Frithjof Schuon Filsuf Metafisika Barat yang Menjadi Muslim

KULIAHALISLAM.COM - Frithjof Schuon lahir di  Basel, Swiss 08 Juni 1907  dan wafat tahun 1998. Ia  merupakan ahli perbandingan agama kontemporer dan salah satu pemimpin aliran filsafat perenial (metafisika tradisional keagamaan yang memperlihatkan hakikat kenyataan Ilahi dalam segala sesuatu kehidupan dan pikiran) yang sangat memiliki otoritas dibidangnya.

Pada mulanya Frithjof Schuon menganut agama Katolik, lalu hidup sebagai Gnostik (ajaran yang skeptis terhadap teologi resmi Gereja). Setelah melewati pengembaraan yang cukup lama, akhirnya pada tahun 60-an, ia menentukan pilihan untuk menjadi seorang Muslim dan menyandang nama Muhammad Isa Nuruddin.

Frithjof Schuon berasal dari keturunan Jerman. Ayahnya seorang musisi. Setelah ayahnya meninggal di Basel, ia dibawa oleh ibunya ke Mulhouse, Prancis dan menjadi warga negara Prancis. Dalam usianya yang masih muda, ia menguasai bahasa Jerman dan Prancis. Sejak kecil, ia telah tertarik dengan dunia Timur. Ia menggandrungi Bhagavad Gita (Kitab Spritual Hindu) sebagaimana menyenangi kisah 1001 Malam.

Frithjof Schuon juga mempunyai kecenderungan terhadap metafisika dan telah membaca filsafat Plato serta karya-karya Rene Guenon (Filsuf metafisika Prancis) ketika masih tergolong muda. Setelah menyelesaikan dinas Militer Prancis selama 1,5 tahun, Frithjof Schuon mengunjungi Paris. Di Paris, ia tidak hanya meneruskan profesi sebagai desainer, melainkan juga belajar bahasa Arab di Masjid Paris.

Selanjutnya, Frithjof Schuon berkunjung ke Aljazair. Kunjungannya ke Aljazair merupakan perseteruan aktual pertama Schuon dengan peradaban tradisional dan dunia Islam. Di Aljazair, Ia belajar tentang tasawuf. Pada tahun 1935, ia mengunjungi Maroko dan tahun 1938, ia mengunjungi Cairo, Mesir. 

Pada saat Perang Dunia II, Frithjof Schuon sempat tertawan tentara Jerman, karena ia berdarah Jerman, Jerman ingin merekrutnya menjadi Tentara Jerman namun ia menolak dan memilih kabur ke Swiss, yang kelak memberinya status kewarganegaraan. Di Swiss, ia tinggal selama 40 tahun.

Pada tahun 1949, Frithjof Schuon menikah dengan wanita keturunan Jerman-Swiss. Wanita tersebut memiliki minat yang tinggi terhadap agama dan metafisika. Di Swiss, pulalah sebagian karya Frithjof Schuon lahir dan menyebabkan ia banyak dikunjungi oleh para sarjana dan pemikir agama terkenal di Timur dan Barat.

Slanjutnya, Frithjof Schuon berkunjung ke Turki dan di sana menghabiskan waktunya berziarah ke makam Bunda Maria di Kusadasi, dekat kota Efsus. Kunjungannya ke berbagai belahan Bumi selalu diabadikannya ke dalam bentuk buku atau tulisan. Sebagian besar karya Frithjof Schuon ditulis dalam bahasa Prancis dan Jerman. Karya-karya tersebut sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Subjek yang ditulis dan digelutinya adalah bidang keagamaan, mulai dari agama Kristen, Islam, Hindu, Budha, sampai tradisi keagamaan Indian serta agama orang-orang Jepang. Berbeda dari kebanyakan sarjana Barat, yang menganut pola pikir ilmiah dengan menekankan aspek empiris (eksoteris) agama sehingga makna doktrin atau simbol agama tersebut  sering sekali kurang berbicara.

Frithjof Schuon justru memulainya dari makna metafisik (esoteris) suatu agama dan kemudian merinci kekhasannya dibandingkan dengan agama lain (yang menjadi aspek eksoterisnya).

Oleh karena itu, Schuon mengklaim bahwa tulisannya tentang agama tidaklah bersifat eksklusif. Sayyid Hossein Nashr, pemikir Islam kontemporer yang menganut pemikirannya, menyatakan bahwa karya Schuon memiliki ciri esensial, universal dan komperhensif, bahasa yang digunakan dalam tulisannya pun banyak bersifat simbolis dan dialektis tetapi penuh kedalaman makna. Maka dari itu, tulisannya sulit dipahami oleh orang awam dan para pemula.

Untuk memahami pesan-pesan yang dilontarkannya, seseorang memerlukan kesiapan intelektual maupun emosional dan membuang praduga-praduga. Thomas Stearns Eliot (Peraih Nobel Sastra dari Inggris),  menyatakan bahwa “Saya tidak menemukan karya yang lebih mengesankan dalam studi perbandingan mengenai agama Timur dan Barat, Schoun mampu menginterpertasikan tradisi Timur terhadap dunia masa kini."

Khusus mengenai Islam tiga karya yang penting dan satu karya yang dipandang sebagai paradigma dalam dilalog antara agama. 

Karya yang pertama adalah Understanding Islam (edisi Indonesia : Memahami Islam). Buku ini adalah karya terpenting yang pernah ditulis oleh seorang Barat tentang Islam dan diterima luas oleh umat Muslim. Buku ini berbicara tentang makna Islam, Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW, tradisi Islam dan tasawuf.

Yang kedua, Dimensions Islam. Buku ini menekankan segi metafisik dan esoteris Islam, meliputi bidang-bidang fisika, kosmologi dan tafsir Al-Qur’an serta Hadis. 

Yang ketiga berjudul Islam and the Perennial Philosophy (edisi Indonesia : Islam dan Filsafat Perenial, penerbit Mizan). Karya ini berkenaan dengan masalah Keislaman dan penalaran metafisik, teologis dan eskatalogis .

Yang keempat adalah, The Transcendent Unity of Religions (Mencari Titik Temu Agama-Agama). Buku ini mengemukanan Tesis Schoun mengenai perbedaan hakikat dan perwujudan, yakni unsur esoteris lawan eksoteris suatu agama. Garis pemisah antara yang esoteris dan yang eksoteris tersebut tidak dibagi secara vertikal atas perwujudan hisoteris dari agama-agama : Agama Hindu dari agama Budha, atau agama Kristen dari Islam.

Sebaliknya, garis pemisah tadi bersifat horizontal dan hanya ditarik satu kali untuk membelah berbagai agama yang ada di kurun sejarah. Di atas garis itu terletak paham esoterisme, sedangkan dibawahnya paham ekasoterisme. Inti pokok pemikiran Schuon tentang agama adalah kesatuan moral, teologis, dan metafisik. 

Karenanya sifatnya adikodrati, maka tidak seorang pun mampu menjelaskannya ke dalam nada yang sama. Menurut Schuon, ada tiga cara pandang untuk mendekati agama : Pendekatan filosofis, teologis, dan metafisik. Banyak orang menyamakan pendekatan filosofis dengan metafisik atau menganggap metafisika hanya sebagai salah satu cabang filsafat. 

Menurutnya, pendapat ini keliru. Filsafat didasarkan pada akal budi (yang merupakan kemampuan dari setiap peribadi manusia), sedangkan metafiska semata-mata berlandaskan intelektual. 

Menurutnya, “Dalam jiwa ada sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak dapat diciptakan, yakni intelektual. Pengetahuan intelektual murni berada di luar jangkauan pribadi manusia karena hakikatnya individual, universal, atau Ilahi dan karena didasarkan pada intelegensi murni yang langsung dan tidak memerlukan pembahasan.

Pengetahuan tersebut bukan saja jauh melampaui penalaran, bahkan melainkan jauh melampaui iman kepercayaan dalam arti biasa. Dengan kata lain, pengetahuan intelektual khususnya juga melampaui sudut pandang teologis yang jauh lebih tinggi dari sudut pandang filosofis.

Yang membedakan pandangan metafisik dari pandangan filosofis adalah bahwa pandangan metafisik bersifat simbolis dan deskriptif, dalam arti, ia menggunakan cara-cara rasional sebagai simbol untuk menjelaskan atau menerjemahkan pengetahuan yang mempunyai taraf kepastian yang lebih besar daripada pengetahuan indrawi.

Adapun filsafat yang bukannya tanpa alasan disebut ancilla theologiae (hamba teologi) tidak lebih dari apa yang diutarakannya. Bila Filsafat menggunakan akal budi untuk memecahkan suatu keraguan, ini justru membuktikan bahwa ia bertitik tolak dari sesuatu keraguan yang sedang dipecahkannya. 

Suatu rumusan metafisik pada hakikatnya selalu bertitik tolak dari sesuatu yang sudah jelas dan pasti secara intelektual. Sesuatu yang sudah jelas dan pasti itu disampaikan secara simbolis atau dialektis kepada mereka yang mampu menerima atau menangkapnya dengan maksud untuk menghidupkan pengetahuan yang terpendam, tidak disadari, dan bahkan tersimpan abadi dalam dirinya.

Sebagai contoh ketiga cara pandang tersebut dapat kita terapkan pada konsep tentang “Tuhan”. Filsafat tidak menolak sama sekali adanya Tuhan, berusaha membuktikan adanya Tuhan dengan berbagai argumen. Dengan kata lain, sudut pandang filosofis berusaha membuktikan apakah Tuhan itu “ada” atau ‘tidak”, seolah-olah akal budi, yang sebenarnya hanya suatu perantara dan bukan sumber pengetahuan adikodrati, dapat memberikan pembuktian.

Sebaliknya, teologi tidak mau merepotkan diri untuk membuktikan adanya Tuhan, bahkan bersedia mengakui bahwa hal itu tidak mungkin dibuktikan melainkan mendasarkan diri pada keyakinan. Harus ditambhakan di sini bahwa nilai iman tidak dapat diturunkan menjadi sekadar masalah keyakinan belaka, karena dalam tradisi Kristen dan Islam ada “iman yang mampu memindahkan Gunung”, dan sudah jelas bahwa keyakianan religius yang biasa tidak mempunyai kemampuan seperti itu.

Akhirnya, metafisika tidak mempersoalkan lagi masalah “pembuktian” atau “keyakinan”, melainkan langsung mencari bukti yaitu bukti intelektual yang mengandung kepastian mutlak. Namun dalam situasi kehidupan umat manusia sekarang, bukti semacam itu hanya mampu dipahami oleh sekelumit elit spiritual. Dapat ditambahkan bahwa agama-agama mengandung dan mewariskan pengetahuan intelektual ini di balik tabir berbagai simbol dogmatis dan aneka ragam ibadahnya.

Sumber : Ensiklopedia Islam Jilid 2, Terbitan PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta : Milik Negara Tidak Diperdagangkan.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال