Kontinuitas Tasawuf dan Kebudayaan (1)


KULIAHALISLAM.COM - Faktanya kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa kemajuan dalam bidang kebudayaan, dimana kebudayaan sendiri pada dasarnya merupakan sarana bagi manusia untuk mencapai dan mempermudah dalam memenuhi kehidupannya. Tetapi kebudayaan tanpa dilandasi oleh agama akan menjadi masalah, liar dan tidak terkendali, sehingga dapat merusak tatanan masyarakat bahkan dapat menimbulkan krisis sosial.

Sedang tasawuf sendiri merupakan bagian dari agama Islam dan merupakan sarana untuk sampai kepada Allah SWT, sementara kebudayaan merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kebudayaan berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. 

Tak hanya itu, kebudayaan juga sebagai proses eksistensi menunjukkan kepada adanya suatu perjuangan yang tidak pernah selesai bagi usaha menegakkan eksistensi manusia dalam kehidupan. Dalam menghadapi tantangan yang selalu berubah, manusia dipaksa untuk mengerahkan segala akalnya untuk mengatasi masalah tersebut.

Dewasa ini, dunia dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang yang mengatakan bahwa, dalam menghadapi materialisme yang melanda dunia sekarang ini perlu dihidupkan kembali spiritualisme. 

Di sini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Penyucian diri dan pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.

Kemiskinan spiritual itu terjadi di tengah-tengah kebahagiaan semu secara material dan ini membawa manusia modern pada kondisi orientasi pemahaman yang hanya bertolak pada bidikan filosofis dan sosial-historis. Di samping pola nalar-eksak model Emotional Quotient(EQ) dan Intelligence Quotient (IQ) yakni substansi keagamaan yang bersifat Ruhiyyah-Illahiyah. 

Akibatnya, ketika manusia telah menjadi bosan dan jenuh terhadap hasil modernism-materialisme yang sangat amamekanis, pada saat itulah mereka belum memiliki alternatif di tengah kegersangan jiwa yang dipanasi padang pasir hegemoni-rasionalistas.

Saat mereka merindukan setitik sentuhan spiritual dan itu mereka temukan dalam mistisisme, tasawuf, dan tarekat. Ilmu pengetahuan telah mengantarkan kebudayaan manusia kepada tingkat yang lebih tinggi. Dapat dikatakan bahwa, masyarakat zaman sekarang merupakan masyarakat berbudaya modern yang bertumpu dan didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya berinduk dari filsafat rasional ilmiah.

Profil masyarakat modern merupakan masyarakat yang didominasi oleh kebudayaan industri. Yang berperan dalam masyarakat berkebudayaan industri adalah orang-orang yang mampu berpikir rasional ilmiah. 

Sementara orang-orang yang tidak dengan sendirinya akan termarjinalkan di tengah-tengah kebudayaan yang serba modern. Memang, kebudayaan modern menuntut perubahan cara berpikir tradisional yang statis dan konservatif ke pemikiran yang rasional ilmiah dan kritis.

Ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat menyebabkan kebudayaan manusia mengalami perkembangan dan kemajuan yang juga begitu pesat. Terutama kebudayaan yang bersifat materi, sehingga menyebabkan manusia menjadi terpukau. 

Akan tetapi, dibalik kemajuan bidang kebudayaan ini sebenarnya telah terjadi krisis di kalangan masyarakat, yaitu terjadinya kesenjangan kebudayaan. Kesenjangan kebudayaan ini menyebabkan timbulnya gejala yang dinamakan dengan the agony of modernisation, sengsara karena modernisasi yang menyebabkan kriminalitas.

Banyak masyarakat mengalami krisis psikis, tekanan bahkan sampai kehilangan jati diri. Masyarakat yang seharusnya memanfaatkan hasil kebudayaannya, malah menjadi budak dan harus bekerja seperti robot. 

Kebudayaan yang seharusnya dijadikan sarana untuk mempermudah mencapai tujuan, ternyata kebudayaan telah membuat mereka menjadi serba repot. Kebudayaan yang seharusnya memiliki tujuan untuk menyejahterakan masyarakat, akan tetapi dalam kenyataannya kebudayaan disalahgunakan untuk kepentingan hawa nafsunya. 

Perkembangan kebudayaan bertujuan untuk mempermudah manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, atau dengan kata lain mempermudah manusia mencapai apa yang diinginkan atau dicita-citakan. Tujuan tersebut adalah kebahagiaan. 

Sebagian manusia memandang bahwa kebahagian itu adalah menghasilkan materi atau dengan kata lain adalah kekayaan. Kekayaan dianggap sebagai sumber dari kebahagiaan. Dengan kekayaannya apa yang diinginkan oleh seseorang akan tercapai.

Harta benda kekayaan atau duniawi dapat menyebabkan terputusnya jalan untuk beribadah kepada Allah. Karena itulah sejak Allah menciptakan harta duniawi, Allah tidak pernah melihat harta duniawi. Seseorang yang terlalu mencintai harta duniawi maka hidupnya akan menjadi hina. 

Harta memang memberikan kebahagiaan kepada pemiliknya, akan tetapi tidak selamanya harta memberikan kebahagiaan kepada pemiliknya. Terkadang harta menyebabkan pemiliknya mengalami kesulitan. 

Dalam kondisi seperti ini, tidak jarang orang mengalami tekanan dan stres. Karena itu, orang mencari ketenangan dengan jalan pintas, seperti melakukan bunuh diri karena tidak tahan dalam menghadapi realitas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh duniawi atau harta benda. Keadaan ini bisa terjadi apabila orang yang bersangkutan tidak memiliki iman yang kuat.

Bagaimana Solusinya?

Untuk mengatasi masalah yang timbul seperti di atas, maka jalan terbaik bagi orang untuk kembali kepada fitrahnya adalah tasawuf. Antara kebudayaan dengan tasawuf seperti dua mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. 

Tasawuf menuntun manusia ke jalan ruhani sesuai dengan fitrahnya, sedangkan kebudayaan menyediakan sarana bagaimana manusia itu memanfaatkan sumber daya yang ada ini dengan baik untuk mencapai tujuan-tujuannya dengan baik. 

Apabila keduanya ini berjalan seimbang, maka akan tercipta suatu tatanan dalam masyarakat yang mengedepankan akal yang dilandasi oleh ajaran-ajaran Islam sehingga tercipta masyarakat dengan kebudayaan yang fitrah.

Kemajuan kebudayaan, dalam satu sisi memberikan perubahan besar bagi kehidupan manusia secara positif, tetapi dalam satu sisi yang lain kebudayaan dapat menjadi sumber malapetaka bagi manusia apabila kebudayaan tersebut dikuasai oleh orang-orang yang memiliki nafsu serakah dan ambisi besar untuk kepentingan dirinya sendiri atau golongannya. 

Agar manusia tidak terjebak ke dalam kubangan nafsu serakah dan ambisi besar, setidaknya ada tiga hal yang dilakukan oleh manusia yaitu: Syįfa’ al Qulb atau kebersihan hati. Kebersihan hati ini dapat mencegah seorang hamba dari sifat terlalu mencintai hal-hal duniawi. 

Kedua, Uns bi dzikrillah yaitu perasaan senang dan tentram yang diperoleh dengan memperbanyak zikir kepada Allah. Ketiga, hub Allah yaitu mencintai Allah dan ini dapat diperoleh dengan jalan ma’rifaĥ bi Allah. Makrifat hanya dapat diperoleh dengan jalan melanggengkan (tadabbur) keagungan dan kebesaran Allah.

Rasulullah SAW bersabda: 

“Orang yang mencintai dunia akan membahayakan akhiratnya, sedangkan orang yang mencintai akhirat membahayakan dunianya, maka pilihlah sesuatu yang tetap dan tidak akan sirna.” 

Mencintai duniawi akan menyebabkan seseorang kesulitan untuk mencintai Allah, dan lisannya untuk berzikir kepada Allah. Sedangkan mencintai akhirat menyebabkan seseorang lalai dalam mencari nafkah dan bekerja. 

Oleh karena itu, pilihan yang tepat adalah dengan berzuhud. Zuhud bukan berarti meninggalkan duniawi dan membencinya, sehingga mengharamkan dirinya kepada duniawi. Zuhud adalah mengambil sekadarnya saja dari harta yang diyakini kehalalannya.

Zuhud dibagi menjadi dua yaitu zuhud yang mampu dilakukan oleh seorang hamba dan zuhud yang tidak dapat dilakukan oleh seorang hamba. Zuhud yang pertama ini terbagi menjadi 3 yaitu:

Pertama, meninggalkan mencari pembagian duniawi. Kedua, memisahkan diri dari duniawi. Ketiga, meninggalkan keinginan dan usaha hati dalam memperoleh duniawi. Sedangkan menurut Imam al Junaidi zuhud memiliki dua makna yaitu lahir dan batin. 

Secara lahir berarti berkurangnya barang yang dimilikinya dan meninggalkan mencari sesuatu yang tidak ada. Sedangkan secara batin yakni lenyapnya keinginan hati untuk mencari sesuatu yang tidak ada artinya.

Hamka membagi kekayaan menjadi dua yaitu kekayaan hakiki dan kekayaan majazi. Kekayaan hakiki adalah mencukupkan apa yang ada. Sudi menerima walaupun berlipat-lipat ganda sebab dia nikmat Allah dan tidak pula kecewa jika jumlahnya berkurang sebab rezeki datang dari Allah dan kembali hanya kepada Allah. 

Jika kekayaan melimpah, maka ia berguna untuk menyokong amal dan ibadah, iman, dan untuk membina keteguhan hati menyembah Allah. Harta tidak dicintai karena harta, dan dicintai karena pemberian Allah, dipergunakan kepada yang berfaedah.

Kekayaan majazi ialah menumpahkan cinta kepada harta benda semata-mata yang menyebabkan buta dari pertimbangan, sehingga hilang cinta kepada yang lain, kepada bangsa, kepada tanah air, agama, bahkan Tuhan. 

Ada dua bahaya bagi orang yang seperti ini yaitu: Pertama, tumbuhnya penyakit baķhil. Kedua, penyakit boros, sombong, takabur, dan lupa. Kebudayaan yang merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harusnya membawa manfaat besar bagi umat manusia, yaitu meningkatkan kemakmuran dalam hidup manusia. 

Oleh karena itu, agar kebudayaan tersebut memiliki nilai-nilai positif bagi umat manusia, maka kebudayaan harus bersinergi dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan agar membawa manfaat besar bagi manusia. Apabila tidak ada sinergi, maka malapeta yang akan terjadi. 

Apalagi kebudayaan tersebut dikuasai oleh orang-orang yang memiliki nafsu serakah dan ambisi besar, maka sudah dipastikan akan timbul dehumanisasi dan pemusnahan peradaban bagi orang-orang yang tidak mau mendukung keinginannya. Kelompok-kelompok ini adalah orang-orang yang senantiasa melakukan kerusakan di muka bumi.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال