Dalam ibadah, selain menghadirkan unsur ketundukan, juga harus menghadirkan unsur cinta kepada Allah SWT. 

Menurut Rasyid Ridha, ibadah ialah ketundukan yang sebenar-benarnya yang lahir dari hati nurani, karena keagungan yang diabdi, yang tidak diketahui sumbernya dan karena keyakinan bahwa yang diabdi mempunyai kekuasaan yang tidak terjangkau oleh akal. 

Dengan demikian, orang yang tunduk kepada raja atau pemimpin tidak disebut mengabdi karena sebab ketundukannya dapat diketahui, misalnya karena takut kekejamannya atau karena mengharapkan pemberiannya atau penghargaannya.

Ibadah merupakan perwujudan dari tauhid uluhiyah yaitu keyakinan yang kuat dalam hati setiap muslim bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang patut dijadikan illah (Tuhan) yang haq, yang harus dipatuhi, ditaati, diagungkan, dimuliakan, menjadi sumber pengabdian dan menjadi tujuan dalam menjalani kehidupan." [Buku Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah, Jilid 1, Halaman 39].

Dipertegas lagi orang yang memohon pertolongan kepada kuburan, sekalipun orang Saleh, bahkan Nabi sekalipun, hal tersebut merupakan perbuatan syirik, baik si peminta tolong meyakininya hanya sebagai perantara saja ataupun meyakini dikabulkan olehnya langsung. 

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam Fatwa:

Sehubungan dengan itu, orang yang memohon pertolongan kepada kuburan, sekalipun kuburan orang shalih, atau kepada gunung, laut maupun patung, baik dengan cara menghadap atau memberikan sesaji, perbuatan tersebut termasuk sesat dan syirik, yang dosanya tidak diampuni Allah kecuali dengan bertaubat sebelum meninggal.

Manusia tidak diperkenankan minta tolong kepada hakim maupun pihak-pihak yang dianggapnya dapat meluluskan keinginannya, dengan menyuap dan melakukan tindakan yang tidak benar dan tidak patut. Dengan tindakannya itu, akan menyebabkan kerancuan, sehingga yang benar (haq) nampak salah, sebaliknya yang salah (bathil) justru dianggap benar. Allah SWT melarang minta pertolongan kepada selain-Nya dalam masalah apa pun, baik masalah keduniaan maupun masalah keakhiratan.

Allah mewajibkan memohon pertolongan kepada-Nya, baik dalam masalah yang ringan atau mudah maupun masalah yang berat atau sulit, sebab pada hakikatnya isti'änah (mohon pertolongan) sama dengan tawakkal. Allah akan menurunkan pertolongannya melalui jalan-jalan dan orang-orang yang dipilih-Nya untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya. [Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah, Jilid 1, Halaman 42].

Keyakinan akan kekuasaan mutlak Allah sebagai Tuhan yang menguasai segala sesuatu, selain diyakini oleh orang-orang muslim, juga diakui oleh orang-orang kafir/musyrik.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam Fatwa:

Kata rabb (رب) yang berarti pencipta juga mengandung arti bahwa Allah, dalam pandangan manusia, mempunyai kekuasaan untuk tidak menciptakan apa-apa. Tanpa menciptakan apa-apa pun Allah tetap sebagai Zat Yang Maha Agung dengan kekuasaan yang mutlak Allah mendesain atau merancang, menciptakan, memelihara, dan mengatur, serta nanti mengembalikan semu makhluk kepada-Nya.

Tujuan dari desain penciptaan ini adalah untuk menunjukkan kemahakuasaan-Nya atas segala ciptaan yang ada (Q.S. Ahqaf [46]: 33, al-'Ankabüt [29] 44; al-Jätsiyah [45] 22). Seluruh makhluk yang diciptakan oleh Allah merupakan wujud kemahakuasaan Allah, dan sekaligus sebagai saksi atas kekuasaan-Nya. Kemudian tugas manusia diciptakan di dunia adalah untuk mengabdi.

Bentuk kesaksian makhluk atas kekuasaan Allah itulah yang menunjukkan bahwa hanya eksistensi Allah saja yang kuasa, sedangkan makhluk sangat lemah. Tidak mengherankan jika dalam surah Fushilat ayat 53, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, Allah menyatakan bahwa Dia telah menghamparkan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta dan di dalam diri manusia sendiri. 

Hal ini menunjukkan secara tegas hamparan ciptaan itu bermakna bentuk persaksian atas eksistensi kekuasaan mutlak Allah (Q.S. al-Anbiya [21]:56; al-An'am [6]: 95-103). Persaksian itu bukan hanya dari manusia yang beriman saja, tetapi orang kafir sekalipun tidak bisa mengelak dari persaksian itu (QS. al-Zukhruf [43]: 9). Dengan demikian makna penciptaan alam semesta ini tidak sia-sia (QS. Ali 'Imran [3]; 191). [Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah, Jilid 1, Halaman 12].

Oleh: Ustaz Raihan Ramadhan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال