Sejarah Latar Belakang Nama "Tafsir Al-Azhar" Buya Hamka

KULIAHALISLAM.COM - Sejarah latar belakang nama Tafsir Al Azhar Buya Hamka. Pada tahun 1956 Buya Hamka mendirikan rumah di Kebayoran Baru. Kebetulan rumah itu berhadapan dengan lapangan luas yang akan didirikan sebuah masjid. 

Beliau merasa gembira, karena apabila masjid itu berdiri di depan rumahnya, dapat menjadikan anak-anak hidup dalam lingkungan Islami, terutama ketika mereka selalu mendengarkan azan berkumandang pada setiap waktu salat.

Buya Hamka Tafsir Al Azhar

Pada bulan Januari 1958 Buya Hamka berangkat ke Lahore, Pakistan memenuhi undangan Punjab University, untuk mengikuti seminar Islam yang diadakan di sana. Setelah selesai menghadiri seminar tersebut, Buya Hamka meneruskan perjalanannya ke Mesir, untuk memenuhi undangan Muktamar Islamy. 

Kedatangannya ke Mesir waktu itu bertepatan dengan kunjungan Presiden Sukarno, sehingga Duta Besar Mesir di lndonesia, yaitu Saiyid Ali Fahmi al-Amrousi sedang berada di Mesir. Dia cukup mengenal Buya Hamka sebagai seorang anggota Pimpinan Muhammadiyah.

Sebuah gerakan Islam yang dipelopori oleh Imam Syekh Muhammad Abduh
Bersamaan dengan itu delegasi Kebudayaan Indonesia saudara Raden Hidayat, mengenalkan Buya Hamka dengan perkumpulan "as-Syubbanul Muslimun". Sebuah perkumpulan yang sejalan dengan Muhammadiyah

Persaudaraan dengan masyarakat Mesir semakin meluas, ketika mengadakan seminar di Lahore, Buya Hamka dapat berkenalan dengan Dr. Muhammad al-Bahy, seorang sarjana Islam yang telah menggabungkan keilmuan Al-Azhar dengan keilmuan Sorbonne (Prancis) dan Bonn (Jerman).

Maka disepakatilah dalam Muktamar Islamy mengundang Buya Hamka untuk memberikan Muhadhoroh (ceramah) di gedung "as-Syubbanul Muslimun" tersebut, guna memperkenalkan pandangan hidupnya agar lebih dekat kepada para tokoh intelektual dan kaum pergerakan di Mesir. Usul itu diterima Buya Hamka, dan judul yang dipilihnya untuk berpidato ialah "Pengaruh Paham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya."

Walau dengan persiapan yang sangat sederhana, banyak Ulama dan sarjana datang menghadiri Muhadhoroh yang berlangsung kira-kira 90 menit tersebut, para hadirin merasa terkesan dengan pemikiran Buya Hamka, terutama Prof. Dr. Osman Amin yang banyak membukukan pikiran-pikiran Imam Syekh Muhammad Abduh. Bagi Revolusi Mesir, Muhammad Abduh terhitung sebagai pelopor pertama pembaharuan, sebagai pendasar Revolusi Mesir.

Hadir pula dalam majlis itu Syekh Mahmoud Shaltout yang di waktu itu masih menjadi Wakil Rektor Al-Azhar, dan beberapa Ulama lain. "as-Syubbanul Muslimun" menyambut ceramah itu dengan-penuh penghargaan, dan kekaguman betapa orang luar Mesir dapat begitu paham pemikiran Muhammad Abduh, yang di Mesir sendiri tidak banyak yang paham.

Buya Hamka Mendapat Gelar dari Al-Azhar

Beberapa hari setelah mengadakan muhadhoroh tersebut, Buya Hamka melanjutkan perjalanan ke Saudi Arabia, memenuhi undangan Raja Saud. Beliau menyempatkan diri berziarah di makam Rasulullah SAW. 

Ketika Buya Hamka bertemu Raja, tiba-tiba datang utusan dari Mesir, utusan itu mengabarkan bahwa Al-Azhar University akan memberinya gelar ilmiah tertinggi dari Al-Azhar, yaitu Ustadziyah Fakhriyah, yang sama artinya dengan Doktor Honoris Causa. 

Dan Buya Hamka diminta kembali ke Mesir untuk menghadiri upacara penyerahan gelar yang mulia tersebut. Lalu Buya Hamka berpamitan kepada raja. pergilah beliau ke Makkah, bersyukur di hadapan Ka'bah, karena waktu itu bertepatan dengan 17 Februari 1958, genap usianya 50 tahun dan bersyukur atas gelar kehormatan dari Al-Azhar tersebut.

Singkat cerita, Buya Hamka telah berada di Mesir dan menunggu kejelasan kapan pengukuhan itu diberikan. Kepala Departemen Kebudayaan dari Al-Azhar, Dr. Muhammad al-Bahy menjelaskan bahwa pemberian gelar kehormatan atau Dokter Honoris Causa ini merupakan kebijakan pertama kali Universitas, sehingga peraturannyapun harus disusun terlebih dahulu dengan baik. 

Ia berharap Buya Hamka sabar menunggu barang seminggu dua minggu, karena hendak meminta pengesahan langsung dari Presiden Gamal Abdel Nasser sendiri. Namun ketika itu sedang terjadi kemelut politik di Mesir, sehingga prosesnya cukup lama.

Buya Hamka Kembali Ketanah Air

Singkatnya, Hamka lebih memilih untuk kembali ke tanah air. Beliau mendapati Masjid Agung dihadapan rumahnya itu telah selesai dibangun. Meski telah selesai dibangun, namun masjid itu belum dibuka. 

Panitia Pembangunan Masjid Agung tersebut, menjelaskan bahwa presiden Sukarno akan meresmikan terlebih dahulu masjid, baru setelah itu masjid boleh di gunakan. Buya Hamka meminta agar masjid itu digunakan untuk berjamaah dan kegiatan keagamaan, walau belum diresmikan presiden, karena ruh dari sebuah masjid adalah jamaah. 

Selain itu Buya Hamka melihat bahwa kaum muslim sebentar lagi akan berjumpa dengan Ramadan. Maka selayaknya Masjid digunakan untuk salat tarawih dan salat-salat lain.

Panitiapun tidak bisa membantah masukan tersebut, akhirnya masjid dapat digunakan untuk salat berjamaah dan kajian-kajian Keislaman yang dibina oleh Buya Hamka sendiri. Setiap setelah selesai salat subuh Buya Hamka mulai mentafsirkan Alqur'an beberapa ayat, kira-kira 45 menit setiap pagi.

Tiba-tiba pada bulan Maret 1959 yaitu satu tahun setelah beliau pulang dari Mesir itu, sampailah berita bahwa keputusan memberinya gelar ilmiah itu telah dilaksanakan. 

Ijazah berwarna biru dikirimkan kepada Buya Hamka, dengan perantara Duta Besar Mesir di Jakarta, oleh Duta Besarnya yang baru Syekh Ali Fahmi. Dan Duta Besar telah menyerahkan kepada Buya Hamka di dalam satu seremonial yang khidmat di Kedutaan Besar Mesir.

Pada bulan Desember 1960, Syekh Mahmoud Shaltout diundang ke Indonesia sebagai tamu Agung Negara. Salah satu program kunjungan beliau adalah ke Masjid Agung Kebayoran Baru. Maka kami pun memintanya untuk Muhadhoroh, dan Syekh Mahmoud Shaltout memberikan wejangan dan amanat. 

Berkatalah beliau: "Bahwa mulai hari ini, saya sebagai Syekh (Rektor) dari Jami' Al-Azhar memberikan bagi masjid ini nama "Al-Azhar", semoga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya Al-Azhar di Kairo." Maka segenap pengurus, panitia dan seluruh jamaah menerima dengan sangat ridha dan ikhlas sepenuh hati atas nama kehormatan tersebut.

Pengajian Tafsir sehabis salat subuh di Masjid Agung Al-Azhar telah terdengar seantero negeri. Dan teladan ini pun banyak dijadikan percontohan masjid-masjid lain. Terutama sejak keluar sebuah majalah Gema lslam sejak bulan Januari 1962. 

Segala kegiatan di masjid itu ditulis dalam majalah tersebut, apalagi kantor Redaksi dan administrasi majalah bertempat dalam ruang masjid itu pula, karena dia diterbitkan oleh perpustakaan Islam Al-Azhar yang telah didirikan sejak pertengahan tahun 1960.

Atas usul dari tata-usaha majalah di waktu itu, yaitu saudara Haji Yusuf Ahmad, segala pelajaran Tafsir waktu subuh itu dimuatlah didalam majalah Gema Islam tersebut. 

Langsung saya berikan nama baginya Tafsir Al-Azhar, sebab "Tafsir" ini timbul di dalam Masjid Agung Al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh Syekh Jami' Al-Azhar sendiri. Salah satu niat seketika menyusunnya ialah hendak meninggalkan pusaka yang semoga ada manfaatnya untuk ditinggalkan bagi bangsaku dan ummat Muslimin Indonesia.

Oleh : Naufal Abdul Afif (Penulis buku Jalan Dakwah)

Naufal Afif

Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال