Kekhawatiran Muawiyah Akan Musnahnya Sesepuh Quraisy

Saat itu, ketika pertikaian besar (al-Fitnah al-Kubra) melanda umat Islam, yaitu setelah Khalifah Utsman terbunuh dan Ali menduduki tampuk khalifah. Muawiyah bin Abi Sufyan memusuhi Ali. Pasukan kedua kubu saling bertempur di Shiffin. Tatkala tanda-tanda kemenangan ada di kubu Muawiyah, ia mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas yang waktu itu berpihak kepada Khalifah Ali dan memimpin pasukan perangnya.



Rupanya, Muawiyah memaparkan kepadanya pembagian wilayah Arab antara dirinya dan Ali. Muawiyah cukup menguasai wilayah Syam dan Ali menguasai wilayah Iraq. Karena menurut Muawiyah perang ini dapat menghabiskan keturunan suku Quraisy yang hanya tinggal 6 orang. 

Katanya: “Aku merasa puas menjadi penguasa di Syam, kau juga harus merasa puas menjadi penguasa di Iraq, biarkanlah orang-orang Quraisy karena tokoh-tokoh Quraisy tinggal 6 orang; 2 di Syam, 2 di Iraq, dan 2 di Hijaz. Adapun dua orang di Syam itu adalah saya (Muawiyah) dan Amr bin Ash, di Iraq adalah kamu (Abdullah bin Abbas) dan Ali, dan di Hijaz adalah Saad bin Abi Waqas dan Abdullah bin Umar bin Khattab.”

Namun, Abdullah bin Abbas tidak setuju, setelah menerima surat Muawiyah yang menyebutkan suku Quraisy tinggal 6 orang. Menurutnya, suku Quraisy lebih banyak dan mempunyai tokoh yang banyak pula. “Adapun perkataanmu bahwa suku Quraisy hanya tinggal 6 orang maka alangkah banyak tokoh-tokohnya dan lebih bagus sisanya.”

Setidaknya, dari sini kita melihat akan kekhawatiran Muawiyah atas bakal musnahnya para sesepuh suku Quraisy yang hanya tinggal 6 orang tokoh, karena sebab peperangan yang terjadi. Peperangan itu telah merenggut beribu-ribu nyawa orang-orang Islam baik dari kalangan sahabat Qurra’ maupun Tabi’in. Melahab habis harta benda yang tak dapat dihitung, menimbulkan beban berat bagi umat Islam dan agama Islam, serta mendorong musuh-musuh Islam untuk menyerang dari segala arah.

Tanpa disadari, rupanya peperangan tersebut merupakan pertikaian membabi buta yang patut dicatat demi keselamatan Islam dan masa depannya. Dalam hati Ibnu Abi Sufyan tidak terpikir sejauh itu. Pada awalnya, ia hanya khawatir keturunan suku Quraisy dan para tokohnya musnah. 

Karena itu, ia mengusulkan kepada Abdullah bin Abbas untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan dengan Ali dan Muawiyah memerintah serta mengembangkan sayapnya di Syam dan Ali di Iraq. Keduanya adalah singa-singa Quraisy. Sebab itu, kekuasaan tidak akan jatuh ke tangan orang-orang yang berketurunan di luar Quraisy.

Penolakan Abdullah bin Abbas atas usulan Muawiyah bukan karena Ali berada di jalur yang benar dan Muawiyah di jalur yang salah, juga bukan karena syara’ tidak membolehkan ada dua pimpinan dalam waktu yang sama. Akan tetapi, pertimbangannya adalah bahwa dalam suku Quraisy masih banyak yang patut menduduki tampuk khilafah dan menyelesaikan bencana itu.

Sebagian, ada pendapat yang mengatakan bahwa perebutan kekuasaan hanya terjadi antar individu dalam suku Quraisy, bukan antar amat Islam, juga bukan karena gesekan keagamaan atau sebab agama Allah yang agung (kalimatullah al-Ulya), atau demi kepentingan Islam.

Tentu saja, pendapat ini tidak melihat lambang-lambang ke-Quraisyan yang ada, melainkan memahami suku-suku dari kedua kubu. Misalnya membagi suku Khas’am menjadi dua barisan. Barisan pertama di bawah pimpinan Khalifah Ali, dan Abi Ka’ab sebagai panglimanya. Sedangkan barisan kedua di bawah pimpinan Muawiyah dengan panglima Abdullah bin Hansy al-Khasy’ami.

Hingga akhirnya, Abu Ka’ab berkata kepada kawan-kawannya: “Hai orang-orang suku Khas’am, bunuhlah mereka di tempatnya (pasar)!.” Lalu penduduk Syam menyanggah: “Hai Abu Ka’ab, mereka semua adalah orang-orangmu (sesuku denganmu), berbuatlah adil.” Terjadilah peperangan. Mereka membawa dan membunuh Samurra bin Abdullah al-Khas’ami, salah satu penduduk Syam, ke hadapan Abi Ka’ab, sesepuh suku Khas’am di kufah.

Penduduk Syam itu meninggalkannya sambil berkata: “Hai Abi Ka’ab, semoga Allah memberi kerahmatan kepadamu, aku membunuh karena menaati (kehendak) suatu kaum, kamu denganku masih kerabat dan aku lebih suka kepadamu, tetapi demi Tuhan aku tak tahu apa yang telah aku ucapkan dan syetan yang telah menyesatkan kita serta orang-orang Quraisy yang telah memper- mainkan kita.” Di sini kita makin jelas melihat bahwa suku Khas’am membunuh karena membikin perhitungan dengan suku Quraisy.

Sejak muncul pertikaian besar (al-Fitnah al-Kubra), Amr bin Ash ragu-ragu, apakah kedua kubu itu mengasingkan diri? Atau salah satu bergabung? Ia mengandaikan pertikaian itu seperti Abdullah berada di jalan sesat (menyimpang) dan Muhammad berkata kepadanya: “Kau adalah adalah sesepuh dan pimpinan suku Quraisy, jika kau berani memutuskan persoalan ini sedangkan kau tidak terkenal maka kau meremehkan persoalanmu, yang berhak adalah kelompok penduduk Syam, jadilah kau sebagai penyambung lidahnya.”

Demikianlah pendapat Muhammad bin Amr dengan gamblang. Ia tidak memperkenankan salah seorang pun dari sesepuh Quraisy terlibat dalam pertikaian berdarah antara keturunannya di bawah satu pimpinan (kekuasaan) Quraisy. Mereka hendaknya melestarikan tali persaudaraan dalam menopang kekuasaannya. Jika mereka saling bertikai, selamanya mereka akan jatuh dalam kehinaan dan kewibawaan kesukuan menjadi sirna.

Tak keliru jika dikatakan bahwa, gambaran di atas merupakan saksi sejarah yang kuat bahwa kekuasaan (pemerintahan) yang didirikan di Yatsrib di bawah pimpinan Muhammad bin Abdullah, hingga sesudahnya sekitar tahun 624 H, adalah kekuasaan (pemerintahan) Quraisy. Pemerintahan ini tubuh dan berkembang sejak lebih kurang 100 tahun, sejak Qushayi bin Kilab membangunnya, sampai dapat menciptakan kondisi objektif, seperti kondisi perekonomian, sosio-politik, kebudayaan, dan religi.

Bukankah Said bin Ash berkata dengan jelas “Tanah Sawad ini adalah lahan perkebunan orang-orang Quraisy.” Ath-Thabari meriwayatkan bahwa ketika Said mendatangi gubernur Kufah, beliau (gubernur) memilih orang-orang yang (boleh) masuk dan berbincang dengannya. Ketika Said berbincang dengan penduduk Kufah, seperti Malik bin Ka’ab al-Arhabi, Aswad bin Yazid, Alqamah bin Qais an- Nakhiyani, dan Malik al-Asytar, ia berkata: “Tanah Sawad ini adalah perkebunan orang-orang Quraisy.” Wallahu a’lam bisshawab.

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال