Gugatan Perceraian dalam Hukum Perdata Islam

Gugatan perceraian dalam hukum perdata Islam (Sumber gambar : pa-cilacap.go.id)

KULIAHALISLAM.COM - Peceraian merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah. Cerai tanpa sebab yang wajar adalah haram. Dengan sebab tertentu hukumnya menjadi halal. 

Menurut Sajuti Thalib, SH dalam bukunya “Hukum Kekeluargaan Indonesia” yang diterbitkan oleh Universitas Indonesia menyebutkan bahwa dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan pedoman untuk usaha menghindari perceraian, diantaranya yang kami kutip secara ringkas yaitu :

Dalam kemungkinan terjadinya nusyuz  isteri. Sumber hukum dan pedoman nusyuz isteri ini ditempatkan Tuhan dalam bagian kedua dari QS. An-Nisa' Ayat 34. Arti nusyuz bagi isteri yang dimaksud dalam ayat ini ialah perbuatan isteri untuk tidak melakukan kewajiban atau tidak taat pada suaminya.

Apabila si suami khawatir bahwa isterinya akan berlaku nusyuz, maka suami diberi suruhan oleh Tuhan untuk bertindak mengusahakan penyelesaian perbaikan dengan cara suami memberi nasihat yang nusyuz itu untuk kembali biasa dan tidak nusyuz lagi.

Kalau usaha pertama itu tidak berhasil untuk menjadikan isteri taat maka pisahlah tidur isteri itu dari tempat suaminya, tetapi keduanya masih tetap berada dalam satu rumah, kalau kedua usaha itu masih belum berhasil maka suami boleh memukul isterinya dengan cara dan alat pemukul yang sedemikian rupa sehingga tidak sakit dan meninggalkan bekas pada badan si isteri. 

Menurut pengertian Sajuti Thalib, SH, maksud pukulan tersebut adalah memberikan pendidikan dengan kata-kata yang tajam terbanding dengan kata-kata nasihat. Apabila si isteri telah kembali taat maka suami tidak boleh mencari-cari kesalahan isterinya.

Dalam hal kemungkinan terjadinya nusyuz suami. QS. An-Nisa' Ayat 128 mengatur cara penyelesaian penentuan hubungan suami isteri, dalam hal andai kata terjadinya nusyuz laki-laki atau suami.

Di Indonesia, kata nusyuz selalu menimbulkan asosiasi pikiran dengan ketidakbaikan yang timbul dari pihak isteri saja sedangkan nyatanya dalam Alquran kata-kata nusyuz dipergunakan juga untuk kaum laki-laki atau suami. 

Dalam QS. An-Nisa' Ayat 128 hal-hal itu tegas disebut nusyuz suami. Di sana dinyatakan kalau isteri khawatir suaminya akan nusyuz maka sebaiknya mereka suami isteri itu mengadakan Ash Shulhu atau perjanjian perdamaian. 

Nusyuz suami ialah kemungkinan ia berpaling meninggalkan atau menyia-nyiakan isterinya. Sedangkan arti kata-kata Ash Shulhu ialah perjanjian atau perdamaian untuk berjaga-jaga kalau suami nusyuz lagi.

Apabila terjadi syiqaq antara suami isteri. Syiqaq adalah keretakan yang telah sangat hebat antara suami isteri. Semata-mata syiqaq tidak diperkenankan langsung bercerai, harus tetap diadakan usaha perdamian.

Kalau sudah dilakukan upaya menyatukan kembali suami dan isteri yang diambang perceraian namun tetap tidak membuahkan hasil maka suami dapat menjatuhkan “Talaq”.  

Drs. Sudarsono, SH dalam bukunya “Hukum Perkawinan Nasional” menyatakan bahwa, menurut hukum Islam masalah talaq dapat dibagi dalam beberapa jenis dan bentuk sesuai dengan aspek tinjauannya, apabila ditinjau dari segi waktu maka talaq dibagi dua yaitu Talaq Sunnah dan Talaq Bid’ah, apabila ditinjau dari segi jumlah penjatuhan talaq maka talaq dibagi menjadi Talaq Raj’i dan Talaq Bain Sughra serta Talaq Kubra.

Sajuti Thalib, SH menyatakan Talaq Bid'ah yaitu Talaq yang diucapkan sekaligus. Talaq Raj’i yaitu talaq berupa talaq satu atau dua, dalam talaq ini suami dan istri tersebut masih diperbolehkan rujuk dengan tidak melalui proses pernikahan lagi.

Talaq Bai’in Sugra yaitu talaq yang tidak boleh rujuk lagi tetapi keduanya masih dapat kawin kembali sesudah habis masa iddah si perempuan yang terdiri atas talaq itu berupa talaq satu atau talaq dua pakai ‘iwadh dan begitu juga talaq itu dapat berupa talaq satu atau dua tidak pakai ‘iwadh tetapi talaqnya sebelum ia menggauli istrinya. Talaq bai’in yaitu talaq uang tidak boleh rujuk lagi dan tidak boleh kawin lagi sebelum isteri dikawini orang lain, talaq ini berupa talaq tiga.

Di Indonesia sendiri, telah ditetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang tujuannya mengatur tentang perkawinan dan perceraian. 

Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan disebutkan “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Bagi yang beragama Islam, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pihak yang mengajukan perceraian disebut “Penggugat”. Penggugat diperbolehkan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan agama tanpa didampingi oleh kuasa hukum (Advokat/Pengacara). 

Penggugat dapat  menyampaikan gugatan perceraian secara lisan atau tulisan ke panitera di Pengadilan Agama. Selanjutnya, Panitera kemudian akan meminta biaya perkara sidang. Kemudian, pengadilan akan memberitahukan jadwal sidang kepada penggugat dan tergugat. 

Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan putusan, hakim akan mengupayakan terjadinya perdamaian antara kedua belah pihak. Pengadilan Agama dapat meminta bantuan kepada Balai Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat agar suami atau isteri hidup rukun lagi.

Pengadilan Agama setelah memperhatikan hasil usaha Balai Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) bahwa kedua belah pihak tidak mungkin didamaikan lagi maka diadakan sidang untuk menyelesaikannya. Suami mengikrarkan talaqnya di depan sidang Pengadilan Agama. 

Jika pihak tergugat tidak hadir padahal Pengadilan telah memberikan surat panggilan maka Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat (Putusan Verstek). 

Pasal 125 ayat (1) Herzein Indlansch Reglement (HIR) berbunyi “Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek) kecuali nyata kepada Pengadilan Negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan”.

Setelah itu, Pengadilan Agama membuat surat keterangan tentang terjadinya talaq rangkap empat untuk dikirim kepada Pegawai Catatan Sipil, kepada pihak yang telah bercerai, serta rangkap yang keempat disimpan Pengadilan Agama. 

Apabila talaq itu terjadi, maka akta nikah mereka akan ditahan oleh Pengadilan Agama. Jika salah satu pihak keberatan dengan putusan Pengadilan Agama maka ia dan/atau kuasa hukumnya dapat upaya pelawanan hukum (verzet) dengan cara mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan selanjutnya kasasi ke Mahkamah Agung. Demikian, jika ada pertanyaan dapat diajukan dalam kolom komentar.

Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional(STH-YNI), Pematangsiantar.





Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال