Sejarah Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara

Kerajaan Kutai

KULIAHALISLAM.COM - Kerajaan Kutai di Kalimantan merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Ada dua kerajaan di Kutai yaitu Kerajaan Kutai di Martapura (abad ke-4 sampai abad ke-17) dan Kerajaan Kutai Kartanegara (awal abad ke-14 sampai abad ke-19). Kerajaan Kutai Martapura terletak di Muara Kamam, pedalaman Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.

Walaupun bukti-bukti yang ada menunjukan Kerajaan tertua di Indonesia terletak di Kalimantan, namun sedikit sekali diperhatikan para penulis tambo di daratan China. Hal ini cukup menarik, karena biasanya para penulis tambo China rajin sekali menulis hal-hal aneh yang mereka ketahui dari suatu daerah asing.

Willem Pieter Groeneveldt dalam bukunya "Notes on the Malay Archipelago and Malacca Complied from Chinese". Berita tertua China yang bertalian dengan salah satu daerah di Kalimantan berasal dari zaman Dinasti Tang (618-906), padahal berita-berita China yang berhubungan dengan Jawa sudah ada sejak abad V Masehi, dan Sumatra pada awal abad VI Masehi, pada zaman pemerintahan Dinasti Liang tahun 502 Masehi.

Keberadaan Kerajaan Kutai berdasarkan penemuan beberapa prasasti yang di pahat di atas tiang batu pengikat kurban persembahan (yupa), yang berasal dari abad ke-5 M. Kerajaan yang berlangsung kurang lebih 13 abad diperintah oleh 25 Raja, dengan Maharaja Mulawarman Nala Dewa sebagai raja pertama.

Terdapat dugaan kuat bahwa Raja tersebut menganut agama Hindu. Dugaan tersebut diperkuat oleh tulisan di prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Mulawarman melakukan upacara sedekah dengan menghadiahkan 20.000 ekor sapi untuk para Brahmana di sebidang tanah yang dipandang suci. 

Adapun Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri sekitar tahun 1300 Masehi terletak di Tepian Batu, tidak jauh dari tepi muara Sungai Mahakam. Menurut hikayat, kerajaan tersebut didirikan oleh anak seorang kepala kampung, Kutai Lama yaitu Aji Batara Adung Dewa Sakti. Adapun Kerajaan  Kutai Kartanegara dan Kutai Martapura sering terjadi peperangan. 

Pada awal abad ke-17 Masehi Kerajaan Kutai Kartanegara berhasil memperoleh kemenangan sehingga Kerajaan Martapura disatukan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara. Sejak itu Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martapura.

Pada saat Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri, alam pikiran dan kepercayaan masyarakat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu atau Budha. Hal itu terlihat dari anggapan masyarakat bahwa raja adalah penjelamaan Dewa. Perkembangan kedua agama di Kerajaan tersebut semakin melemah dengan adanya hubungan dengan dunia luar, khusnya dengan daerah-daerah yang telah memeluk Islam, misalnya, Makassar.

Meskipun agama Islam secara pasti belum masuk di Kerajaan tersebut, pengaruh itu mulai terlihat pada masa pemerintahan Raja Aji Wirabayan (1370-1420), yang juga bernama Aji Maharaja Sultan. Menurut berita Hikayat Kutai Kartanegara, pada saat itu Raja Aji Wirabayan belum memeluk Islam.

Islam berkembang secara intensif pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota atau Aji Raja Diistana atau Aji Dimakam (1525-1600). Raja sendiri saat itu telah masuk Islam. Begitupula dengan putranya yang bernama Aji Dilanggar atau Aji Mandaraya (memerintah 1600-1605 M). 

Pada masa itu hidup seorang Ulama terkenal bernama Said Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar al-Warsak. Makam mereka yang terletak di Kutai Lama dianggap kramat, di atas makam-makam tersebut terdapat tulisan Arab.

Karena Rajanya telah memeluk Islam, maka masyarakat pun masuk Islam. Pelajaran agama diadakan di madrasah dan dapat diikuti oleh anak-anak maupun orang dewasa. Pengajian Al-Qur’an diadakan dengan sungguh-sungguh. Adapun penduduk yang enggan masuk Islam semakin terdesak di pedalaman dan hidup terisolasi.

Ajaran Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara berkembang demikian pesat dan kuat. Agama terdahulu tidak banyak meninggalkan bekasnya. Kedua undang-undang Kesultanan yaitu Panji Selatan dan Braja Nanti , seta pengaturan Kesultanan didasarkan pada ajaran Islam.

Dalam laporan J. Zwager, seorang Belanda yang pernah bertugas sebagai asisten residen di Kalimantan Timur, disebut nama seorang Sultan yang wafat tanggal 1 Juli 1845, yaitu Aji Sultan Muhammad Salehuddin atau Marhum Tenggarong Anak (memerintah 1782-1845). Pemerintahanya dinilai kuat dan bijaksana. Pada masa itu, pengakuan atas kedaulatan Belanda di Kaliamantan Timur sudah dilakukan (Oktober 1844).

Sepeninggal tersebut, suasana Kesultanan semakin memburuk dan pemerintahan kacau balau. Laporan Zwager melukiskan situasi Kesultanan sesudah masa Aji Sultan Muhammad Salehuddin sebagai situasi malaise dari pranata dan sistem kerajaan pribumi di Nusantara. 

Seperti kerajaan-kerajaan tradisional lainnnya di tanah air, karena kebobrokan pemerintah dan kebejatan moral penguasa serta penetrasi bangsa asing dengan keunggulan militer dan ekonominya, Kesultanan Kutai pun pada akhirnya mengalami kemunduran.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال