Memahami Bahasa Tasawuf (1)

Sumber gambar : dokumen penulis

KULIAHALISLAM.COMAjaran tarekat adalah ajaran yang berpaham tasawuf yaitu tentang kebersihan hati dan tentang akhlakul karimah. Oleh karenanya apa yang diucapkan dan diperbuat oleh seorang ahli tasawuf senantiasa berorientasi pada kesucian hati dan bukan hanya yang diterima panca indra semata. 

Sehingga ucapan dari lisan seorang sufi tak jarang sering terucap kalimat-kalimat hikmah yang sulit difahami oleh orang awam. Hal itu disebabkan karena dalam dan luasnya makna yang terkandung akan nilai kalimatnya.

Seseorang disebut ahli sufi adalah seseorang yang sangat alim, bijaksana, berakhlak baik dan terkadang unik. Sehingga perbuatanya, ucapan lisan, tulisan dan karyanya diabadikan pada kitab-kitab sufi dan bangunan indah yang bernilai histori dan filosofi sangat tinggi. 

Lebih dari itu semua inti dan esensinya adalah nasehat untuk mengajak orang yang melihat agar selalu (berdzikir) mengingat kebesaran dan keagungan Sang Pencipta (Allah) agar selamat dunia maupun akhirat.

Yang dimaksud sulit dipahami bukanlah terletak pada redaksional atau gaya bahasanya, melainkan pada esensi dari isi pesan yang disampaikanya. Hal tersebut disebabkan karena para ahli tasawuf yang tidak menyampaikan ilmunya secara vulgar, sebagaimana para ahli ilmu fikih atau syari'at yang memang harus menyampaikan ilmunya secara jelas dan terang karena terkait muamalah dan aturan umum.

Para ahli tasawuf pada umumnya sangat memegang teguh etika, aturan dan  menyapaikan hakikat ilmu batin (Af'al, Asma, Sifat, Dzat) Allah secara khusus baik waktu dan tempatnya. 

Hal itu sebagaimana tersebut dalam Hadis Nabi dan ungkapan para sahabat :
"Kami diperintahkan untuk bicara pada manusia menurut kadar akalnya". (HR. Ad-Dailamy).

"Menurunkan Allah akan kitab Al-Qur'an atas tujuh huruf. Bagi tiap-tiap huruf dari padanya ada zahirnya ada batin".(HR. At-Thabrani dari Ibnu Mas'ud - Kitab Jamius Shoghir).

"Menuntut ilmu adalah wajib atas orang mu'min, dan meletakan (memberikan) ilmu kepada orang yang bukan ahlinya adalah seperti orang yang mengalungi babi dengan emas, mutiara” (HR. Ibnu Majah dari Anas - Kitab Jamius Shoghir).

"Allah Dzat yang telah menjadikan tujuh langit dan dari bumi semisal semuanya itu (tujuh langit), diturunkan urusan diantara semua itu", seandainya saya terangkan tafsirnya (yang sebenar-benarnya) pastilah saya akan dilempari orang banyak. Dalam lafaz lain, pastilah orang-orang banyak akan berkata "sesungguhnya (Ibnu Abbas) telah kafir". "Saya menjaga dari Rasulullah dua wadah, adapun salah satunya dua wadah itu, maka saya beberkan dia, dan adapun wadah yang lain, seandainya saya beberkan dia, pastilah leher saya ini dipotong orang".

Karenanya para ahli tasawuf dan para mursyid baik zaman dulu maupun kini sangat berhati-hati dalam menyampaikan ilmunya. Untuk menyiasatinya mereka menyampaikanya lewat bahasa kiasan, perumpamaan atau sindiran. Baik secara tersirat, matsal, mitsil dan tajasudil makna. 

Seperti berupa karya sastra syair, adat tradisi, kesenian maupun monumen bangunan agar bisa dipahami oleh kaum awam atau masyarakat umum. Jika disampaikan secara vulgar maka orang akan menyebutnya syathahat atau bahkan zindik seperti yang terjadi pada kisah Syekh Hallaj Mansyur, Syekh Siti Jenar, Syekh Datuk Abulung dan lainya. Sementara khusus bagi murid sufi "Salik" menempuhnya dengan berbai'at kepada Guru Mursyid lewat ilmu tarekat. 

Tidak sedikit dari para ahli tasawuf tersebut melahirkan tokoh-tokoh besar yang dikenal dunia dalam dunia filsafat. Diantaranya adalah Al-Kindi, Abu Nawas, Al-Farabi, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ar-Rumi dan lainya. Sementara di Nusantara kita kenal ada para Wali Songo dan lainya.

Para ahli tasawuf atau guru tasawuf adalah ibarat seorang professor guru besar universitas. Hendaknya kita harus sadar dan faham akan kadar keilmuan kita. Jikalau kita belum mampu memahami bahasa tasawuf maka janganlah mengoreksi, membantah, merasa paling paham dan paling pintar karena itu adalah Maqom mereka "Para Ahli dan Guru Tasawuf". 

Maka dari itu hendaklah kita memperbanyak belajar, introspeksi diri (muhasabah), banyak berdzikir agar hati kita bersih dan berakhlakul karimah.



Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال